Dari Sebuah Terminal

81 0 0
                                    

     "Mbak! Mbak! Mau ke mana? Ikut aku aja yo tak kasih murah langsung nyampek terminal gak pakai jalan lagi" nafas laki-laki itu masih tersenggal-senggal, rupanya seorang calo bis

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

     "Mbak! Mbak! Mau ke mana? Ikut aku aja yo tak kasih murah langsung nyampek terminal gak pakai jalan lagi" nafas laki-laki itu masih tersenggal-senggal, rupanya seorang calo bis. "Berapa? 30 ribu aja ya kalau lebih aku nggak mau, adanya cuma segini kalau nggak bisa aku cari bis lain aja" sebiasa mungkin Hanum menawar harga terendah, "Mbak ini mau cari bis ke mana? Ini bis terakhir, kalau mau ya nunggu nanti jam 1 malam bis selanjutnya, ya udah gini, 40 aja gimana?". Hanum menyerah tidak ada pilihan lain, dia tidak mau sendirian di terminal, mau tidak mau dia menyodorjan beberapa lembar uang pecahan 10 ribu dan 20 ribu kepada calo itu, "Makasih yo mbak, nah itu nanti sampean masuk ke bis yang warna hijau" laki-laki itu menunjuk bis berwarna hijau dengan jempolnya. Hanya bis biasa, tidak ada AC, bukan bis pariwisata yang nyaman dan berAC, Hanum memilih tempat duduk di sebelah kiri, "Permisi" ucap Hanum ramah kepada perempuan yangs edari tadi sibuk menelepon seseorang dengan ponselnya, perempuan itu segera memberi jalan Hanum untuk duduk di kursi sebelahnya. "Yaa Allah Mas! Sumpah aku lungguh karo cah wedok iki! Ben ora selamet aku lek ngapusi sampean" ("Yaa Allah Mas! Sumpah aku duduk sama perempuan! Biar aja aku nggak selamat kalau bohong sama kamu") perempuan itu berbicara dengan lawan bicaranya di telepon. Hanum menghela nafas panjang, melihat sesaat ke arah luar jendela, bis mulai berjalan ke kota tujuan. "Mbak maaf yo, aku boleh minta tolong ndak? Ngomong sama pacarku ben percoyo kalau aku lagi duduk di samping cewek, tolong yo mbak" Hanum kikuk, tampak kebingunan dan mengambil ponsel yang diberikan "Halo?" Katanya, dan tiba-tiba saja telponnya diambil oleh sang pemiliknya, "Sampean percoyo to? Kae cah wedok! Wis yo bis wis mlaku engko tak kabari maneh, iyo i love you too!" ("Kamu percaya kan? Itu perempuan! Udah ya, bisnya udah jalan, nanti aku kabarin lagi, iya i love you too!") ia segera memasukkan ponselnya ke dalam tas, Hanum meliriknya sesaat perempuan itu tersenyum sesekali seperti orang yang sedang kasmaran.
"Eh mbak maaf yo, kenalin aku Lastri, maaf yo mbak maaf banget aku" dia mengajak Hanum bersalaman dan Hanum membalas dengan senyum dan menjabat tangannya "Aku Hanum, iyo mbak rapopo wis santai wae" (Aku Hanum, iya mbak nggak apa-apa santai saja").
"Mbak ini kerja di mana? Terus sendirian gini perginya?". "Oh ada saudara yang harus saya temui mbak?". "Oh gitu, kalau aku kerja di sana mbak, itu tadi pacarku yang nelpon dia cemburuan pol! Masa ya tiap aku ke mana ditelponin terus sama dia kan aku risih gitu" Lastri mengangkat kedua pundaknya, raut mukanya mendadak sebal, "Mbak udah lama sama dia?". "Wis 5 tahun iki sama dia". "Ya biasa lah Mbak, posesif wajar mungkin khawatir Mbak Lastri gimana-gimana di perjalanan, tapi kalau udah berlebihan itu yang nggak wajar, bisa jadi dianya itu bisa jadi kurang percaya diri, tapi nggak bisa ngolah emosinya, sabar yo,". "Mbak aku boleh ndak tukeran nomor HP barangkali pas kita di sana nanti bisa main atau jalan-jalan". Hanum mendikte nomor teleponnya dan Lastri segera menyimpan nomor Hanum di ponselnya, "Sini Mbak HPmu aku catat nomorku yo soalnya pulsaku habis buat telpon pacarku tadi gak bisa miss call, hehe". "Ini yo mbak", Lastri tersenyum lebar dan memberikan ponsel Hanum, ia terkekeh sebentar ketika melihat nama di kontak ponselnya "Lastri Semohai". "Mbak kenapa to namanya Semohai?". "Itu nama panggilan sayang dari pacarku buat Lastri semok aduhai". Hanum tertawa, "Oh ono ae sampean iki". Lastri memang pantas mendapatkan predikat itu dari kekasihnya, dengan badan sedikit berisi, rambut panjang sebahu, wajahnya khas perempuan Jawa dengan tahi lalat di atas bibirnya depan bibir yang dipoles gincu berwarna merah muda terang.
Perjalanan masih panjang, memasuki area yang sudah minim pencahayaan, hujan deras membuat laju bis melambat, sesekali Hanum melihat ke arah luar, semua penumpang tampak sudah tertidur termasuk Lastri, Hanum masih terjaga. Ia melihat ponselnya, memotret kertas yang tertulis alamat juga nomor telepon seseorang yang menjadi tujuannya malam ini.
Riuh ramai orang-orang sekitar membuyarkan tidur Hanum, ia tak sepenuhnya tidur, karena pikirannya sudah pasti berjalan ke sana ke mari. "Mbak aku duluan ya, kapan-kapan kita telponan" Lastri tampak bergegas keluar bis, disusul dengan Hanum dan penumpang lainnya, tiba di terminal tujuan.
Seorang laki-laki dengan jaket hoodie hitam berlari menghampiri Hanum, ia segera berlari menghindari laki-laki itu takut kalau-kalau laki-laki itu ingin berniat jahat, Hanum berlari ke keramaian, ia melihat ke arah jam tangannya, pukul 3 pagi. Hanum berhenti sebentar duduk di dekat pos keamanan.
"Kamu ini kenapa Mbak aku capek banget ngejer dari tadi mau nawarin ojek! Mau ke mana?" Laki-laki itu mengangetkan Hanum, dengan tangan di kedua lutut dan badan membungkuk, ia bisa mendengar nafasnya berpacu. "Aku kan takut! Kalau kamu penculik gimana? Tiba-tiba kamu lari ke aku kan ngeri!". "Kamu sendirian? Berani banget jam segini sendirian. Tujuanmu ke mana? Ayo aku anter tenang aja aku nggak bakalan culik, aku di sini mengkal". "Aku mau ke alamat ini" Hanum menunjukkan foto kertas itu di ponselnya. "Oh ini sih deket, 20 ribu aja udah ayo langsung motorku ada di ujung, bentar ya aku ambil motor". "Gak bisa kurang? 15 ribu aja ya, katanya deket?". "Gustiiii... udah lari-lari, ditawar, ya udah nggak apa-apa, untung cantik" .
Laki-laki itu kembali datang dengan membawa motor honda astrea hitam putih "Mbak ini helmnya, itu tas ranselnya biar aku yang bawa di depan", ia menggendong tas ransel Hanum di depan badannya, Hanum segera memakai helm yang diberikan dan duduk di atas motor, kendaraan itu dipacu menuju ke alamat tujuan.
     "Mbak kok berani banget sendirian? Di sini mau ke mana? Kenalin, aku Bambang, Mbak namanya siapa?", "Hanum", "Mbak, aku nanya, di sini sama siapa, ini ke mana?", "Pulang..." Hanum yang melamun tidak sadar apa yang ia ucapkan, angin malam terasa begitu sangat damai, matanya terpejam sesaat, ada senyum manis di bibirnya, sudah lama sekali Hanum tidak pernah menikmati udara malam dan kesunyian jalanan. "Astaghfirullah Mbak pulang ke mana? Ya mana aku tau rumahmu di mana, itu tadi alamat siapa?". "Ngg... maaf maaf, oh itu saudara yang udah lama tunggal di sini". "Oh gitu, aku dari sore pulang kerja mangkal dan baru dapet penumpang ya ini, jadi aku kalau pagi sampai sore kerja, terus nyari tambahan mangkal di terminal, ya meskipun ngejer penumpangnya lari kayak tadi". "Kamu kerja di mana? Ya lain kali kalau mau ngejer itu teriak dulu, OJEEEEKK! Dari jauh, jangan tiba-tiba lari melotot ngejer penumpang ya takut lah mereka!". "Hehehe, iya sih, aku kerja di rumah makan, kamu kalau di sini jangan keluar di atas jam 10 sendirian kaya gini bahaya, Num". "Nanti berhenti aja di gang alamat itu ya biar aku jalan sendiri aja". "Iya lagian cuma 15 ribu gini nggak ada pelayanan VIP antar sampai depan rumah lah aku juga mau pulang udah mau subuh besok aku harus kerja pagi lagi".
"Jalan Cempaka Gang Kamboja No.41". Mereka tepat berhenti di sebuah gang, Hanum masih sangat ingat ke mana arah rumah yang akan ia tuju, "Nih, makasih ya" Hanum memberikan uang untuk ongkos ojek, Bambang tersenyum lebar "Alhamdulillah! Besok nggak makan nasi sama kerupuk" Bambang menempelkan uang itu di dadanya seraya mengucap syukur.

Kupu-Kupu Tak BersayapWhere stories live. Discover now