Tatapan dingin Ben yang tersorot ke arah Callista membuat perempuan itu gugup. Apakah dia seharusnya pulang saja? Ataukah dia mengikuti keinginan pria itu untuk membicarakan masalah mereka? Masalah apa? Bukankah sudah jelas Ben tidak setia dengan wanita lain keluar dari kamarnya barusan? Apa lagi yang Ben bisa jelaskan pada Callista?
Callista tidak bisa memikirkan skenario yang baik. Keterkejutannya saat dia tahu perempuan bernama Tania itu ada di kamar Ben mengusik hatinya. Berapa lama Tania di kamar Ben? Semalaman kah mereka bersama? Melakukan apa? Walau Callista tidak mau menyerahkan dirinya untuk memuaskan Ben, mengapa dia tak mau wanita lain yang melakukannya?
Apakah betul letak permasalahannya ada pada Ben yang bersama wanita lain? Tidak, kan? Ketidakcocokan mereka, keluhan Ben terhadapnya selama ini...
Callista menarik napas, menguatkan dirinya. Perlahan dia mengangguk dan mengikuti Ben masuk ke kamar pria itu. Saat pria itu menutup pintu dan menguncinya, jantung Callista berdetak lebih cepat.
Namun ketika dia memutar tubuhnya untuk memandang Ben, dia tidak merasa takut. Dapat diawasinya wajah Ben yang lelah dan keengganan di wajah pria itu.
"Sebentar. Aku mau mandi dan ganti baju." Ben mengambil baju dan celana kerja serta pakaian dalamnya dari koper yang tergeletak di atas meja dekat pintu. Dia kemudian menoleh Callista yang tegang. "Nggak usah khawatir. Aku akan pakai baju di dalam kamar mandi."
Callista diam saja. Dilihatnya Ben masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamar dan tak lama dari itu terdengar suara pancuran shower dari sana. Sambil menunggu, Callista duduk di kursi dekat jendela sambil memeluk ranselnya kuat-kuat. Dia tak tahu apa yang harus dikatakannya setelah Ben selesai mandi.
Dia tak pernah menunjukkan kemarahan yang berarti. Setiap dia kesal, dia memilih untuk menangis. Tak pernah dia membentak apalagi menyebut pria itu dengan kata-kata yang tak pantas. Tapi kali itu, setelah melihat Ben bersama Tania, dia ingin sekali menyemburkan kemarahannya.
Gejolak amarah itu membakar hatinya. Dia menjadi tak tenang. Secercah kalimat buruk ada di benaknya, siap dilontarkan pada Ben. Namun ketika pria itu keluar dari kamar mandi, siap dengan pakaian kerjanya, pertahanan Callista menciut.
Dia tak berani.
"Jadi kenapa kamu tiba-tiba ke sini tanpa memberitahu aku?" tanya Ben datar, tapi matanya menatap lurus Callista.
Ben tidak mendekatinya. Tempatnya berdiri menyisakan ruang di antara keduanya.
"Aku... Aku tadinya mau minta maaf karena telah mencelakai kamu," sahut Callista sedikit gelagapan. Dia memandang kesal. "Tidak penting alasanku ke sini. Aku hanya ingin tahu apa yang kamu lakukan dengan perempuan itu di kamar kamu."
"Kita hanya ngobrol."
"Dan kamu ingin aku percaya?"
Ben tertawa lirih. "Ya, kita melakukan oral."
"Oral? Maksudnya?"
Rahang Ben mengeras. Dia berpikir-pikir untuk memberikan jawaban yang tepat. "Kamu tahu, untuk memuaskan teman tidur kita, kita nggak perlu...." Ben membuang napas. Dia bingung bagaimana menjelaskan pada Callista. Seharusnya hal itu sudah diketahui Callista di bangku sekolah, kan?
"Kalian berciuman? Dia menyentuh bagian sensitif kamu? Kamu juga melakukan hal yang sama padanya?" tanya Callista penasaran. Hatinya seakan tertusuk paku tajam saat menanyakannya.
"Well, ya," sahut Ben santai.
Callista memejamkan matanya. Dia mencoba menahan tangisnya, lalu dibukanya lagi matanya dan memandang Ben dengan getir. "Kamu mencintai dia?"
"Sekarang? No. Dulu aku dan dia saling mencintai, saling memberi kebahagiaan. Tentu kebahagiaan yang aku kehendaki," jawab Ben gamblang.
"Kamu dengar ucapan kamu sendiri, Ben? Kamu baru saja mengakui kamu memuaskan wanita lain. Kalian bersama di sini semalaman."
"Itu tidak benar."
Callista berharap Ben menyangkal dan mengatakan padanya bahwa apa yang dikatakan pria itu dusta semata. Bahwa Ben ingin menyakitinya saja.
Namun Ben lebih melukai hatinya lagi dengan jawaban berikutnya, "Selama aku di sini dia selalu ke tempat aku. Kami melakukannya setiap malam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tidak Serumit Itu #Completed
Romance"Kamu berani, Ben?" isak Callista pelan agar tak mengundang perhatian dari orang sekitar. Cukup mereka bertiga saja yang bisa mendengar suaranya. "Kamu berani natap mata aku di saat kamu membohongi aku? Kamu pikir, aku anak kecil?" Mata Callista ber...