DELAPAN

216 24 84
                                    

"Ben, bagi aku penting menjaga kehormatan aku. Hal yang menurut kamu biasa, sangat penting bagi aku, Ben," jawab Callista melas.

Callista tahu bahwa hubungan badani bukan hal yang tabu bagi Ben. Sebelum mereka pacaran, Ben mengakui hal itu pada Callista, terkait Ben yang sudah melakukannya dengan perempuan lain sebelum bertemu Callista. Ben bilang saat itu akan menunggu Callista sampai Callista siap.

Siap menurut Callista adalah ketika mereka sudah menikah. Pada malam pertama mereka.

"Sampai kapan aku harus sabar terus sama kamu, Callista?" tanya Ben putus asa. "Kalau aku tidak terlalu cinta sama kamu, aku ingin mundur saja. Semua yang aku mau, nggak bisa kamu berikan."

Callista mengangkat mukanya, menatap Ben kaget. Dia tidak bisa berkata apa-apa untuk membela dirinya. Sejujurnya, dia menyepakati apa yang dikatakan Ben barusan.

"Belum lagi nanti kita nikah. Aku yakin, dengan gaya hidup keluarga kamu yang begitu, kita nggak nikah sesuai dengan yang aku mau. Memang sejak awal aku pacaran sama kamu, semua diatur sama keluarga kamu. Aku nggak punya suara apa-apa," sambung Ben jengkel. "Bahkan acara tunangan, kostum, makanan, semuanya keluarga kamu yang atur. Kamu nggak kasih kesempatan apapun ke aku."

"Aku... Aku nggak tahu harus ngomong apa, Ben. Kamu berhak marah," sahut Callista dengan sorotan bingung di matanya. "Jika memang untuk meyakinkan kamu kita pergi ke hotel, aku mau."

Ben tidak memercayai ucapan itu. Dia menepikan mobilnya ke kiri jalan. Matanya menatap lekat Callista. "Betul? Kamu mau melakukannya dengan aku, Callista?"

Sesaat Callista diam, tidak yakin dengan keputusannya. Tapi bukankah Ben sudah banyak mengalah? Sudah seharusnya kan dia memberikan sesuatu untuk menyenangkan hati pria itu?

Toh mereka akan menikah.

Perlahan, Callista mengangguk.

**

Saat itu hotel sedang ramai dan hanya kamar jenis Luxury Suite yang tersedia di Hotel Indonesia Kempinski. Selama di lobi saat Ben melakukan registrasi di resepsionis, jantung Callista berdegup kencang. Peluh mulai membasahi badannya. Dia gugup, dan ingin pulang saja.

Setelah urusan di resepsionis selesai, Ben menggandengnya masuk ke lift dan naik ke kamar mereka. Di lift pun Ben tersenyum terus padanya. Pria itu mengucap syukur sebab akhirnya perempuan yang selama ini dicintainya akan melakukan hal yang diinginkannya selama ini.

Callista mau memberikan dirinya seutuhnya padanya!

Ben menggesek kartu hotel di gagang pintu. Begitu pintu tak terkunci, dia membuka pintu dan membiarkan Callista masuk lebih dulu. Lalu di belakang perempuan itu, dia masuk dan menaruh kartu hotel ke dalam card reader dekat pintu. Lampu dan AC menyala setelah dia melakukannya.

Dia menutup pintu.

Deg.

Callista merasa sesak di dadanya. Dia tidak tahu mengapa dia bereaksi begitu. Apakah dia takut? Bukankah seharusnya dia percaya pada Ben? Ben takkan menyakitinya, bukan? Tapi mengapa dia digelut rasa gelisah?

"Tegang banget, Sayang?" tegur Ben lembut. Dia berjalan ke meja dekat tempat tidur di mana terdapat tombol untuk mengatur lampu. Dia tekan-tekan tombol di sana, hingga lampu yang menyala hanya lampu bercahaya remang di dekat tempat tidur.

Callista mematung di tempatnya berdiri.

Ben menghampirinya. Dirangkumnya wajah wanita itu dengan kedua tangannya. "Kenapa, Sayang?" bisiknya mesra. "Jangan takut. Aku nggak akan menyakiti kamu."

"Aku... Aku nggak tahu bagaimana caranya melakukan ini, Ben," jawab Callista nanar. "Bagaimana jika aku mengecewakan kamu? Bagaimana jika malam ini justru bencana buat kita?"

"Bencana kenapa?" Satu alis Ben terangkat.

"Kalau aku tidak bisa memuaskan kamu, kamu akan meninggalkan aku, iya kan? Dan aku akan rugi, karena telah menyerahkan apa yang penting bagiku, dan kamu akan pergi dari aku setelah merenggut apa yang penting..."

"Merenggut? Sayang, tega banget omongan kamu." Ben mendekatkan bibirnya ke bibir Callista. Diciumnya Callista dengan lidahnya yang menyisip masuk ke mulut wanita itu.

**

Cinta Tidak Serumit Itu #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang