Bab 10. Sebenarnya Aku Tahu

86 74 27
                                    

Seperti biasa, kami berlima turun bergantian dari sado, aku melambaikan tangan kepada Amin yang sedetik kemudian langsung melecut pantat kuda di hadapan kemudinya. Kuda itu berlari cepat, bergerak memutar meninggalkan halaman sekolah.

Aku tersenyum riang, pagi ini, sahabat-sahabatku dengan wajah-wajah menyenangkannya kembali terlihat, tidak lagi dengan wajah penuh amarah seperti pekan lalu. Tidak lagi dengan wajah yang penuh benci dan aku yang membangkang. Kini aku melihat ada secercah harapan di mata mereka semua. Tanpa sedikitpun kembali mengataiku seperti waktu itu.

"Ayo masuk, kau melamun terus, An!" Sander membuyarkan lamunanku.

Aku buru-buru melangkahkan kaki, Lucas sudah berjalan di depan bersama Jane dan Sanne, sama sekali tidak melihat kebelakang bahwa ada aku yang masih tertinggal. Aku terkekeh pelan, mereka itu sangat labil sekali, ya?

"Namanya juga anak kecil, An," timpal Sander yang kini berjalan menyejajari langkahku. Lagi-lagi Sander menjawab apa yang sedang aku pikirkan, seolah-olah dia memang bisa membaca pikiran orang.

"Itu hanya kebetulan. Kau tidak perlu berpikir keras mengenai betapa seringnya aku menjawab telak sesuai dengan yang kau pikirkan," anak gempal itu tertawa kecil.

"Kebetulan? Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, San," aku mengelak. "Jangan-jangan kau pakai ilmu sihir yang bisa membaca pikiran orang, ya? Mengaku sekarang!"

Sander kali ini tertawa terbahak-bahak. Membuat badannya yang besar itu terguncang, "Kau percaya dengan ilmu sihir? Bilang saja aku jenius malah aku tidak masalah, An,"

"Hei! Ayo bergegaslah!" Lucas dari kejauhan menoleh, berseru, sepertinya mendengar celotehanku dengan Sander.

"Aye-aye Kaptain!" Sander memberi hormat, lantas menarik lenganku dan berlari menyusul mereka bertiga. Melupakan pembicaraan yang entah penting entah tidak jauh di belakang sana. Kepalaku masih pusing, bukan satu atau dua kali Sander menjawab telak apa yang aku pikirkan, tetapi berkali-kali. Dan selalu dia. Anak kecil bertubuh gempal yang begitu menyenangkan.

"Kalian ini lama sekali!" ucap Jane sambil berkacak pinggang.

Aku menghela napas. Tersengal.

Aku menoleh ke depan, Sander tidak ada capek-capeknya, sekarang anak itu begitu semangat menarik-narik ujung rambut Sanne yang di urai. Sesekali gadis itu merengek, mengadu pada Lucas yang paling dewasa, lantas Lucas melotot, mengacungkan telunjuknya ke udara, memarahi Sander yang begitu jahil pada Sanne.

"Sander! Ini semua salahnya!" aku menunjuk Sander.

"Hei, An? Kenapa kau menyalahkanku?"

"Kau yang sok-sokan membaca pikiranku,"

"Aku bilang itu hanya kebetulan, Anke yang cantik,"

"Sudah-sudah, apa susahnya jalan cepat? Siapa yang mau sekolah? Kau atau kami?" Jane berseru, tubuhnya memang kecil seperti tidak pernah makan, tapi suaranya begitu lantang, lugas dan sedikit nyelekit untukku.

Aku mengerucutkan bibir. Kenapa Jane jahat sekali?

"Karena dia memang anak yang dewasa!" Sander berbisik di samping telingaku persis, membuat suaranya hanya bisa di dengar olehku seorang.

Aku menghentakkan kaki ke lantai. Mencubit pipinya yang bulat dan berisi.

"AW!" anak laki-laki itu meringis.

Aku menyeringai puas. Belum apa-apa dia sudah kembali membaca pikiranku, bagaimana semua itu bisa di katakan kebetulan? Mama selalu bilang padaku ketika ada sesuatu yang terjadi tanpa bisa kukendalikan, tapi semuanya bisa berjalan lancar tanpa ada apapun yang menghambatnya. Yang pertama, tidak ada yang namanya kebetulan di dalam hidup ini. Yang kedua, jika terjadi satu kali, bisa jadi memang itu hanya kebetulan semata. Yang ketiga, jika terjadi berkali-kali, kembalilah ke poin yang pertama.

MAJENUN [SELESAI]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang