5

9 3 0
                                    

Jenna dan Verdyan duduk di kursi panjang dingin yang terletak di depan ruang IGD.
Nana mengalami sesak napas parah, keadaannya memburuk.

Jenna menunduk lemas menatap sepasang selop merah muda yang ia kenakan.

Mereka pergi ke rumah sakit dengan terburu-buru hingga tak sempat ganti baju atau ganti sendal.

Jenna hanya memakai piyama merah jambu polos dan Verdyan masih mengenakan jas abu-abu serta sepatu kulit hitam yang ia pakai untuk kerja tadi pagi.

Tau yang lebih parah?
ponsel Jenna ketinggalan di atas meja belajar dengan telepon yang mungkin sekarang masih tersambung. Juga masih tersambung dengan Wi-Fi rumah.

Setelah cukup lama mereka menunggu, seorang suster dan dokter perempuan keluar dari ruangan putih itu.

Dua orang yang duduk gelisah langsung berdiri menghampiri mereka.

"Dokter gimana mama saya?"

"Gimana keadaan istri saya?"

Pertanyaan dari dua orang itu belum dijawab dokter ataupun susternya.
Sedetik kemudian suster itu pergi meninggalkan mereka.

Melihat suster pergi dan dokter yang menunduk tak menjawab pertanyaannya Jenna langsung merasa tak enak.
Air matanya mulai menetes, kedua tangannya terkepal kuat di samping badan.

"Mama saya baik-baik saja kan?"

Dokter hanya diam.

"DOKTER SAYA TANYA MAMA SAYA BAIK-BAIK AJA KAN?! DIA GAK KENAPA KENAPA KAN?!"
Jenna mulai lepas kendali.

"Jenna yang sopan." Verdyan menasehati.

"Dokter istri saya baik-baik saja kan?"

Dokter itu menghela napas kemudian menatap Verdyan penuh duka.

"Maaf kami sudah berusaha tapi-"

"Jangan! Jangan dilanjutkan!"
Dada Jenna naik turun, dia kesulitan mengatur napas.

"Tapi Allah berkehendak lain. Mungkin, Allah lebih sayang mama kamu."

Jenna terduduk lemah ia seperti tak mempunyai tulang dan energi.
Darahnya serasa dikuras, dadanya dihantam batu besar, jantung dan hatinya dirobek tanpa ampun.

"Saya permisi."

Dokter itu pergi.

Verdyan terdiam matanya memerah dan ikut menangis.

Jenna menatap langit-langit rumah sakit.
Air matanya terus menetes.

Menghela napas.. memberanikan diri..
Jenna masuk ke ruang ICU dengan penuh amarah.

Sampai di sebuah tempat yang diatasnya terdapat sesuatu yang diselimuti kain putih.
Dengan tangan gemetaran, Jenna meraih kain dan membukanya.

Lagi lagi dadanya tertusuk.. kepalanya dilempar sesuatu.. air mata yang mengalir terus bertambah deras dan makin deras ketika melihat wajah Nana yang pucat dengan mata tertutup.

Verdyan mengikuti anaknya.
Dipegangnya pundak Jenna berharap Jenna dapat tenang.

"Gak mungkin! ini mustahil!"

"MAMA PASTI BERCANDA KAN?! MAMA GAK MUNGKIN NINGGALIN JENNA KAN?"
Tangan Jenna menggenggam erat jemari dingin Nana.

"Bangun ma Jenna gak bisa hidup tanpa mama. Ayo bangun Jenna janji kalau mama bangun Jenna akan jadi anak yang baik, yang selalu dengerin kata mama. Bangun mama!"

Verdyan membalik badan Jenna lalu memeluknya erat.

"Papa.. ma-ma kenapa? dia pa-pasti bangun lagi kan? Dia gak mu-mungkin ninggalin kita kan? ma-ma gak setega i-itu kan?"
Jena sesenggukan.

Biru PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang