21. Sang Malaikat Tak Bersayap

24 4 0
                                    

Selang beberapa menit menunggu hasil tes darah, Diman pun mendapati hal yang tidak biasa. Bagaimana tidak, dari akses satu-satunya menuju lantai satu, tiga orang dokter berjalan laju membawa beberapa kantong darah di atas nampan. Namun, Rudi tidak berada di sebelah mereka, sehingga Diman bernapas lega kalau itu bukanlah darah dari keponakannya.

Tanpa mampu berkata sedikitpun, ketiga keluarga dari pasien membangkitkan badan seraya menatap dari arah luar ruangan. Tampak dari pintu kaca, sekantong darah telah menggantikan posisi dari infus dan mengalir lumayan laju memasuki badan.

Tidak berapa lama, satu orang perawat wanita datang lagi. Karena penasaran, Diman pun berdiri tegap di hadapan perawat cantik itu.

"Sus," panggil Diman singkat.

"Iya, Pak, ada yang bisa saya bantu?" tanya perawat itu sekenanya.

"Apakah saya boleh bertanya."

"Boleh, Pak, mau bertanya apa?"

"Apa Anda melihat di mana keponakan saya? Tadi, dia ikut dokter ahli bedah untuk mengecek golongan darahnya. Namun, sampai saat ini belum kembali."

'Apakah yang dimaksud Bapak ini adalah remaja bernama Rudi, ya?' tanya perawat itu dalam hati.

"Oh, remaja yang tingginya segini." Perawat tersebut mempraktikkan untuk menunjuk seberapa tinggi badan orang yang dimaksud Diman.

Karena memang ciri-ciri tersebut benar, lelaki yang mengenakan kopiah hitam itu mengangguk. "Iya, remaja berusia delapan belas belas tahun. Namanya adalah Rudi Harianto, apakah ada di ruang lab?"

"Iya, Pak, anak tersebut masih berada di lab sambil memakan buah-buahan. Tampaknya dia tidak begitu—"

Belum sempat menjelaskan, dokter pun membuka pintu ruangan dan menghadirkan lelaki berseragam serba putih tertegun di ambang pintu. Seketika pembicaraan terputus, Khairia dan Jamilah membangkitkan badan seraya menatap mantap dokter berperawakan tampan itu.

"Dok, bagaimana dengan keadaan suami saya?" tanya Khairia penasaran.

Seperti biasa, si dokter tidak langsung menjawab, ia bahkan menarik napas berat dan membuang ekspresi sangat memprihatinkan. Sembari menunggu kabar, sang istri pun mendekatkan posisi badan ke samping satu langkah.

Lelaki berseragam serba putih yang dilengkapi stetoskop itu menjawab, "alhamdulillah ... Pak Ramli sekarang baik-baik saja, kerena mendapatkan darah yang sesuai dengannya."

Mendengar berita baik itu, seluruh rumpun keluarga pun berkata serempak. "Alhamdulillah ...."

"Dok, kalau boleh tahu siapa yang mendonorkan darah itu? Kan, suster ini bilang kalau Rudi—keponakan saya masih di ruang lab memakan buah," ujar Diman sekenanya.

"Iya, Dok, kenapa anak saya enggak kunjung kembali?" Khairia selaku seorang ibu menyambar percakapan, ia sangat khawatir jika darah itu dari anaknya.

"Kok, Anda diam saja? Dok, darah tersebut bukan dari keponakan saya, kan?" tanya Diman bertubi-tubi.

Desakan demi desakan pun terucap, sementara dokter berperawakan tampan itu tampak sangat bingung untuk memulai perkataan dari mana.

"Sebelumnya saya mohon maaf, Pak. Remaja yang bernama Rudi itu sedang berada di lab karena sedang mengalami masa pemulihan tenaga. Darah yang kami bawa tadi adalah hasil donor darinya. Padahal, dia berpesan untuk tidak memberitahukan hal ini pada siapa pun. Namun, rasanya saya yang ambil kebijakan untuk memberitahu agar anak tersebut mendapatkan perawatan yang maksimal dari pihak Bapak."

Mendengar ucapan itu, Diman dan yang lainnya pun menekan mulut menggunakan kedua tangan. Ternyata yang mereka takutkan terjadi, kalau ternyata pendonor darah itu adalah Rudi—keponakan tersayang Diman. Namun, nasi sudah berubah menjadi bubur, mereka tak bisa mencegah lagi dan hanya menatap menuju ruang UGD.

Tampak jelas dari sekantong plastik itu mengalirkan darah segar, memasuki melalui selang kecil dan berjalan sedikit lambat setelah beberapa menit.

"Dok, apakah keponakan saya masih berada di ruang lab?" tanya Diman lagi.

"Iya, Pak, keponakan Anda masih berada di sana. Kalau begitu, saya mohon pamit. Selamat malam," jawab si dokter.

"Selamat malam, Dok," jawab ketiga rumpun keluarga pasien secara serempak.

Karena tak kuat menahan tangis, Khairia pun mendudukkan badan tepat di kursi tunggu. Dalam pikiranya sangat bercampur aduk, apalagi ia belum tahu keadaan putranya seperti apa.

Meskipun dokter tidak mengatakan kalau Rudi mengalami hal yang buruk, tetapi batin seorang ibu berkata kalau sang anak tidak dalam keadaan yang baik-baik saja.

Akibat rasa yang kian gelenyar, serta sakit menghujam ulu jantung, membuat Khairia membangkitkan badan seraya berdiri tegap menuju akses satu-satunya ke lantai satu. Sementara Jamilah pun ikut bangkit juga, ia menyentuh pundak wanita di sampingnya.

"Kamu mau ke mana, Ria?" tanya Jamilah.

"Aku mau menemui anakku, Mbak. Perasaan aku enggak enak kalau hanya duduk di sini tanpa melihatnya," jawab Khairia.

"Tapi, Mbak, kata dokter Rudi lagi beristirahat."

"Mak, biarkan saja dia menemui anaknya. Kita tidak bisa menghalangi, karena aku juga ingin melihat keponakan aku di sana," sambar Diman memotong pembicaraan.

"Ya, sudah, kalian pergi menemui Rudi. Biar aku yang menjaga di luar, karena kata dokter tidak ada yang boleh mengganggu Ramli di sini," ujar Jamilah menengahi.

Tanpa menjawab, Khairia pun berjalan lebih dulu dengan langkah laju. Dengan diikuti Diman, mereka menuruni anak tangga dan menemui ruang laboratorium yang terletak tidak jauh dari meja resepsionis.

Setibanya di ambang pintu dengan portal ruang laboratorium, wanita paruh baya itu memberhentikan langkah seraya menatap menatap dari jendela kaca. Tampak di atas tempat dipan, sang putra tengah tertidur sangat lelap dengan tangan telah ditempel sebuah kapas dan perban.

Secara saksama, Khairia menatap ke samping kanan, tepat di mana Diman berdiri.

"Rudi sedang tertidur, sebaiknya kita tinggal saja dia di sini. Lagian, para dokter tampak sedang menunggunya," ujar Diman.

"Enggak, Wak. Malam ini, aku akan menunggu anakku di sini. Kalau boleh minta tolong, Uwak jaga suami saya di atas."

"Baik, kamu jangan terlalu pikirkan masalah ini. Karena semua adalah ujian, biar aku dan Jamilah jaga Ramli di atas." Kemudian, Diman pun beringsut meninggalkan iparnya di ambang pintu.

'Le ... kenapa kamu lakuin ini, Nak. Kalau kamu dalam keadaan sehat, mungkin emak enggak terlalu khawatir. Tetapi kamu juga lagi sakit. Ya, Allah ... tolong lindungi anak hamba, sembuhkan segala penyakitnya. Amiin ....'

Selepas bersenandika, wanita berjilbab itu mendudukkan badan di atas kursi tunggu. Lama-kelamaan, ia pun merebahkan kedua sayap seraya meringkuk karena kedinginan. Air mata telah mengering dengan sendirinya, bersama suasana dingin di malam tanpa bintang.

Sebuah sentuhan pun mendarat di pundak Khairia perlahan, tepat di sebuah suasana yang gelap dan sangat pekat. Secara saksama, wanita berbaju serba putih itu menoleh ke belakang badan, ia mendapati sebuah penglihatan yang tidak biasa.

"Le, apakah benar ini kamu, Nak?" tanya wanita berjilbab putih itu.

Tanpa menjawab, Rudi pun mengangguk dua kali.

"Tangan kamu kenapa, Le?" Sang ibu pun menyentuh tangan sang putra, kemudian membolak-balikan tanpa henti.

"Hanya luka sedikit, Mak, nanti juga sembuh. Oh, iya, kalau Rudi boleh tahu, ngapain di sini sendiran?" tanya remaja itu.

"Emak mencari kamu dari tadi, Le. Eh, ternyata ada di sini."

"Enggak perlu Emak cariin Rudi, karena Rudi baik-baik saja. Lagian, aku sudah besar, bisa menjaga diri dengan baik."

Mendengar ucapan itu, wanita yang sedang mengenakan baju serba putih pun memeluk putranya dengan sangat erat. Namun, tepat di pundak sang ibu, Rudi meneteskan air matanya seperti takut kehilangan sang malaikat tak bersayap di muka bumi ini.

Bersambung ...

Ketua BEMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang