Bab 08. Kunjungan Keluarga Lars

89 81 14
                                    

Pagi-pagi sekali Mama sudah membangunkanku sambil menggoyang-goyangkan tubuhku sebisanya. Aku masih setengah sadar. Terasa sekali tubuhku yang masih lemas di guncangkan agak kasar olehnya. Aku mendongak menatap Mama yang terlihat semakin geram karena aku tidak bangun-bangun juga.

"Bangun, An, ada tamu!" serunya sembari menarik selimut serta membuka gorden.

Ini gila. Cahaya matahari langsung menusuk mataku. Silau sekali. Aku menyumpah serapah, ini masih pagi sekali dan hari libur, kan? Kenapa Mama ribut sekali. Aku berdecak sebal.

"Siapha?" aku menguap lebar. Menutup mata, mencoba menghalau cahaya yang menimpa wajahku.

Mama bilang seseorang yang sangat spesial. Lalu aku di lempari handuk. Aku beranjak, melipat selimut, buru-buru mandi sebelum Mama bertambah geram. Bisa-bisa aku di lempari sapu setelah ini.

Sekitar lima belas menit aku mandi dan berganti pakaian. Berdandan serapi mungkin karena sekali lagi Mama bilang ini adalah tamu pertama dan spesial untuk kami. Saat aku membuka pintu, ternyata Mama sudah menunggu di anak tangga paling atas. Kemudian menuntunku untuk turun ke ruang tamu. Astaga!

Anak laki-laki yang pertama kali ku temui pasca pindah ke Bandoeng, anak laki-laki yang bercerita padaku tentang bagaimana jahatnya teman-teman sekolahnya. Anak laki-laki yang menjadi bahan bulian padahal tidak pernah punya salah sama sekali. Dia datang kemari!

"Adrian!" Aku berseru sambil berlari untuk memeluknya.

"Aduh An, kenapa kamu ini? Segitunya sama Adrian," Mama menyeletuk. Duduk di sebuah kursi yang berdekatan dengan Sari.

Aku melepas pelukan. Bersedekap di depan dada.

"Lucu sekali, wajahnya memerah, Kumala," Bibi Sari menambahkan.

Dua perempuan paruh baya itu tertawa kecil. Aku mengerucutkan bibir. Tidak suka jika mereka mengataiku seperti itu. Tak ingin terus-menerus di jahili, aku membawa Adrian untuk bermain di kamar. Sayang sekali, Jane dan yang lainnya pagi-pagi buta tadi sudah berpamitan, ingin pergi, begitu katanya. Aku hanya mengiyakan, tidak bertanya lebih.

"Mainanmu ternyata banyak juga ya, An!" celetuknya.

"Tentu saja, tapi hanya kumainkan ketika ada keempat sahabatku. Kalau tidak, ya aku hanya tidur-tiduran saja," aku bergurau.

Wajahnya terlipat. Ada apa?

"Keempat sahabat?" Adrian bertanya keheranan.

"Iya, namanya Jane, Sanne, Sander, dan Lucas," balasku.

"O. Lalu, di mana mereka sekarang?"

"Pagi-pagi tadi, mereka berpamitan pergi sebentar padaku,"

Adrian hanya meng-oo pelan.

"Padahal aku ingin sekali mengenalkan mereka padamu, mereka itu baik sekali, tidak pernah jahat padaku. Bahkan mereka selalu menemaniku kapanpun. Dan kau tahu? Sanne, salah satu dari mereka, punya kisah yang mirip denganmu,"

"Apa?"

"Dia juga sempat di bully oleh teman-temannya. Sangat parah, katanya, pelipisnya sampai berdarah karena di lempari dengan batu!"

"Omong-omong, kau mengenal mereka di mana, An?"

Sebenarnya aku sebal di tanyai terus. Apalagi pertanyaannya kedengaran aneh, seperti mengintimidasi. Tetapi ya sudahlah, biarkan Adrian tahu tentang keempat sahabatku yang menyenangkan itu.

"Di sini, aku melihat Jane sedang menangis sendirian di loteng ini. Sedangkan Sanne, Sander, dan Lucas, aku bertemu mereka di taman belakang ketika mencari Jane." ungkapku sembari memasang pita di leher Teddy yang merosot.

MAJENUN [SELESAI]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang