LIMA

271 29 100
                                    

"Kok kamu nangis sih, Sayang?"

"Ya aku tuh capek, Ben. Capek banget!" tangis Callista. Napasnya tersengal-sengal. Dia kemudian mengusap air matanya. "Kamu pikir aku senang apa kayak gini? Sebelum sama kamu, aku tuh kesal dibilang pushover sama mantan aku. Aku kesal bukan karena yang dia bilang itu salah. Tapi kenyataannya, aku memang nggak punya power untuk melakukan apa yang aku mau!"

"Sayang, tapi jangan nangis gini dong." Satu tangan Ben menggaruk bagian belakang kepala pria itu dengan tangannya yang lain memegang setir. Hati Ben terasa sakit melihat mata tunangannya yang merah dan basah. "Aku tuh negur kamu biar kamu nggak terbebani banget sama aku dan keluarga kamu gitu lho, Sayang. Aku nggak maksud menekan kamu kayak gini. Aku minta maaf, ya?"

Ben kelimpungan untuk menghentikan tangis Callista. Dia memang begitu setiap Callista ngambek padanya. Tak bisa melakukan apa-apa selain bilang 'maaf'. Selama di mobil, bukannya dia yang menyiksa Callista untuk memberi pelajaran, tapi justru Callista-lah yang membuatnya kesal karena tangisnya yang tak berhenti.

Sampailah mobil Ben masuk ke kompleks perumahan nenek Callista. Ben sudah pernah ke sana, setahun ada dua sampai tiga kali dia mengantar Callista ke sana. Memang sejarang itu Callista bertemu neneknya. Selain karena tidak dekat, nenek Callista sudah punya cucu kesayangan lain, anak dari kakak ayah Callista.

"Sayang, ini sudah mau sampai. Kamu nggak mungkin dong menunjukkan mata sembap begitu," kata Ben mengingatkan.

"Ini semua salah kamu, tahu."

"Kok jadi aku lagi?" gerutu Ben.

"Ya kamu itu kan tunangan aku, calon suami aku. Harusnya kamu kasih solusi ke aku, bukan cuma marah-marahin aku," dumal Callista. "Solusi itu artinya, ya kamu terima keadaan keluarga aku. Antar aku ke rumah Nenek. Berbaur dengan keluarga aku. Kan aku juga nggak jauh-jauh dari kamu juga selama di rumah Nenek?"

"Nggak enak."

"Kenapa?"

"Ya karena nggak bisa ngapa-ngapain sama kamu."

Callista mencubit paha pria itu keras. "Kamu tuh ya, mesum banget! Lagian mana ada kita pernah ngapa-ngapain selain kissing!"

"Gitu deh mainnya kekerasan," keluh Ben pura-pura marah. Dia lalu tersenyum. "Lagi dong, Sayang?"

Perlahan senyum terpoles di wajah Callista. "Jangan berantem lagi, ya? Lagian, nggak ada yang bisa aku ubah dari keluarga aku. Aku juga maunya ngasih waktu ke kamu, dan aku nggak mau jadi anak dan cucu yang jahat," kata Callista merengut.

"Kamu itu kekanak-kanakan. Coba aku tanya sama kamu, saat orangtua kamu kasih tahu kamu ke rumah Nenek, itu kapan?"

"Tadi malam."

"Dan kamu janjian sama aku lebih dulu, kan? Ada nggak kamu kasih pengertian ke orangtua kamu, kalau kamu sudah ada jadwal sama aku?" Callista diam saja. "Nggak, kan? Makanya, orangtua kamu ya anggap biasa aja jadwal kita batal, karena kamu nggak protes. Itu yang jadi masalah bagi aku."

Keduanya berada di tengah kesunyian. Tak ada yang bersua sampai mobil Ben berhenti di depan rumah nenek Callista. "Turun, yuk." Dia melepas seatbelt-nya.

Lengannya dicekal oleh Callista. Satu alis Ben menaik. Callista bicara lagi, "Aku serius, Ben. Kita akan terus berantem kalau kamu nggak terima aku dan keluarga aku."

"Aku ingin kamu berubah sedikit saja, Callista." Pria itu menepiskan lengannya dari tangan Callista.

Callista menarik napas panjang. "Hal kayak gini bikin aku mumet," katanya gamblang. "Mungkin, komitmen bukan sesuatu yang cocok buat aku. Atau kamu yang nggak tepat untuk aku."

"Apa nih maksud omongan kamu?" tanya Ben dengan kedua matanya menyipit.

"Ya harusnya orang mau nikah itu dilancarkan kan urusannya? Tapi kita malah sering berantem. Apa menurut kamu, ini bukan sebuah pertanda?"

"Kamu kayaknya kebanyakan baca primbon."

Callista menggeleng kuat. "Nggak, Ben. Aku ngerasa, makin ke sini, aku makin nggak bisa menghadapi kamu dan hubungan ini." Dia menatap mata Ben yang memandang tajam ke arahnya. "Kadang aku ingin pria yang bisa mengerti keadaan aku. Yang mendampingi aku tanpa marah-marah. Apa mungkin, kita nggak seharusnya bersa..."

"Kita sudah sejauh ini, Callista. Untuk mengajak kamu tunangan sama aku, aku berkali-kali ditolak sama papa kamu," sergah Ben. "Nggak ada yang lebih mencintai kamu daripada aku. Dan nggak ada yang bisa secinta ini ke aku selain kamu."

"Tapi, Ben, ini baru masalah keluarga kita. Belum masalah pekerjaan, finansial, dan hal-hal penting lainnya. Apa menurut kamu kita sanggup untuk melanjutkan hubungan ini?"

"Aku..." Ben menarik napas kesal. "Aku nggak mau bahas ini sekarang. Sekarang, yang aku mau, kita turun dan ketemu sama nenek kamu. Untuk soal kamu yang ragu dan nggak percaya dengan hubungan kita, kita bicarakan ini nanti. Oke?"

Cinta Tidak Serumit Itu #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang