Adira bergabung dengan teman-teman sesama calon mahasiswi yang akan melaksanakan ospek. Di sana juga ada Gilsha, sahabatnya.
Entah mengapa perasaan Adira tiba-tiba saja tidak enak ketika melihat tatapan tajam dari para senior. Ia berusaha berpikir positif. Bukannya yang namanya senior pasti memang begitu, kan? Seolah-olah bernafas saja salah jika dilakukan oleh junior.
Setelah mendapat instruksi dari senior, para calon mahasiswi baru bergerak menuju loker untuk mengganti seragam asal sekolah masing-masing dengan pakaian olahraga. Mereka akan melaksanakan olahraga pagi terlebih dahulu sebelum memulai materi ospek. Beragam bentakan maupun bentuk caci maki terlontar dengan kerasnya dari bibir para senior.
Lambat!
Cepetan jalannya!
Dasar caper!
Untung saja Adira dan Gilsha sudah mempersiapkan mental baja untuk menghadapi semua bentuk perlakuan senior. Seperti sekarang ini, mereka berdua menulikan pendengarannya meskipun senior tetap saja koar-koar menyuruh calon mahasiswi untuk gerak cepat menuju loker.
Ingin sekali Gilsha berbicara lantang di depan wajah senior itu. Bayangkan saja, ratusan mahasiswi di suruh berganti baju di loker yang hanya ada beberapa bilik saja. Untuk antri nya saja membutuhkan waktu yang cukup lama. Senior dengan seenaknya menyuruh untuk cepat-cepat dalam berganti pakaian.
"Heh, lo! Sini!" panggil salah satu senior dengan name tag Retta Agistia yang terpasang di sisi kanan jas almamaternya.
"Sa-saya, kak?" tanya Adira memastikan. Melihat kondisi, sepertinya memang benar ia-lah yang dipanggil oleh Retta.
"Iya lo, siapa lagi!" ketus Retta.
"Sha, gue dipanggil sama kakak tingkat."
"Gue temenin ayo."
"Nggak usah, Sha. Lo harus cepet ganti baju keburu seniornya marah-marah lagi."
"Lo nggak papa?"
"CEPETAN! MALAH NGERUMPI!"
Mendengar nada tinggi yang dilontarkan Retta membuat Adira buru-buru menghampiri kakak tingkatnya itu.
"Ada perlu apa kakak panggil saya?" tanya Adira. Ia berusaha tenang meskipun dalam hati ketakutan karena raut yang Retta tunjukkan begitu menakutkan. Seram.
"Ikut gue, cepetan!"
Adira berjalan mengikuti Retta.
"Jalan lama amat, bisa cepat nggak, sih?!" omel Retta.
Dalam hati Adira ingin sekali mengumpat mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Retta. Perasaan ia sudah berjalan dengan sangat cepat. Bahkan posisinya hanya berbeda satu langkah saja dari Retta. Bisa saja Adira berjalan lebih cepat mendahului kakak tingkatnya itu, tetapi mana mungkin ia mendahului seorang senior. Yang ada nanti dirinya yang kena marah.
BRAK
Retta menutup pintu dengan sangat kerasnya setelah berhasil membawa Adira untuk memasuki salah satu ruangan.
"Kakak bawa saya ke sini mau apa?" tanya Adira to the point. Ia tidak ingin basa-basi untuk saat ini. Di dalam ruangan ini hanya ada Retta dan dirinya saja. Tidak ada siapapun lagi selain mereka berdua.
"Gue ngajak lo ke sini mau ngasih pelajaran ke cewek caper kayak lo! Apa-apaan lo pake berduaan sama calon mahasiswa kayak tadi pagi?!"
Brak
Lagi, Adira dibuat terlonjak dengan gebrakan meja. Jangan lupakan bahwa Adira memiliki trauma terhadap kekerasan. Membutuhkan waktu lama untuk sembuh dari traumanya itu sampai-sampai ia harus selalu meminum obat anti depresan dan antipsikotik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana Awan [on going]
Novela JuvenilSpin-off Laksana Hujan ⚠️ Harus siap baper ketika baca ini "Aku ingin seperti awan, yang dengan ikhlas nya mencintai hujan. Awan tak pernah marah meskipun hujan selalu memilih untuk kembali ke peluk bumi." Kisah sederhana tentang betapa ikhlas ny...