Bab 06. Lauren Bennett

89 77 19
                                    

Satu Minggu berlalu.

Jane dan yang lainnya masih enggan untuk menemuiku. Kemarin saja waktu tak sengaja melihatku, mereka langsung berlari begitu saja, seakan-akan mereka sudah tidak ingin bermain bersamaku lagi. Dan seminggu itu pula, aku selalu merenung setiap malam di jendela kamarku. Menatap malam. Terkadang juga berharap Jane dan yang lain datang memelukku, tapi itu masih tidak mungkin. Mereka masih marah padaku.

Sekolahku berjalan lancar sebagaimana mestinya. Meski terkadang aku sedikit kesal dengan Levi yang terus saja bungkam saat kutanya. Yang tidak pernah mau memboncengkanku pulang sekolah karena katanya aku ini aneh. Aneh apanya coba? Aneh mana sama kelakukannya itu? Aku mendengus sebal jika mengingat bagaimana mengesalkannya dia.

"Levi, hari ini pelajaran apa, sih? Aku lupa," Dia hanya diam memandangi buku tulisnya yang kosong. "Jadi semua buku tulis di meja belajar aku bawa semua di dalam tas," aku menambahi, padahal jelas-jelas anak laki-laki itu tidak berselera barang melihatku sedetik pun.

"Kau ini kenapa sih?" Aku berdecak sebal.

"Aku tidak ingin berteman dengan orang aneh sepertimu," jawabnya datar tanpa menoleh ke arahku.

"Aneh kau bilang? Yang aneh itu kau, bukan aku, bah!" ketusku tak sabaran. Bisa-bisanya dia malah memutar balikkan fakta? Dasar paradoks.

"Orang yang berteman dengan makhluk lain dan begitu bahagia, apa itu masih bisa di sebut wajar?" kali ini dia menoleh, pertama kalinya Levi menatap mataku.

"Maksudmu apa?" Aku menatapnya setengah bingung.

"Tanya saja pada teman-temanmu yang selalu kau bawa-bawa itu, An," pungkasnya kemudian pergi meninggalkanku dengan kepala yang masih di penuhi oleh pertanyaan-pertanyaan ganjil.

***

Levi selalu membuatku bingung berminggu-minggu kemudian. Dan sialnya lagi, dia tidak pernah menjawab satu pun pertanyaanku. Padahal aku hanya ingin satu pertanyaanku di jawab. "Yang kau maksud dengan makhluk lain itu siapa?" Aku selalu menanyakan itu padanya berkali-kali. Setiap hari. Setiap jam. Setiap menit ketika kami saling bersebelahan.

Sudah kuadukan dengan Mama jika dia adalah satu-satunya temanku yang paling menjengkelkan di kelas.

"Namanya aneh, Ma. Persis seperti orangnya," ucapku ketus.

"Selain berteman dengan Levi, kamu berteman dengan siapa?" Mama bertanya lembut.

"Apakah seperti itu bisa di sebut teman, Ma?"

Mama hanya terkekeh pelan. Setiap aku bercerita Mama pasti hanya bilang mungkin Levi tidak tahu, mungkin Levi memang anak yang pendiam. Padahal aku sering melihatnya mengobrol asyik sekali dengan yang teman-teman lainnya, tetapi tiba-tiba saja ketika berhadapan denganku, ia langsung membuang pandangannya.

Setiap aku kesepian, aku selalu pergi ke taman belakang. Tempat pertama aku mengenal Lucas, Sanne dan Sander. Walaupun setelahnya aku akan tetap sendirian, setidaknya aku bisa merasakan kedatangan mereka di sekitarku. Jika tidak bertemu dengan mereka, setidaknya aku di persilakan berhalusinasi bertemu dengannya.

Untuk Jane, Sanne, Sander, Lucas, aku rindu kalian!

Kenapa kalian bisa marah sekali seperti ini? Apa yang membuat kalian begitu membenci sebuah cita-cita? Bukankah biasanya anak-anak paling antusias jika berkaitan dengan sebuah mimpi? Apalagi Lucas..

***

Di loteng kamarku.

Dini hari, sekitar pukul 02.00

Sayup-sayup aku mendengar suara isak tangis di dalam kamar mandi. Suaranya nyaring. Merintih-rintih. Suara itu amat kentara sampai membuatku terjaga. Namun terdengar lebih berat daripada suara tangis Jane ketika pertama kali aku melihatnya di sudut kamar ini. Suaranya juga tidak terdengar seperti Jane yang merengek. Terdengar lebih serius. Bukan lagi perkara sendirian di loteng kamar ini. Terdengar begitu menyakitkan.

MAJENUN [SELESAI]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang