13. Permaianan Diksi Yang Sempurna

29 3 0
                                    

"Sudah, Mak, jangan menangis di sini. Yuk, masuk ke rumah," ajak sang suami sembari berjalan gontai berdua.

Malam yang dingin dengan terpaan sedikit gerimis, suasana di luar rumah seolah mewakili pilunya hati wanita berjilbab hitam itu.

Sejak kemarin, Khairia masih bingung memikirkan apa yang menjadi pembangkit semangat putranya dalam mencapai cita-cita, karena sang anak masih saja enggan banyak berkata sejak kejadian beberapa hari lalu.

Tepat di atas dipan, Rudi pun menatap langit-langit kamar sembari menoleh ke arah sang sahabat yang ternyata telah terlelap lebih dulu. Karena suasana sangat dingin, membuat remaja berambut cepak itu meringkuk seperti udang yang tengah kena masak.

Perasaan yang kian gelenyar membawa Rudi ingin keluar dari kamar, ia merasa tidak bisa tidur lagi seperti kemarin malam. Sehingga, ia pun memutuskan untuk keluar kamar dan berjalan melintasi ruang tamu.

Potret kilas balik terputar kembali, kejadian sepekan lalu di saat ia berani menyuarakan pendapat pada sang ayah.

Tampak sangat jelas pukulan keras mendarat di pipinya sebelah kiri, seakan merobek hati yang telah lama ia tahan untuk menuntut keadilan dalam membagi keinginan. Rasa bersalah bercampur aduk dalam jiwa, jantung pun berdegup kencang seperti kendaraan yang akan berperang.

Setibanya di ambang teras, lelaki bercelana jins biru itu mendudukan badan sembari menatap langit. Kemerlap bintang pun tidak hadir seperti malam-malam biasanya.

Hanya ada sepercik air hujan menjatuhi bumi, dan membuat pepohonan menari di atas duka nestapa. Sembari menarik napas berat, Rudi merubah posisi duduk dengan merapatkan kaki.

Kemudian, Rudi pun sesekali menatap ujung ibu jari kakinya beberapa kali. Sementara di tangan kanan, masih ada perban bekas terkena pisau siang tadi. Rasa sakit itu tidak seberapa dibandingkan ucapan sang ayah yang seolah membunuh karakter dan cita-cita anaknya.

Belum lama mendudukan badan, sebuah tapakkan tangan mendarat lembut di pundak sebelah kiri. Kehadiran seorang remaja itu sendiri tidak tahu siapa, lalu ia menoleh ke belakang sembari membuang tatapan sangat sedih.

Wajah sendu remaja laki-laki itu seolah menambah pilu, sang sahabat telah tertegun sembari menatap mantap tanpa mengedipkan netranya.

"Eh, Dik, kau belum tidur?" tanya Rudi penuh selidik.

Tanpa menjawab, lawan bicara pun menggeleng tiga kali.

"Kenapa kau tidak tidur? Tadi aku lihat sudah pulas banget di kamar?" tanya Rudi bertubi-tubi.

"Aku pura-pura tidur saja, karena kau juga tampak sedang gelisah dan memekik sedari tadi. Ya, udah, aku keluar juga dari kamar."

"Aku sudah biasa seperti ini, Dik. Apalagi malam-malam terasa sangat indah dan menyenangkan bagiku. Seolah, dunia terasa sangat sunyi, sepi, dan gelap," titah Rudi sembari membuang tatapan datar ke atas langit.

Seketika percakapan hening sejenak, keduanya pun tampak fokus pada air hujan yang membasahi permukaan dedaunan, lalu beringsut pergi menuju bumi semesta.

Mereka pun tidak bisa menabak akan apa yang terjadi, karena hidup ini tidak bisa memihak ke jalan sebagaimana semestinya.

"Terkadang aku bingung pada alam, tampak menawarkan keindahan yang nyata tetapi sukar untuk dirasakan." Tiba-tiba, Diki pun bermain diksi di malam itu.

"Alam hanya mempertemukan, tidak menyatukan. Pernah memiliki rasa untuk berjuang, tetapi waktu berhasil melepas," pungkas Rudi sekenanya.

"Hidup ini bagai dipecundangi waktu. Bagaimana tidak, di saat kita serius mengejar masa depan yang lebih baik, di situlah restu tidak berpihak pada kita," balas Diki kembali, lalu ia menoleh sekilas.

Rudi menarik napas berat, kemudian ia menjawab, "manusia terkadang bodoh. Tuhan telah nyata menciptakan hati sebagai kompas hidup, tetapi masih dilema untuk memutuskan. Untuk apa guna hati, jika masih mengandalkan egois yang diciptakan oleh setan."

Semakin panas pembahasan malam itu, kedua remaja yang sama-sama hebat dalam berdiksi pun saling sindir tentang kehidupan lewat kata-kata bijak. Mereka pun membungkam sejenak, kemudian tapakkan lembut kembali mendarat di pundak mereka secara bersamaan.

Dengan spontan, Rudi dan Diki menoleh ke belakang. Mereka pun mendapati Khairia hadir dan menyapa bersama senyum simpul.

Wanita paruh baya itu seolah menjadi penengah dalam perdebatan diksi mereka, mendudukkan badan di antara keduanya karena mendengar nada-nada yang semakin lama semakin membesarkan otot leher.

"Walaupun sang waktu memecundangi manusia, tetapi kita tidak bisa terlepas darinya. Karena waktu hakikatnya setia pada makhluk yang bernyawa, tanpanya hidup akan sia-sia. Sungguh manusia adalah ciptaan yang bersanding dengan waktu, tetapi ingkar dengan segala ketetapan-Nya." Wanita berhijab itu pun menoleh kanan dan kiri.

Mendengar ucapan sang ibu, kedua remaja itu saling membuang senyum kecil. Tidak disangka, bahwa orang yang selama ini lebih banyak berdiam diri lebih paham, kalau waktu adalah segala-galanya. Tetapi terkadang manusia yang ingkar, lalai, dan melupa semua ketetapan-Nya.

Gerimis pun mendadak berhenti, air yang mengalir masih menelusuri bumi dan hendak meninggalkan bumi semesta. Sementara ketiganya masih betah mendudukkan badan tepat di arloji menunjukan pukul 23.00 WIB.

Karena malam itu masih membuat mereka betah di teras, Khairia pun ingin mengajak keduanya untuk masuk ke dalam rumah dan ia ingin berkata sesuatu hal.

"Yuk, masuk. Emak mau buatin kalian minuman hangat, ada yang menginginkannya?" tanya Khairia.

"Hmmm ... boleh, Mak, sudah lama enggak minum kopi buatan Emak," jawab Diki sekenanya.

"Heleh, tadi saja kopi buatan aku enggak kau minum. Sudah dingin bagai masuk kulkas," sambar Rudi dari samping kanan.

"Karena aku enggak suka kopi buatanmu, Rud. Rasanya pahit, sama kayak jalan hidup ini," celetuk Diki lagi.

Mereka pun tertawa terkekeh-kekeh di teras rumah. Dengan berjalan seiringan, ketiganya memasuki rumah dan bergerak seiringan menuju meja makan. Sementara Khairia memasuki dapur sembari membuat kopi hangat yang dicampur dengan jahe, sudah seperti bandrek yang ada di pinggir jalan.

Hanya membutuhkan waktu beberapa menit, sebelum akhirnya ia membawa nampan berisikan gelas dan teko untuk kembali menuju meja makan. Sementara kedua remaja itu masih membungkam dan saling menadahkan tatapan.

"Sudah selesai kopi hangat plus jahe merahnya," ucap Khairia tiba-tiba.

"Wah, dari aromanya sangat menggugah selera. Aku udah enggak sabar untuk minum, apalagi dicampur susu pasti tambah nikmat," jawab Diki menambahkan.

"Yuk, kita minum dulu. Entar keburu dingin lagi," ajak wanita paruh baya itu.

Belum lama mereka meneguk kopi hangat, terdengar pintu kamar pun terbuka. Siapa lagi kalau bukan sang ayah yang sengaja ingin bergabung, ia pun tidak permisi lebih dulu dan langsung mendudukkan badan di atas kursi. Karena merasa sangat aneh, ketiganya pun saling celingukan tanpa henti.

"Kok, kalian mendadak bingung gitu?" tanya lelaki bersarung cokelat itu.

Diki pun menggaruk kepalanya tiga kali. "Eng-enggak, Pak, saya hanya kaget aja tiba-tiba datang dari pintu kamar."

"Ah, seperti melihat hantu saja kamu ini. Kopi untuk saya mana? Kok, enggak ada di sini?" tanyanya bertubi-tubi.

"Kalau punya Ayah, ada di belakang. He-he-he ...," ledek sang istri sembari menoleh ke ambang pintu dapur.

Mereka pun tertawa terkekeh-kekeh dengan ledekan dari wanita paruh baya itu. Tanpa memedulikan ketiganya, Ramli tetap mendudukkan badan dan percaya diri bahwa mereka tidak menolak jika ia bergabung tanpa syarat.

Bersambung ...

Ketua BEMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang