~ Wedding Day ~
Dua keluarga dan beberapa kerabat berkumpul dalam gereja untuk menyaksikan acara perkawinan Reuben dan Callista. Sebelum mengucap perjanjian nikah, Romo meminta keduanya meletakkan tangan di atas kitab.
Romo kemudian mengucap, "Reuben Pratama, maukah saudara menikah dengan Callista Subrata yang hadir di sini dan mencintainya dengan setia seumur hidup baik dalam suka maupun dalam duka?"
Dengan keyakinan di matanya, Ben menjawab cepat, "Ya, saya mau."
Romo bertanya pada Callista, "Callista Subrata, maukah saudara menikah dengan Reuben Pratama yang hadir di sini dan mencintainya dengan setia seumur hidup baik dalam suka maupun dalam duka?"
Mata Callista yang penuh binar mengangguk dan menyahut, "Ya, saya mau."
Setelah itu Romo mengucapkan pemberkatan nikah, "Atas nama Gereja Allah dan dihadapan para saksi dan hadirin sekalian, saya menegaskan bahwa perkawinan yang telah diresmikan ini adalah perkawinan katolik yang sah. Semoga sakramen kudus ini menjadi bagi saudara berdua sumber kekuatan dan kebahagiaan. Yang dipersatukan Allah, janganlah diceraikan manusia."
- 𝐍𝐨 𝐦𝐨𝐫𝐞 𝐝𝐨𝐮𝐛𝐭𝐬 -
Pernikahan itu tidak dirayakan meriah dan hanya dilaksanakan di Gereja. Pada hari itu Nenek menguatkan diri untuk duduk di kursi roda untuk beberapa jam, setelahnya Nenek meminta pulang untuk beristirahat.
Tidak, baik Ben maupun Callista tidak menghendaki pesta yang meriah. Ben berjanji akan mengadakan pesta yang mewah, nanti jika Nenek sudah mulai sembuh. Callista tak mau Ben terbebani dengan soal pernikahan yang mewah.
Setelah acara makan-makan di perkarangan depan gereja, keduanya tidak langsung ke rumah yang dibeli Ben untuk mereka berdua, melainkan ke hotel. Di sana Ben pun tak langsung mengajaknya untuk melakukan hubungan suami-istri.
"Kenapa?" Dahi Callista mengernyit. "Bukannya kamu nggak sabar melakukannya dengan aku?"
"Ada hal yang aku tanyakan."
"Soal?"
Ben telentang di atas tempat tidur. Dia menepuk sisi kosong sebelahnya. "Sini, tidur sama aku."
"Jadi mau tanya atau mau tidur?" Kendati begitu Callista mengikuti keinginan pria itu. Dia merebahkan dirinya di samping Ben. Sebelum menikah, dia gugup untuk melakukannya, namun entah mengapa setelah mereka sudah sah menjadi suami-istri, dia tenang saja.
Hal itu tak pelak melegakan Ben. Dia kini betul memahami, bahwa yang menjadi jarak baginya dan Callista adalah status mereka dulu yang belum menikah, bukan karena dia yang menakutkan bagi Callista.
Ben merangkul istrinya sementara tangan yang lain membelai perut Callista. "Sayang, aku mau tahu soal Narren itu. Kamu mutusin dia gitu aja?"
"Kamu menanyakan pria lain di hari pernikahan kita?" Mata Callista menyipit.
"Ya, aku kan ingin tahu saja."
"Setelah malam kamu datang ke rumahku, memintaku untuk menerima lamaranmu, aku langsung menghubunginya. Aku bilang, aku masih mencintai kamu."
"Dan dia langsung oke?"
Callista menggeleng. Membicarakan pria lain di saat dia bersama suaminya menimbulkan rasa tak nyaman baginya. "Dia bilang akan selalu ada untuk aku begitu kamu menyakiti aku."
"Terus kenapa kamu tetap milih aku? Apa kamu.. masih marah soal sikap aku sebelum kita menikah?"
Callista menggeleng. "Asal kamu menepati janji setia kamu, aku nggak akan marah kok, Sayang."
"Jawab aku dulu. Kenapa kamu tetap ingin menikah dengan aku?"
"Selama ini aku ragu apakah aku bisa membahagiakan kamu. Aku ragu apakah kita bisa saling menyenangkan perasaan setelah menikah," kata Callista lirih. "Tapi ketika malam itu kamu datang. Ya, saat kamu datang dan kamu justru ingin mempertahankan hubungan ini, aku tahu aku tak butuh siapa pun lagi selain kamu. Yang sabar sama aku, yang bisa nerima aku, ya hanya kamu."
Mata Callista membesar saat tiba-tiba bibirnya dikecup suaminya. Namun, di detik kemudian dia tersenyum, dan membalas ciuman suaminya dengan sama hangatnya.
"Kamu janji nggak akan ingat kesalahan aku?" tanya Ben di sela-sela ciumannya.
Callista tertawa kecil. "Tentu aku akan ingat sampai akhir hayatku, tapi aku tidak trauma kok!"
"Good!" Bibir Ben turun ke leher istrinya, lalu berhenti di dada Callista yang ranum, namun sebelum itu dia merasa cengkraman di bahunya. Dia mendongak. "Kenapa, Sayang?"
"Kamu tanya aku soal Narren. Bagaimana dengan Tania? Kamu sudah putus kan dari dia?"
Melihat istrinya cemberut, bukannya menjelaskan Ben malah menurunkan gaun pernikahan sampai bagian dada istrinya terbuka. Dan matanya terlihat takjub.
Dikulumnya puting istrinya.
"Ben, jawab aku dulu...," desis Callista tak fokus.
"Nanti, kita masih punya waktu seumur hidup untuk bicara," jawab Ben melepas mulutnya. "Untuk sekarang, aku ingin kita melakukannya tanpa memikirkan siapapun dan apapun. Oke?"
Sekali pun Ben tak membutuhkan jawaban Callista. Dia di sana menyentuh, memasuki dengan hati-hati, sampai didengarnya erangan istrinya yang awalnya kesakitan namun berubah menjadi desahan menikmati.
Setelah mereka melakukannya, dia memeluk istrinya. "Nggak takut lagi kan, Sayang? Hm?" tanyanya lembut. Dilihatnya Callista menggeleng.
"Kita akan terus bersama ya?"
"Selama kamu setia saja."
"Tentu. Nggak usah kamu ragukan itu!"
Lalu Ben bangkit untuk memuaskan istrinya lagi.
Pada saat mereka terkapar dengan napas tersengal-sengal, Callista menoleh ke suaminya dan menatapnya sendu.
Terima kasih, Tuhan, ucapnya dalam hati. Engkau masih memberikan kesempatan pada kami untuk berbahagia setelah masalah yang mendera kami. Aku harap, Engkau selalu memberi kekuatan selama kami menjadi suami-istri.
THE END
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tidak Serumit Itu #Completed
Romantik"Kamu berani, Ben?" isak Callista pelan agar tak mengundang perhatian dari orang sekitar. Cukup mereka bertiga saja yang bisa mendengar suaranya. "Kamu berani natap mata aku di saat kamu membohongi aku? Kamu pikir, aku anak kecil?" Mata Callista ber...