Mereka masuk ke kamar Nenek. Kehadiran mereka seakan memberikan cahaya terang ke kamar itu, karena Nenek merasa hidupnya lebih berwarna melihat wajah Callista yang segar. Namun setelah Nenek memicingkan matanya untuk melihat Callista lebih jelas, Nenek merasa sedih.
Callista dan Ben duduk di samping ranjang Nenek. Callista melirik sekilas ke arah tunangannya itu. Terlihat Ben yang iba memandang Nenek. Baguslah. Callista kira, pria ini akan datar saja mengingat Ben kurang akrab dengan keluarga Callista.
Callista merengut melihat ekspresi neneknya yang sendu. "Kenapa, Nek? Nenek tidak senang Callista ke sini?"
"Cucu Nenek lagi sedih?"
"Sedih? Nggak kok, Nek. Mungkin karena kecapekan ya, Nek," kilah Callista. Dia jadi menyesal mengapa tidak memoles wajahnya dulu dengan makeup agar orang lain tidak menyadari dia baru saja menangis. "Aku nggak apa-apa kok, bener deh!"
"Benar, ya? Ben kamu nggak sakitin Callista, kan?" Nenek menatap Ben curiga.
"Nggak, Nek," jawab Callista cepat agar Ben tidak merasa canggung. "Malah, aku bahagiaaa banget karena bentar lagi aku mau nikah."
"Sudah ditentukan tanggalnya?"
Callista dan Ben mengangguk.
"Nenek diundang nggak?" tanya Nenek.
"Ya jelaslah, Nenek," sahut Callista.
"Kamu nggak malu? Nenek kan lumpuh. Bagaimana Nenek menghadiri pernikahan kalian?"
"Nenek tidak usah khawatir." Ben yang menjawab. "Nanti aku dan Callista konsultasi ke rumah sakit soal Nenek. Nggak mungkin kami mengabaikan Nenek."
"Badan Nenek setengah lumpuh loh, Ben," kata Nenek. "Kalau kalian mau Nenek lihat pernikahan kalian, ya paling mungkin kalian menikah di sini. Sederhana saja. Kalau resepsi Nenek tidak ikut juga nggak masalah."
"Ngg.., nanti Callista coba ngomong sama orangtua Ben juga ya, Nek," sahut Callista lirih. "Karena kan, ini melibatkan keluarga Ben juga. Bukan Callista nggak sayang sama Nenek, tapi Nenek ngerti maksud Callista, kan?"
"Ya sudah, yang penting kalian bahagia saja," kata Nenek menutupi kekecewaannya. "Kalian sudah makan belum? Makan dulu, gih."
Mereka sampai malam di rumah Nenek. Callista di kamar Nenek, mengajak Nenek mengobrol, membantu suster mengganti pampers Nenek, dan menyuapi Nenek makanan, sementara Ben di ruang tamu menonton TV dan ponselnya. Sesekali dia ke kamar Nenek untuk mengobrol juga sekenanya. Nenek pun tidak bertanya hal di luar topik keluarga Ben. Nenek menanyakan kabar keluarga pria itu, bagaimana ke depannya, dan yang terakhir Nenek meminta Ben untuk menjaga Callista.
"Kalau bisa, temani Callista ke sini. Kalau waktu bisa diulang, Nenek ingin sekali bisa ngobrol lebih lama dengan Callista, lebih dekat dengan Callista. Ya, Ben?"
Di depan nenek Callista, Ben mengangguk patuh, namun di mata Callista raut wajah Ben menunjukkan protes. Callista pun tidak mengiyakan permintaan Nenek karena dia tak yakin dia akan rutin menemui Nenek. Bisa-bisa, jika dia bilang iya dengan yakin saat itu, Ben memarahinya lagi karena menganggapnya tak punya kekuatan untuk melawan.
Pukul setengah delapan malam, saat Nenek sudah mengantuk, Callista dan Ben mohon diri untuk pulang. Nenek mengangguk dan berpesan agar mereka hati-hati di jalan.
Saat di mobil, Callista mengira Ben akan tetap mengajaknya nonton di bioskop. Pada akhir pekan bioskop buka lebih malam. Tapi pria itu menawarkannya hal lain.
"Pemandangan bunderan HI bagus ya, Sayang?"
"Hmm, iya," jawab Callista tidak tahu maksud pembicaraan Ben.
"Gimana kalau kita menginap di Kempinski?"
"Menginap? Ngapain. Kita kan punya rumah?" sahut Callista polos.
Ben berdecak. "Bukan menginap untuk tidur. Untuk melakukan hal lain."
"Ya tapi ngapain?"
"Kita bentar lagi mau nikah lho, Sayang. Kenapa sih kamu masih belum percaya sama aku?"
"Kamu serius nanya kayak gini?"
"Ya coba kamu jawab aja, kenapa kamu sampai sekarang masih ragu sama aku. Sentuhan aku saja kamu nggak suka."
"Aku nggak ada ya bilang aku nggak suka sentuhan kamu," sergah Callista. Dibuangnya napas kesal. "Aku suka kok, kita pegangan tangan, kita ciuman, tapi untuk lebih dari itu?" Callista menunduk, menggeleng. "Aku nggak bisa melakukan itu sama kamu."
"Ya tapi karena apa? Callista, kamu itu bukan anak kecil lagi. Kita bukan anak kecil!" bentak Ben marah lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tidak Serumit Itu #Completed
Romansa"Kamu berani, Ben?" isak Callista pelan agar tak mengundang perhatian dari orang sekitar. Cukup mereka bertiga saja yang bisa mendengar suaranya. "Kamu berani natap mata aku di saat kamu membohongi aku? Kamu pikir, aku anak kecil?" Mata Callista ber...