Sebilah Pisau dan Setitik Ingatan

47 1 2
                                    

     Selama beberapa minggu di kota ini, Hanum tidak pernah sekalipun menikmati setiap sudut kota, hari-harinya lelah dengan segala dinamika yang dialami dalam mencari pekerjaan, sore itu senja terlihat murung, warna abu-abu awan mendung mendomina...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

     Selama beberapa minggu di kota ini, Hanum tidak pernah sekalipun menikmati setiap sudut kota, hari-harinya lelah dengan segala dinamika yang dialami dalam mencari pekerjaan, sore itu senja terlihat murung, warna abu-abu awan mendung mendominasi langit sore kala itu. Hanum berinisiatif untuk berjalan-jalan sebentar di sekitar gang, di sana banyak sekali indekos, sangat padat, bahkan ada yang harus memasuki celah gang sempit yang hanya seluas sekitar 1 meter, hal itu membuat Hanum berfikir bagaimana cara mereka memasukkan barang-barang seperti kasur, dan lain sebagainya. Bunga-bunga jepun berwarna putih dan merah muda tampak berguguran setelah hujan deras semalam, wangi harumnya sangat khas meski sudah terjatuh di atas tanah. Langkahnya berhenti di sebuah gazebo tua di depan garasi Pak Kusno, ia duduk di sana, di sebelah gazebo ada sebuah sungai besar dengan jembatan yang terhubung langsung ke jalan raya pusat kota. Angin yang berhembus tampak begitu sejuk, ia memejamkan mata beberapa detik, sambil mengayunkan kakinya pikirannya menerawang sebentar, "Num?" Hanum terhentak, Pak Kusno datang dengan membawa secangkir kopi hitam, seperti biasa, selalu ada rokok di sudut bibirnya. "Tumben, gimana? Tantemu bilang kamu mau cari kerja, udah dapet?", "Ah apes Pak! Yang pertana aku ditolak karena naif banget masa dibilang aku terlalu cantik buat kerja di dapur, terus yang ke dua, di toko kaset bajakan digrebek", Pak Kusno duduk di tengah gazebo mendengarkan Hanum dengan seksama, ia membuang puntung rokoknya, "Num, cari kerja itu untung-untungan, yang penting jangan pilih-pilih kerjaan asal bisa hasilin uang dan nggak nyusahin orang, ya intinya gini, kalau kita nggak bermanfaat buat orang lain ya minimal jangan nyusahin orang", kopi hitam yang tampak sudah dingin itu diseruputnya pelan, "Iya Pak, aku nggak enak kalau numpang terus ke Om Tri meskipun mereka keliatannya nggak masalah", "Kamu kalau ada waktu coba beli koran, liat iklan baris, di situ banyak lowongan", Hanum teringat bahwa setiap sore Om Tri selalu membawa koran dari tempatnya bekerja, barangkali di situ Hanum menemukan lowongan kerja yang tidak menimbulkan hari apes lagi baginya.
     "Pak, di sini ada pasar malam nggak?", "Kamu ini nanya kok ada aja, lagi bahas lowongan nanyanya pasar malam, ya ada Num, apa sih yang nggak ada di sini, di daerah dekat taman kota sana ada pasar, kalau siang jadi pasar loak, kalau malam ya jadi pasar malam", sifat Hanum yang spontan sangat tidak bisa ditebak, ia suka menanyakan hal apapun untuk menyambung obrolan, mereka mengobrol tentang segala hal termasuk saat kejadian istri Pak Kusno meninggal karena bunuh diri meminum racun serangga, saat itu istrinya tengah sakit hepatitis, himpitan ekonomi membuat Pak Kusno tidak bisa berbuat banyak, sedangkan sang istri tidak ingin melihat Pak Kusno menghabiskan sisa hidupnya hanya untuk merawat istrinya, sore itu ketika Pak Kusno sedang memancing di sungai di bawah jembatan, dikagetkan dengan salah seorang warga yang mengabarkan bahwa istrinya ditemukan sudah tidak bernyawa di rumahnya, "Aku nggak punya siapa-siapa lagi Num, anak-anakku udah ikut sama suaminya semua mereka udah berkeluarga, tinggal di kota lain, buat nyambung hidup ya aku jual arak", Hanum hanya bisa mendengarkan Pak Kusno, segala apapun yang dilakukan orang lain, kita memang tidak bisa semena-mena menghakimi karena di balik itu semua ada suatu kisah yang menyayat hati, menguras energi dan menoreh luka. Obrolan dengan Pak Kusno sore itu berakhir saat langit sudah mulai gelap, Hanum berpamitan untuk kembali ke tempat Om Tri.
     "Dari mana Num? Aku sama Om mu pulang nggak ada orang", "Tadi di pondok ngobrol sama Pak Kusno, oh iya nanti malem Om Tri anterin aku ke pasar malem dong! Aku pengen cari angin", "Halah cari angin sini aja duduk depan kipas angin Num", Om Tri yang sedang menonton TV menjawabnya dengan nada bercanda "Ya udah nanti aku anterin" katanya lagi. "Om ada koran hari ini nggak?", "Ada, itu di atas mesin jahitnya Mbokmu, buat apa?", "Mau liat iklan baris", "Cari kerja yang bener Num, aku nggak mau lagi kayak kemarin jantungku rasa mau copot" Tante Marni yang paling terlihat cemas atas apa yang terjadi pada Hanum beberapa hari yang lalu.
     Hanum beranjak keluar kamar, mengambil beberapa tumpukan koran di atas mesin jahit, ia duduk bersila di depan kamar dan membuka lembar demi lembar koran satu per satu, Om Tri menyibak tirai kamar dan menwararinya rokok "Rokok Num?", tanpa menjawab, dengan mata masih tertuju pada koran, Hanum mengambil kotak rokok dan korek yang diberikan Om Tri, mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Asap rokok menyelimuti wajah cantiknya yang sangat serius membaca beberapa iklan baris yang tertera, dengan rokok yang ia sematkan di sudut bibirnya Hanum membaca dengan seksama sampai matanya fokus pada iklan baris yang membutuhkan pembantu di dapur untuk sebuah restoran, ia segera melipat kecil sudut koran itu untuk memberi tanda, Hanum berdiri dan mengambil ponselnya di dalam kamar, mencacat dan memotret beberapa nomor di iklan baris untuk dihubungi, ia masih punya dua lembar lagi surat lamaran kerja yang masih ia simpan. Kalaupun ada yang mengharuskan menyetorkan surat lamaran kerja, nantinya ia tidak akan kembali lagi ke warnet untuk mengetik dan mencetak surat lamaran kerja.
     "Num? Jadi dianter ke pasar malem nggak nih? Kalau jadi aku mau siap-siap" Hanum hampir saja lupa dengan keinginannya untuk pergi ke pasar malam jika Om Tri tidak mengingatkannya. "Jadi Om, aku gini aja lah terus berangkat" Hanum membuang puntung rokoknya, mengikat rambutnya sembarangan, ia hanya mengenakan celana legging hitam, kaos berukuran besar (oversized t-shirt) berwarna merah maroon tidak lupa sandal jepit kesayangannya yang sudah menemaninya setahun belakangan.
     Setelah sekitar 15 menit perjalanan, Hanum dan Om Tri sampai ke sebuah pasar malam, mereka hampir saja tidak mendapatkan tempat untuk memakirkan motor karena padatnya pengunjung malam itu, di beberapa sudut banyak sekali dijajakan makanan ringan seperti cilok, bakso, telur gulung, permen kapas. "Num, mau jajan nggak? Di sana ada yang jual telur gulung, banyak macemnya bisa pake baso, sosis, tahu", "Wah ayo!" Siapapun yang melihat antusiasme dan senyum Hanum saat Om Tri menawarinya telur gulung, ia tidak akan pernah menyangka bahwa perempuan itu telah menjalani hari-hari yang berat dalam hidupnya.
     Mereka sampai di depan lapak telur gulung, tepat di sebelahnya ada penjual minuman, Om Tri tampak sedang menunggu pesanan telur gulung, Hanum sesekali melihat ke arah bianglala yang menyala dengan aneka macam warna lampu, terakhir kali ia naik bianglala saat usianya 5 tahun, kala itu ia selalu pergi dengan neneknya ke pasar malam, neneknya membelikannya sebuah mainan komedi putar kecil, Hanum tersenyum saat mengingat itu, "Num! Ini, aku pesenin es teh, tunggu bentar" Om Tri memberikan plastik berisi beberapa tusuk telur gulung, "Ini esnya, cari tempat duduk di pinggir sana aja kalau mau makan atau sambil jalan?", "Sambil jalan aja Om" Om Tri membawakan dua gelas es teh dan Hanum berjalan sambil menikmati telur gulung. "Kamu seneng nggak Num?", "Ya seneng lah bisa dapet udara malam lagi, aku di kampung nggak pernah keluar, jarang", mereka berkeliling di area pasar malam, di sana banyak sekali pedagang yang membuka lapak, pandangan dan langkah Hanum terhenti pada sebuah wahana permainan memancing bebek dan ikan mainan di sebuah kolam karet, ia melihat ada seorang anak perempuan yang sedang bermain dengan ayahnya, anak itu sangat antusias tiap kali ia berhasil mendapatkan mainan yang dipancingnya, ayahnya sesekali membantunya mengambilkan ember kecil untuk menaruh mainan-mainan itu, terlintas sesaat tentang ayahnya, Hanum tersenyum ketika pandangan anak itu tertuju padanya. "Num, kamu tau nggak? Dulu saudara yang dikasih amanat sama ayahmu buat nitipin kamu itu ya aku, terakhir ke sana pas ayahmu masih ada itu pas lebaran, ayahmu ngajak aku ngobrol sebentar, di situ dia pesen ke aku buat jagain kamu dan anggep kamu itu kayak anakku sendiri", Hanum meminta es teh yang sedari tadi ada di tangan Om Tri, tenggorokannya tercekat karena ada sedikit rasa sedih ketika seseorang membicarakan tentang semasa hidup ayahnya, "Waktu itu ibumu kalau nggak salah lagi di salon deh, kamu di ruang TV sama Mbokmu, ayahmu di rumah kan udah pakai selang oksigen", saat itu Hanum masih berusia 15 tahun, keadaan ayahnya semakin memprihatinkan, dokter meminta untuk rawat jalan, dengan tabung oksigen yang dibawa ke rumah, saat itu ayahnya mengidap pembengkakan jantung dan asma, itu terjadi bukan tanpa sebab, kebiasaan begadang dan merokok yang menyebabkan keduanya, faktor yang utama adalah stress, kondisi ayahnya semakin parah saat terjadi perselisihan dengan ibu Hanum, saat itu ibunya ketahuan berselingkuh dengan seorang pegawai di perusahaan ayahnya, Hanum yang saat itu tidak bisa berbuat banyak, setiap malam ia hanya mendengarkan keduanya bertengkar, hingga Hanum harus memilih antara ayah atau ibunya, hari-harinya sangat kacau, ia merasa sudah tidak ada lagi kasih sayang di dalam rumah, belum lagi dengan kejadian saat ayahnya mengusir ibunya di depan matanya, semua barang-barang ibunya dikemasi sendiri oleh ayah Hanum, tidak lama setelah itu ayahnya mengambil uang dari laci sejumlah dua ratus juta, "Ini untuk biaya kamu hidup sampai kamu tua nanti, kamu jangan pernah kembali lagi ke sini, perceraian saya yang urus, Hanum akan ikut sama saya!" Hanum masih terngiang apa yang pernah dikatakan ayahnya, ibunya hanya bisa bersimpuh meminta maaf atas kesalahannya, tapi apa mau dikata, pengkhianatan tetaplah pengkhianatan, yang dilakukan Hanum saat itu berlari ke dapur mengambil pisau dan menempelkannya di tangan kiri tepat di atas urat nadinya, dengan suara sesak dan menangis ia berlutut di depan ayahnya memohon supaya tidak menceraikan ibunya apapun yang terjadi atau mereka akan kehilangan Hanum untuk selamanya, apapun rela ia lakukan demi mereka bisa bersatu kembali jika harus berkorban maka itu akan ia lakukan demi ibunya, meskipun ia tahu apa yang dilakukan ibunya adalah sebuah kesalahan besar.
     Selang dua bulan setelah kejadian itu, pagi itu seperti biasa, Hanum dan ayahnya sarapan, "Kalau nggak karena kamu, Ayah nggak mau lagi tinggal di sini terus, hanya karena Ayah mau kamu tetap hidup dan liat kamu bahagia ya Ayah bertahan, Num, sayangku..." kalimat itu belum selesai, tiba-tiba saja ayahnya terjatuh ke samping dengan tangannya memegangi bagian kiri dadanya, Hanum sontak berteriak, ibunya yang sedang berada di dapur juga berlari ke arah mereka, Hanum melihat dengan jelas detik-detik di mana ayahnya harus pergi untuk selamanya, Hanum tidak tahu apa yang sedang terjadi namun ia tahu bahwa ayahnya sudah pergi untuk selamanya.
     "Num, apa yang kamu lalui berat, tapi jangan pernah merasa sendirian ya, ada aku, ada Mbokmu, anggeplah kita ini orang tuamu sendiri". Hanum tersesat dalam lamunannya, ia tersadar saat Om Tri menepuk pundaknya, ia menghela nafas panjang, meminum es teh yang sedari tadi dipegangnya. Hanum yang masih terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya yang pelik, kini harus berani menghadapi bahwa relita kehidupan tidak selamanya buruk, hal berharga yang ia dapatkan dari setiap kisah adalah setiap orang yang hadir akan pergi, Hanum harus mencintai dirinya sendiri sebelum orang lain, sebab diri tidak akan pernah pergi apapun yang terjadi.

Kupu-Kupu Tak BersayapWhere stories live. Discover now