Dari ambang pintu terdengar suara seseorang yang sedang menapak dan masuk dengan langkah sedikit laju. Ternyata kehadiran Rudi dan sang ibu di ruang UGD telah diketahui beberapa orang yang sedang menunggu kesembuhan. Kemudian mereka masuk satu persatu seraya bergeming di samping dipan.
Secara saksama, Diman dan Jamilah menatap sang adik yang telah bisa membuka kedua netranya. Meskipun di posisi tersebut, lelaki paruh baya itu tampak sangat lemah dan begitu tak bertenaga. Selang beberapa menit setelahnya, hadir juga Bu Eem berserta suaminya.
Dari arah belakang, diikuti oleh Diki yang telah bangun di suasana subuh mulai datang. Mereka menggerompok dan membentuk formasi lingkaran, tetapi netra dari seluruh yang berhadir sejurus pada orang yang masih menidurkan badannya di atas dipan.
Setelah mendapati pemandangan yang tidak biasa, Ramli menoleh ke kanan. Tepat di mana sang putra telah menatap mantap menuju wajahnya, bersama deraian air mata bak muara tak kunjung sampai.
Sedari tadi, Rudi tidak menggeser posisi duduknya dan hanya menunggu akan ucapan itu tercetus dari sang ayah.
"Li, apa yang kau rasakan sakit?" tanya Diman—abangnya, lalu ia menyentuh jemari kanan sang adik.
Lelaki paruh baya itu menggeleng, ia pun menjawab dengan nada terbata-bata. "A-aku, aku tidak apa-apa. Kalian jangan repot-repot dengan keadaan aku yang sekarang."
"Li, jangan pernah dustakan ucapan lagi. Kami hadir di sini untukmu, menjaga dan menanti kesehatanmu. Tolong buang anggapan perihal perpecahan saudara antara kita, karena itu hanya akan sia-sia." Diman pun menarik topik dari perkara yang pernah terjadi.
Untuk kesekian kalinya ia meminta maaf pada sang adik, karena ia sangatlah menyayangi keluarganya. Hanya sang adiklah yang masih tersisa, akan tetapi sepertinya Ramli merasa kalau hidupnya jauh dari kata cukup, sehingga ia kadang menjauh dari keluarganya sendiri.
Bersama deraian air mata, lelaki yang mengenakan pakaian putih itu pun menatap langit-langit ruang UGD. Menggunakan tangan kanan, Ramli kembali menyentuh rambut anaknya yang sempat terluka bersamanya ketika hendak pergi bekerja.
"Le, kamu sudah makan, Nak?" tanya sang ayah.
"Sudah, Yah. Apakah Ayah lapar?" tanya Rudi sekenanya.
"Enggak, Le. Kalau kamu ingin keluar ninggalin ayah silakan, karena dari beberapa hari lalu memang ayahmu ini suka mematahkan semangat anaknya." Selepas berkata, sang ayah meneteskan air mata.
Karena malam menjelang subuh itu sudah mengajari Rudi untuk mengikhlaskan apa yang telah terjadi, mencoba untuk tidak melawan takdir dan arus kehidupan, ia pun secara suka rela membunuh segala yang menjadi keinginannya. Semua ia lakukan demi sang ayah, keluarga, dan hidupnya ke depan.
Remaja berambut cepak itu membangkitkan badan seraya berjalan menuju ujung badan sang ayah. Tepat di telapak kaki, ia pun bersimpuh dan meletakkan keningnya untuk pertama kali.
'Ya, Allah ... maafkan segala ucapan hamba selama ini. Ternyata apa pun garis yang kau berikan, itu adalah yang terbaik. Semoga dalam hidup ini aku belajar, bagaimana mengikhlaskan segalanya. Tolong berikan kesembuhan untuk Ayah hamba. Amiin ....'
Selepas bersenandika dalam batin, remaja itu pun kembali membangkitkan badan dengan berdiri tanpa suara. Tatapan sejurus ia lempar hanya untuk pahlawan keluarga di atas dipan.
Dari samping kiri, Diman—uwaknya mendekat dengan memeluk tubuh lemah remaja itu. Tanpa mampu membendung air mata, seluruh pasang mata tercengang menatap aksi Rudi yang sangat menyanyangi ayahnya lebih dari apa pun.
Memang selama ini dia sangat marah dengan keputusan sepihak sang ayah, akan tetapi waktu berhasil membuka pemikirannya sebagai manusia yang netral dan seimbang dalam memilih jalan kehidupan.
"Le, kamu tidak perlu melakukan hal itu. Kamu adalah anak yang baik, tidak ada yang salah dalam dirimu," ujar Diman—uwaknya.
Dari samping kiri, Jamilah pun mengelus rambut Rudi dengan sangat lembut. "Uwak bangga sama kamu, Le. Walaupun kamu tidak lahir dari rahim uwak, tetapi perbuatan kamu itu mencerminkan anak yang berbakti pada orangtua."
Setelah semuanya menangis, sang ayah pun menadahkan kedua tangannya dan ingin mendekap sang putra. Kali ini ia menyesal, setelah sekian lama membunuh karakter dan cita-cita lewat kata-kata, semua telah berhasil ia tarik malam itu.
"Le, sini," ucap sang ayah.
Tanpa menjawab, remaja itu mendatangi sang ayah dan memeluk tubuh paruh baya di hadapannya.
"Yah, cepat sembuh. Aku janji tidak akan melawan lagi semua yang telah menjadi keputusan Ayah, tetapi satu pesan dari Rudi. Jangan pernah sakiti hati Emak, kalau itu terjadi. Kemungkinan Rudi akan pergi dari dunia ini," ucap remaja berambut cepak itu.
Mendengar ucapan itu, Ramli pun memutar kilas balik perihal ucapannya yang telah menghina Khairia—istrinya beberapa hari lalu. Semua kejadian di siang itu kembali terputar dalam otaknya, sehingga ia tidak mampu untuk berucap sepatah kata pun.
Hari yang berharga telah terjadi, mengajarkan setiap manusia untuk saling menghargai perasaan. Tidak hanya si pemilik usia muda lantas harus mendengar dan menjadi penonton. Namun, yang lebih tua juga harus bisa menghargai perasaan manusia yang lebih muda.
Itu adalah hukum alam, apa yang diperbuat salah akan berdampak. Begitupun sebaliknya, kareka hukum timbal balik masih berlaku meskipun zaman telah modern. Sesungguhnya Allah tidak pernah tidur, dan manusia hanyalah menjalankan apa yang menjadi ketetapan-Nya.
Seperti yang sudah dijelaskan dalam Surah Al-Hujarat Ayat 10 berikut ini:
Innamal-mu'minụna ikhwatun fa aṣliḥụ baina akhawaikum wattaqullaha la'allakum tur-ḥamụn
Artinya:
"Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat."Kerena semuanya telah mengakui kesalahan, seluruh rumpun keluarga pun mulai menghapus air mata yang telah beringsut pergi dari netra. Tepat di posisi samping kanan, Diki mendekati Rudi seraya menatap.
Rasa kagum yang luar biasa ia perlinatkan malam itu, karena tak mampu untuk mengungkapkan dengan kata-kata lagi. Karena merasa sedang diperhatikan, Rudi menoleh ke samping kanan tepat di mana sang sahabat mendudukkan badan.
Mereka pun berada di sebuah halaman rumah sakit, dengan alasan mencari udara segar dan tak mau mengganggu istirahat sang ayah.
"Kenapa lu, Dik? Kok, kayak lagi melihat gue seperti itu?" tanya Rudi sekenanya.
"Idih, GR banget lu jadi orang. Siapa juga yang ngelihatin lu. Gua cuma kagum aja kali, gak usah traveling pikiran lu," pungkas sang sahabat seraya membuang tatapan jijik.
Mendengar ucapan itu, Rudi pun menatap bintang-bintang di atas langit. Lalu ia berkata, "terima kasih udah mau datang menjenguk kami. Oh, ya, BTW ... kapan lu pulang?"
"Aku sebenarnya enggak niat pulang, karena mendengar berita elu lagi masuk rumah sakit makanya emak gua yang sibuk banget nyuruh pulang," pungkas sang sahabat.
"Iyalah, yang sudah jadi orang kota, mana mungkin balik ke kampung lagi." Rudi menarik napas berat.
"Bukan gitu juga kali konsepnya, aku memang sangat prihatin aja sama hidup lu yang selalu menyita perhatian publik."
"Ha-ha-ha ... kurang ajar!" pekik Rudi sedikit mengomel.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketua BEM
Fiksi RemajaNovel yang terinspirasi dari kisah nyata, tentang gigihnya seorang remaja yang menentang orangtua untuk tetap bisa melanjutkan pendidikan. Dengan tekad dan tekun belajar, dia pun berhasil meyakinkan kedua orangtuanya untuk memberikan izin, kalau rem...