Bab 03. Bertemu Jane

113 87 36
                                    

Tidak sampai dua puluh menit, kami sampai di pelataran yang cukup luas. Tidak bersih, tidak kotor juga. Lumayan. Karena setiap lima hari sekali, ada orang khusus yang di perintah untuk membersihkan rumah besar ini, begitu yang papa katakan padaku. Dua jongos itu memarkirkan mobil, lantas membawa koper serta tas dari dalam bagasi untuk di bawa masuk.

Aku menatap sekeliling. Menyapu seluruh pelataran. Ternyata rumah baruku ini lebih besar dari yang aku bayangkan sebelumnya. Gaya arsitektur bangunannya masih terdapat beberapa corak yang jelas sekali adalah peninggalan bangsa Belanda. Kata Mama, rumah ini belum pernah di renovasi sejak pertama kali di bangun pada tahun 1857. Hanya sekadar di bersihkan setiap kali sudah berlumut.

Bibi Siti, pembantu yang sudah di rekrut Mama untuk bekerja selama keluarga kami tinggal di sini langsung membukakan pintu. Membereskan barang-barang dan menyusunnya di kamar masing-masing. Kamarku ada di lantai dua, loteng kecil memang, walaupun begitu, menurutku loteng ini tidak terlalu buruk, malahan bisa membuat nyaman dan membuatku merasa jauh lebih hangat karena ada tempat pembakaran api unggun di dalamnya.

"Mama, rumah ini bagus, ya?" aku berdecak kagum, menatap furniture antik yang tertata rapi di sebuah almari khusus.

Mama memgangguk pelan. "Mama juga tidak tahu jika rumah Oma dan Opa ternyata seindah ini,"

"Kalian menyukainya?" sahut Papa yang datang dari dalam kamar—mungkin kamar barunya—dan langsung merangkul Mama dengan mesra.

"An suka sekali, Pa! Ini indaah sekali!" aku iseng memegang sebuah vas bunga keramik dengan motif kuda yang ada di atas meja.

"Semua ini peninggalan Oma dan Opa. Di lemari itu, semuanya masih tersimpan rapi. Mereka selalu merawatnya dengan baik,"

Aku mengangguk-angguk. Mama dan Papa pergi untuk menelusuri ruang-ruang lain yang ada di sini.

Aku memutuskan untuk naik ke lantai dua, ke loteng kamarku. Ketika baru saja hendak membuka gagang pintu, samar-samar aku mendengar ada suara isak tangis seorang gadis dari dalam kamar. Saat aku membuka pintu, benar saja, seorang gadis bertubuh agak tinggi dan sepertinya lebih tua dariku sedang menangis di pojok ruangan sambil menutup mata dengan kedua telapak tangannya. Isak tangisnya semakin terdengar jelas. Aku mencoba mendekat, memegang pundaknya yang dingin.

"Kamu kenapa?" aku bertanya. Gadis itu menoleh. Ternyata wajahnya cukup cantik, rambutnya yang pirang dengan panjang sebahu itu di biarkan terurai begitu saja. Dia memang lebih tinggi dariku, kurus, dan wajahnya sedikit pucat.

Dia tidak menjawab. Aku menjulurkan tangan, "Namaku Anke, dari Batavia kemudian pindah kemari. Ini rumah Opa dan Oma-ku, namamu siapa?" Aku tersenyum seramah mungkin.

Gadis itu balas tersenyum meski tipis dan samar-samar. Ikut menjulurkan tangan, "Aku, Jane," katanya pelan.

Saat aku menjabat tangannya, hawa dingin seolah menyergap tanganku, hingga mengalir ke batas dadaku menyekat leher. Kami melepas jabatan tangan. Jane terlihat memandangku dengan tatapan yang ganjil. Tapi aku tidak memikirkan apa-apa kecuali ingin berkenalan lebih jauh dengan Jane. Aku memintanya untuk duduk di atas ranjang.

"Maaf Jane, kenapa kau bisa disini?" ujarku penuh tanda tanya. Bagaimana mungkin seorang gadis cilik bisa masuk ke dalam rumah ini? Padahal rumah hanya akan di bersihkan setiap lima hari sekali.

"Aku, aku adalah tetanggamu Anke. Aku sering bermain di sini," balasnya pelan.

Aku sempat berpikir, bukankah tidak ada rumah di kanan kiri rumah baruku ini? Lantas tetangga yang mana yang Jane maksud. Buru-buru aku menghapus dugaan buruk pada teman baruku ini. Mengalihkan pembicaraan.

"Rumahku ada di belakang rumah ini," dia menjawab seolah tahu sinyal kebingungan yang aku pikirkan. Aku hanya mengangguk-angguk. Siapa yang tahu kalau ternyata rumahnya ada di belakang? Haha, aku sudah berpikir yang tidak-tidak padanya.

MAJENUN [SELESAI]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang