Setelah selesai makan siang, remaja yang mengenakan celana ponggol pendek itu beringsut pergi dari warung, ia pun melangkah dan hendak masuk ke dalam rumah. Beberapa hari ini, Rudi merasa sangat gelisah dan tidak betah di rumahnya. Entah apa yang tengah terjadi, seolah keinginan untuk menuju jalan terbaik terhalang restu orangtua.
Setibanya di dalam kamar, Rudi pun membuka beberapa catatan ketika ia duduk di bangku SMA. Sebuah buku mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial, membuat netra remaja itu menatap secara saksama. Lama kelamaan, ia merasa sangat nyaman membaca, padahal sejak duduk di bangku sekolah, ia tergolong orang yang tidak terlalu suka membaca.
Di samping kanan telah ada air mineral yang menemani remaja itu. Dengan tidur telentang di atas dipan, Rudi pun mempelajari berbagai teknik-teknik berjualan dan marketing. Namun, sampai saat ini ia belum tahu bagaimana cara berjualan yang benar. Kesibukan yang tidak menentu, mengharuskan Rudi tetap tinggal di rumah tanpa melakukan hal apa pun.
Arloji menujukan pukul 16.00 WIB. Sementara Rudi masih santai di dalam kamar dan mengurung diri. Waktu yang bergulir begitu cepat, seolah membawa sedikit—cahaya memasuki lubang ventilasi. Sembura senja memboyong indahnya panorama di luar rumah, perlahan beringsut pergi dan gelapnya malam pun hadir begitu saja.
Sejak sore hari, lelaki berdarah Jawa dan Mandailing itu masih menutup pintu kamarnya, ia pun tertidur pulas setelah kelelahan mencari pekerjaan di luar. Karena waktu makan malam telah tiba, Khairia—ibunya Rudi pun mencoba untuk mengajak makan malam seperti biasanya. Ketika ketukan pintu pertama, remaja berbaju putih itu tidak membuka.
Tok-tok-tok!
"Rud, kamu enggak makan malam, Nak?" tanya sang ibu dengan nada suara sedikit parau.
Akan tetapi, sang putra tidak menjawab. Bukan karena tidak dengar, Rudi lebih memilih untuk mengurung dirinya di dalam kamar.
Ketukan pun kembali dilayangkan oleh Khairia di ambang pintu. "Buka pintunya, Le ... ayahmu mau ngomong di luar."
Mendengar ucapan itu, Rudi pun membangkitkan badan seraya mendudukan diri di atas dipan. Lalu ia menoleh menuju ambang pintu kamar seraya memperbaiki rambutnya.
"Iya ... sebentar, Mak. Tunggu aja di sana, nanti Rudi keluar." Setelah berkata, remaja dengan warna kulit sawo matang itu berjalan menuju cermin.
Dari pantulan sosok diri, Rudi menatap secara saksama lingkaran di kedua netranya. Terlihat jelas lebam yang sedikit menghitam akibat perseteruan hebat semalam, dengan ayahnya di meja makan. Namun, sekarang ia dapat panggilan lagi untuk menemui sang ayah.
Bersama rasa sedikit malas, remaja berbaju putih itu keluar dari kamarnya seraya berjalan gontai menuju pusat pertemuan. Tibalah ia di samping kanan sang ibu, sementara ayahnya berada tepat berjarak setengah meter di hadapan.
"Kamu kenapa tidak makan malam, Nak? Apakah kamu sudah bosan untuk makan?" tanya lelaki paruh baya yang tengah meneguk segelas kopi hangat.
Mendengar ucapan itu, Rudi melirik ibunya di samping kanan. Akan tetapi, ia tidak mau menjawab karena hanya akan menambah perdebatan semakin panjang.
"Kalau orangtua ngomong dijawab, Nak," sambut sang ibu dengan sangat lembut.
"Rudi malas menambah perdebatan, Mak. Kalau ngomong sama Bapak selalu tidak ada menangnya. Jangankan untuk menang, mencari seri saja susah."
Mendengar ucapan itu, sang ayah pun ingin membangkitkan badan di depan bangkunya. Namun, Khairia—istrinya masih mencoba untuk menenangkan emosi sang suami untuk tidak terlalu keras pada anak.
"Yah, udah, jangan dilanjutkan. Aku enggak mau kalau ada perdebatan lagi di rumah ini. Malu didengar sama tetangga," titah si ibu seraya mengelus rambut putranya itu.
Dengan menarik napas berat, lelaki paruh baya itu pun mengurungkan niatnya untuk membahas lebih lanjut ucapan sang anak. "Sekarang begini, Rud. Ayah cuma mau kalau kamu itu jadi anak yang berbakti sama ayah. Contohnya seperti apa? Ikut sama ayah bekerja, bantu-bantu, enggak perlu kuliah karena ayah membesarkan kalian tanpa lulus sekolah."
"Tapi, Yah ... zaman dulu sama sekarang itu beda. Rudi cuma ingin merubah sedikit saja cara pandang Ayah tentang pendidikan. Rudi cuma mau mengangkat derajat kalian sebagai orangtua, apakah semua itu salah?"
"Kamu enggak perlu angkat derajat keluarga ini terlalu tinggi, Nak. Karena lulus sarjana pun bakal menganggur juga, lihat anak pak RT. Kurang apa pendidikan mereka, semua lulusan kampus Jogja. Kamu harusnya jangan pernah memikirkan kehendakmu, rezeki sudah Allah yang atur." Selepas berkata, lelaki paruh baya itu pun membangkitkan badan seraya memukul meja dengan kedua tangan.
"Yah, mau ke mana?" tanya Khairia—istrinya.
"Pusing aku melihat anakmu itu. Bilang sama dia, kalau kita bisa menghidupi lima anak tanpa sekolah sama sekali."
Lelaki paruh baya itu pun pergi dari mejanya meninggalkan Rudi dan sang istri. Namun, remaja yang mengenakan celana ponggol itu masih menadahkan wajahnya dengan meratapi permukaan meja. Untuk melawan sang suami, Khairia sangat tidak mampu dan takut berdosa besar.
Selepas berjualan, wanita yang selalu mengikat rambutnya dengan tali rafia itu pun memeluk sang anak yang mulai kehilangan semangat.
"Kamu yang sabar, Le ... jangan terlalu dipikirin ucapan ayahmu. Kan, kamu tahu kalau sifatnya memang keras dari dulu. Sekarang, kamu makan dulu. Nanti kita bicarakan baik-baik, Nak." Sang ibu pun melepas pelukannya seraya menyibak air mata dikedua netra sang putra.
Rudi pun mengunyah nasi di atas meja tanpa menggunakan sayur dan lauk sebagai pengganjal perut, pikirannya juga melayang entah ke mana seolah memutar kilas balik perihal ucapan sang ayah.
'Sekarang begini, Rud. Ayah cuma mau kalau kamu itu jadi anak yang berbakti sama ayah. Contohnya seperti apa? Ikut sama ayah bekerja, bantu-bantu, enggak perlu kuliah karena ayah membesarkan kalian tanpa lulus sekolah.'
Air mata pun mulai berlinang dari netra remaja itu, akan tetapi tidak ada yang mampu menjelaskan mengapa ironi tidak pernah berpihak padanya.
"Mak, kalau Rudi pergi merantau saja bagaimana?" tanya Rudi pada sang ibu.
"Le ... kalau berpikir yang panjang, jangan terburu-buru gitu kalau memutuskan. Nanti kamu menyesal," jawab si ibu seraya menatap mantap lawan bicara.
"Jadi Rudi harus bagaimana agar membuat kalian yakin tentang cita-cita Rudi, Mak? Kenapa, sih, hidup kita begini banget. Kalau suatu saat nanti Rudi bisa dapat kerja bagus, aku akan bantu adik-adik."
"Kalau kamu lupa dengan adik-adikmu bagaimana? Karena orang yang sudah jaya, sangat sulit membedakan mana saudara, mana sahabat," papar Khairia.
Mendengar ucapan sang ibu, Rudi merasa terpukul. Hanya keajaibanlah yang mampu merubah keinginan orangtuanya, jika dilihat dengan ucapan-ucapan sang ibu, ia juga sepakat pada sang ayah untuk membuat putranya lebih mandiri tanpa harus kuliah.
Karena makan malam telah selesai, Rudi pun kembali memasuki kamar dan hendak pergi ke rumah sahabatnya. Mungkin dengan berbagi cerita, ia bisa sedikit lebih tenang dari masalah-masalah yang terjadi.
"Mak, Rudi pamit ke rumah Diki sebentar," ucap Rudi seraya menatap sang ibu.
"Kalau pulang jangan malam-malam, nanti ayahmu marah lagi. Kalau bergaul yang baik-baik, jangan berbuat aneh di luar sana. Emak takut, kalau kamu terikut teman-teman yang enggak bagus."
"Rudi sudah paham, Mak, enggak perlu dikasih tahu lagi. Ya, sudah, aku pamit dulu. Assalammualikum ...." Remaja itu pun mencium tangan sang ibu dengan sangat lembut.
"Wa'alaikumsallam ...."
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketua BEM
Genç KurguNovel yang terinspirasi dari kisah nyata, tentang gigihnya seorang remaja yang menentang orangtua untuk tetap bisa melanjutkan pendidikan. Dengan tekad dan tekun belajar, dia pun berhasil meyakinkan kedua orangtuanya untuk memberikan izin, kalau rem...