DELAPAN BELAS

339 36 82
                                    

Hubungannya dengan Callista yang merenggang tak terlalu memusingkan Ben. Sebab sesampainya di Jakarta, dia dibebani dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. Tak hanya ke Jogja, cabang lain di kota Surabaya dan Semarang pun butuh pengarahannya. Tugasnya sebulan itu untuk memberi pengarahan ke beberapa kantor cabang.

Barulah setelah dia tak ada lagi pekerjaan di luar kota, ketika dia sampai di rumahnya dengan keletihan yang membelenggu tubuhnya, dia baru sadar betapa kesepiannya dia. Tak ada interaksi satu pun dengan Callista. Saat dia mengecek ponselnya, tak ada telepon dan pesan singkat dari tunangannya itu. Ya, selama kedua belah pihak belum menyatakan pertunangan mereka batal, Callista masih menjadi tunangannya, kan?

Ben tidak bersama siapa-siapa selama dia berpisah dari Callista. Telepon dan pesan singkat yang dia dapat dari Tania tak digubrisnya. Dia tak menganggap Tania lebih penting daripada Callista. Ya, dia memang dipuaskan oleh perempuan itu, apalagi saat Tania mengulum bagian sensitifnya, yang mengantarkannya ke titik kepuasan itu, tapi untuk menjalin hubungan lagi dengan Tania? Tunggu dulu.

Ben tidak mau berkomitmen dengan siapa pun selain dengan Callista. Ya dia sebal dengan Callista yang iya-iya saja saat orangtuanya menyuruh untuk mengutamakan keluarga perempuan itu. Ya dia juga jengkel karena Callista tak bisa diajaknya tidur. Tapi berpisah? Tak ada Callista dalam hidupnya?

Ben tidak tahu harus meminta saran dari siapa selain ibunya, orang yang dekat dengannya dan punya pengalaman menikah. Dihampirinya ibunya yang masih bekerja dengan laptop-nya. "Ma."

Ibunya melepas kacamata tebalnya. "Ya, Ben. Ada apa?"

Ben duduk di kursi sebelah ibunya. Disampaikannya permintaan Callista yang ingin putus. Dikatakannya dengan jujur bahwa dia telah teledor membiarkan Callista melihatnya bersama wanita lain.

"Ben, Ben, Ben," potong ibu Ben kesal. "Kamu tahu kenapa Mama setuju kamu sama Callista? Mama tidak ada hard feeling kepada dia. Mama langsung kasih restu begitu saja. Kamu tahu kenapa?"

"Karena dia baik? Berpendidikan? Cantik?" Ben mengangkat kedua alisnya. "Well, apa jawabannya?"

"Kecantikan, kepintaran, semua itu relatif saja. Tapi hal yang membuat Mama ingin dia jadi istrimu, karena dia berasal dari keluarga baik-baik. Sejak Mama ketemu orangtuanya, Mama tahu orangtuanya mendidiknya dengan nilai dan norma." Ibu Ben menarik napas panjang. "Mama tidak bisa melakukan apa yang orangtua Callista lakukan. Selama ini Mama membesarkanmu dengan memberi kebebasan pada kamu, gaya hidupmu mau seperti apa juga itu terserah kamu."

"Tapi, Ma, Callista nggak bisa bikin aku bahagia. Dia selalu nolak setiap dia disentuh," kilah Ben.

"Kamu jujur nggak ke dia, soal kamu nggak perjaka?"

Ben mengangguk.

"Kalau keadaannya dibalik. Dia sudah tidak perawan, sudah pernah menikmati hal itu dengan pria lain, kamu terima dia nggak?"

"Ya jelas nggaklah, Ma! Yang bisa sentuh dia cuma aku...." Ben kemudian menyadari kekeliruannya dalam menilai Callista. Selama ini Callista bukan tidak mau membahagiakannya, tapi Callista menjaga dirinya untuk orang yang memang tepat. Dan siapapun tak akan bisa jadi orang yang tepat selama orang itu bukan suami Callista. "Hm. Selain soal dia yang nolak sentuhanku, aku juga nggak sreg sama keluarganya. Keluarganya terlalu menguasai kita, bukankah begitu? Bahkan, kemungkinan pesta pernikahan kami tidak akan sesuai dengan yang aku mau, di gedung dan penuh keramaian. Pernikahan itu akan diadakan di rumah nenek Callista yang lumpuh."

"Terus masalahnya apa?" tanya ibu Ben bingung.

"Ya, ini kan pernikahan pertama kami, seharusnya kami melakukannya sesuai dengan apa yang kami mau."

"Dan kamu menganggap kamu mengalah dari dia karena pesta pernikahannya tidak sesuai yang kamu mau? Kamu pikir nggak, dia juga sebenarnya mau pernikahannya meriah, tapi dia punya nenek yang harus dia hormati?"

"Ma, kok jadi Mama belain dia?"

"Bukan, bukan Mama belain dia, tapi kamu harus ngerti makna pernikahan itu apa, Ben. Ya, kamu dan dia akan jadi suami-istri. Ya akan ada kalanya dia harus tunduk sama kamu dan mengikuti perintah kamu. Tapi kamu juga harus ingat. Kamu harus sayangi dia, hormati dia, dengan apa? Ya dengan menghargai dia, menerima dia. Ben. Asal kamu tahu saja, mamamu ini dan papamu menikah di kantor catatan sipil, tok! Tak ada pesta. Tak ada makan-makan meriah. Karena yang penting adalah Mama menghabiskan sisa hidup Mama dengan pria yang Mama cintai, begitu pun sebaliknya." Ibu Ben memandang anaknya iba. "Ben, apakah pesta yang meriah lebih penting daripada Callista? Apakah penolakan Callista sangat melukaimu hingga kamu melepaskan dia?"

"Nggak ada yang lebih berarti selain Callista, setelah Mama serta Royhan tentu saja," jawab Ben.

"Coba kamu renungkan dulu kamu maunya apa. Kamu butuh atensi orang-orang atau kamu butuh bahagia bersama Callista," kata ibunya datar. "Mama harus kerja lagi. Kamu tidur saja sana!"

Ben berlalu dari hadapan ibunya. Dia ke kamarnya, meraih ponselnya dari kantong celananya. Untuk sesaat dia memandang nama Callista di ponselnya. Bagaimana dia meminta maaf? Apakah Callista akan luluh padanya lagi?

Belum sempat dia menekan tombol call, ponselnya berbunyi. Callista meneleponnya.

"Iya, ada apa?" sapa Ben lirih.

"Ben, kamu lagi sibuk?"

"Nggak, nggak sama sekali. Kenapa?"

"Ngg..." Di tempat lain, di kamarnya, Callista menggesek-gesek cincin tunangannya dengan telunjuk tangannya yang lain. Dia dikecamuk ragu dan penasaran. "Kamu sudah bilang ke mama kamu?"

"Tentang?"

"Tentang?" Suara Callista meninggi. "Ya, tentang tak akan ada pernikahan di antara kita, Ben. Kamu lupa?"

"Belum, nggak. Kenapa memangnya?" Perempuan itu tak langsung menyahut. Hanya deruan napasnya yang terdengar jelas. "Kamu sudah ketemu orang lain?"

"Hm, aku.. Aku nggak selingkuh, Ben. Kamu ingat Narren yang di rumah nenek aku waktu itu? Ya, dia nanya apakah aku masih sama kamu. Karena itu aku jadi ingat hubungan kita yang lagi on a break."

"Terus? Apa urusannya dia nanya kayak gitu? Kamu suka sama dia? Kamu mau punya hubungan sama dia?" Rahang Ben mengeras. "Kamu cinta sama dia?"

"Ben, kok kamu jadi kayak gini lagi, sih...," sahut Callista mengeluh.

"Kamu tunggu aku, ya. Jangan ngasih janji ke siapa pun sebelum aku kasih jawaban ke kamu. Ngerti?"

"Ah, kamu nggak berubah."

"Memang nggak. Aku masih cinta sama kamu. Beri aku waktu."

"Waktu untuk apa? Untuk kamu dekati cewek lain? Untuk kamu selingkuh lagi? Aku capek ngomong sama kamu, deh!" bentak Callista, lalu perempuan itu mematikan sambungan.

Ben jadi bingung sendiri. Harusnya kan dia yang marah karena Callista mempertimbangkan pria lain? Kenapa Callista jadi menuduhnya begitu, sih?


**

Cinta Tidak Serumit Itu #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang