"Num, besok kamu jadi ngelamar kerja?", "Jadi Mbok, aku minta tolong kecilin kemejaku ya agak longgar nggak enak diliat". Hanum memberikan sebuah kemeja berwarna cokelat, Tante Marni melihat baju itu membolak-balikkan sebentar, sambil sesekali melihat Hanum "Kamu kok kayanya kurusan banget ya Num, terakhir kali aku liat foto nikahanmu agak berisi, pipimu tembem", Hanum menghela nafas seperti enggan menanggapi pernyataan Tante Marni, melihat bahasa tubuh Hanum, Tante Marni segera beranjak keluar kamar untuk menjahit kemejanya.
"Num, kamu coba dulu ini kalau kebesaran nanti tak kecilin lagi". Tanpa membuka bajunya, Hanum mencoba kemeja yang tadi dijahit, ia bergegas ke depan cermin yang ada di dekat pintu kamar, melihat dari samping, belakang, sangat pas. "Tante suka gitu ih ada orang cantik di depannya bukannya dipuji malah diem aja" Hanum sontak berbalik badan melihat ke arah seseorang di balik dinding pembatas kamar, Wira yang hanya terlihat kepalanya saja seperti muncul sangat tiba-tiba. Tante Marni yang sepertinya sudah hafal dengan kelakuan tetangganya itu hanya diam sesekali menunduk dan tersenyum kecil, "Oh, aku lagi nyobain kemeja buat besok ngelamar kerja," Hanum memulai obrolan, "Kerja di mana mbak?", Wira yang tadi hanya kepalanya yang muncul kini ia berpindah duduk di depan kamar Tante Marni. "Ada tiga tempat sih cuma aku besok mau dateng ke dua tempat dulu, tapi ya gitu nungguin Om Tri katanya mau izin kerja buat nganterin aku", "Aku besok masuk setengah hari kalau mau nanti aku aja yang nganterin kamu", "Boleh, uang bensin nanti aku ganti ya,". Tante Marni menoleh ke arah Wira "Udah pasti nggak mau diganti lah Num, lah wong pas dia sakit aja sampe gemeteran aku yang ngerawat dia bikinin teh panas sama bawa ke dokter", "Jadinya ini simbiosis mutualisme ya? HAHAHA" Hanum tertawa. Wira tampak menggaruk kepalanya "Udah Num besok aku anter! Kalau udah sama Tante Marni udah pasti kalah telak sih aku", Tante Marni berjalan ke dalam kamar dengan tawa penuh kemenangan.
"Alamatnya sih di jalan Waru nomor 54" ucapnya pada Wira. Sore itu Hanum berangkat untuk melamar kerja, salah satu tempat yang akan ia datangi adalah sebuah rumah makan khusus makan laut seperti ikan bakar dan sejenisnya, dari iklan lowongan kerja di situ tertera membutuhkan helper untuk bagian dapur. "Ini sih daerah deket tempat kerjaku dulu, di sana emang banyak rumah makan Num, mulai dari makanan Cina, masakan Padang, sampai babi guling juga ada, lengkap", "Aku liat kanan, kamu liat kiri ya, nama tempatnya Sari Laut 3", "Kalau udah punya angka gitu udah pasti banyak cabangnya Num".
Wira memberhentikan motornya tepat di depan rumah makan tempat Hanum akan melamar pekerjaan, di situ tampak sekali kalau tempat ini sangat ramai pengunjung bisa dipastikan makanan yang disajikan. "Aku tunggu di luar aja ya Num, paling juga kamu nggak lama kan?", "Nanti kalau sekiranya aku lama kamu tunggu di dalem aja, di luar panas", "Santai Num". Hanum segera menuju ke bagian kasir dan bertanya dengan seseorang di bagian kasir "Permisi, saya mau ketemu sama Pak Sudrajat", seorang perempuan dengan usia sekitar 35 tahun tersenyum kepada Hanum "Oh iya, Bapak sudah pesen sama saya kalau ada yang mau datang, silahkan ditunggu, silahkan duduk dulu mbak boleh di mana aja", "Baik, terima kasih mbak".
Di hari sebelumnya Hanum sudah menghubungi pemilik tempat itu, di iklan itu tercantum nomor telepon untuk dihubungi, Hanum diminta untuk datang hari ini, ia tampak kikuk dan memilih meja terdekat untuk duduk, tidak lama kemudian ada seorang laki-laki paruh baya dengan kaos polo dan celana jeans pendek, kumis tebalnya membuatnya terkesan garang, tampak ada beberapa cincin batu akik aneka warna di jari tangannya, ia menghampiri Hanum dan duduk di kursi yang ada di depan Hanum, "Selamat siang, perkenalkan saya Pak Sudrajat pemilik rumah makan ini," dengan ramah laki-laki itu mengajak Hanum berjabat tangan dan Hanum membalas jabat tangannya sambil tersenyum "Kita bisa langsung interview ya, santai aja jangan tegang, coba perkenalkan diri dulu", dari bahasa tubuhnya Pak Sudrajat tampak sangat profesional "Perkenalkan Pak, saya Hanum Kartikasari, saya lulusan SMA, asli dari Jawa Timur, usia saya 25 tahun", "Sebelumnya sudah pernah kerja di mana aja?", "Kebetulan ini pertama kalinya saya ngelamar kerja pak", "Gini ya Dik, ini saya nyari untuk pembantu di dapur, maaf, kamu terlalu bersih dan yang ada saya nggak tega kalau memperkerjakan kamu di bagian dapur yang harus bersihin ikan, kerang, bakar ikan dan lain-lain, terlalu cantik kamunya Dik," Hanum bisa mendengar aksen Madura kental Pak Sudrajat "Saya juga aslinya dari Jawa Timur, merantau ke sini sudah 30 tahun lebih, istri saya ada 4, yang terakhir umurnya 19 tahun, kamu masih muda kenapa nggak coba ngelamar ke tempat lain aja misal salon? Atau jaga toko?", "Saya nggak pilih-pilih kerja Pak, daripada saya nganggur kan?", "Maaf ya Dik, maaf sekali, saya beneran nggak bisa, karena karyawan sudah full cuma yang biasa di dapur ini dia berhenti karena harus pulang ngerawat orang tuanya, di bagian lain sudah full," Hanum menghela nafas, ia masih optimis dengan beberapa tempat yang belum ia datangi. "Jangan kecil hati ya. Kamu masih muda, coba cari di tempat lain, kamu mau makan atau minum dulu?", "Ngg nggak Pak terima kasih saya mau pamit maaf ya Pak, maaf menggangu waktunya,", "Nggak apa-apa, nanti kapan-kapan mampir ke sini ya, semangat! Jangan anggap ini bukan hari keberuntungan kamu ya", "Baik Pak saya pamit dulu". Hanum segera beranjak keluar menuju tempat parkir.
"Gimana Num?" Wira yang sedari tadi menunggu di atas motor tampak bingung dengan raut wajah Hanum yang sedikit lesu "Masa aku ditolak karena terlalu cantik katanya buat kerja di dapur" Hanum tampak manyun, ia segera duduk di atas motor meminta Wira untuk mengantarnya ke tempat selanjutnya. Hanum tampak mencari nomor telepon di kontak ponselnya, ia memencet tombol "call" pada nomor yang disimpan dengan nama "Toko Kaset", "Halo? Saya Hanum yang mengajukan lamaran kerja kemarin, saya diminta untuk datang ke sana hari ini", "Halo, Mbak, bisa langsung datang besok aja ya nanti alamatnya saya kirim lewat SMS", belum sempat Hanum mengucapkan terima kasih, laki-laki di seberang telepon itu tiba-tiba saja mengakhiri panggilan. "Wir, langsung pulang aja ya, nggak jadi ke toko kaset, orangnya minta besok katanya". Ada pesan masuk di ponsel Hanum, "Jalan Pulau Komodo No.27 ruko di dalam gang sebelah kiri, folding gate warna biru tua besok ditunggu jam 8 pagi".
Keesokan harinya, dengan semangat yang sama seperti kemarin, Hanum berangkat menuju toko kaset bersamaan dengan Om Tri, kebetulan sekali tempat itu searah dengan tempat kerja Om Tri. Hanum segera menghabiskan segelas susu coklat hangat yang disajikan Tante Marni. Segelas susu coklat hangat setelah memakan nasi kuning dengan lauk lima macam membuatnya agak susah berdiri pagi ini karena terlalu kenyang. Tante Marni yang membelikannya di pasar karena semalam sebelum tidur Hanum sempat mengatakan keinginannya untuk makan nasi kuning. "Mbok, doain ya" Hanum mencium tangan Tante Marni, "Iya Num, wis pokoknya yang terbaik buat kamu, hati-hati ya". Di atas motor tampak Om Tri sesekali membenarkan posisi tas selempangnya, Hanum bersiap berangkat, dengan kemeja warna coklat, celana berwarna hitam dan sepatu berwarna hitam yang sama seperti kemarin.
"Num, dulu awal-awal aku merantau ke sini itu aku kerja apa aja yang penting bisa makan, sampai aku pernah kerja jadi kurir narkoba, nyari rongsokan, padahal aku lulusan S1 cuma apa ya, namanya hidup kan kita nggak pernah tau", "Hah? Om beneran sampe jadi kurir narkoba?" Hanum sangat terkejut dengan pernyataan Om Tri "Aku dulu masih mudanya ancur Num, pecandu, mau nggak mau buat dapetin barang ya aku kerja sama mereka, disuruh-suruh buat nganterin barang, nagih ke orang yang beli tapi ngutang, kalau nggak mau bayar aku pukulin sampai babak belur, dari situ nanti bayarannya aku juga dapet bisa duit, bisa barang" Hanum masih terdiam sesaat membiarkan Om Tri melanjutkan ceritanya "Nah, sejak ketemu Mbokmu, aku tobat, dia sabar banget, nerima aku tanpa ngeliat aku dulunya gimana, karena kesabarannya itu aku jadi tekad kerja yang bener, nggak mau lagi ngumpul sama orang-orang nggak jelas, meski harus tinggal di tempat seadanya tapi kamu liat deh aku sama Mbokmu nggak pernah ada masalah," apa yang diucapkan Om Tri sangat benar, hampir sepanjang pernikahannya dengan Tante Marni, semua keluarga tidak pernah mendengar kabar kurang sedap dari mereka. "Kadang aku mikir, otakku di mana ya dulu itu kok bisa sampe kerja jadi kurir begituan".
Obrolan di atas motor memang sangat membunuh waktu, mereka sudah hampir sampai di tempat yang dituju, Om Tri memacu motornya memasuki gang kecil, di sebelah kiri gang itu terdapat sebuah ruko yang tidak terlalu mencolok, tidak ada plang atau tulisan besar yang biasa dijumpai di depan toko tapi hanya sebuah tulisan kecil ditulis di atas potongan kardus digantung dengan tali rafia berwarna hitam tepat di depan pintu masuk toko atau folding gate, yang hanya dibuka sekitar 50cm cukup untuk dimasuki satu orang. "Num, aku baru tau kalau ada toko kaset di sini", ada kecurigaan dari air muka Om Tri, tapi tidak digubris oleh Hanum karena yang ada di pikirannya hanyalah untuk bekerja dan mendapatkan uang. "Om nanti aku pulang sore kayanya soalnya orangnya kemarin SMS langsung bisa masuk kerja hari ini, nanti aku kabarin", "Ya udah kalau gitu hati-hati aja ya, kantorku deket sini kalau ada apa-apa langsung aja keluar gang belok kanan ke jalan besar", "Siap Om, hati-hati juga ya, aku masuk dulu". Hanum tampak tidak mencerna dengan baik maksud dari pesan yang disampaikan Om Tri untuk waspada jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Om Tri tampak sudah meninggalkan lokasi, Hanum memasuki ruko itu tampak banyak rak berjejer di dalam ruangan berisi beraneka macam kaset bajakan, Hanum melihat ke kanan dan kiri sampai akhirnya ada satu laki-laki yang menghampirinya, "Mbak yang kemarin SMS ya? Silahkan masuk". Hanum mengikuti langkah laki-laki itu, ia diarahkan menuju bagian dalam toko, di situ ada satu pintu kecil, laki-laki itu membuka gembok yang mengunci pintu itu, Hanum dimintanya untuk mengikutinya, Hanum merasa sedikit cemas, ia memasuki pintu itu, di hadapannya ada sebuah ruangan yang sangat luas, luasnya tiga kali lipat dari ukuran toko, di situ terdapat banyak sekali tumpukan kaset VCD, kertas sampul dengan berbagai macam genre film dan musik juga plastik-plastik pembungkus, tampak beberapa orang sedang duduk di lantai ada yang mengemas, memisahkan keping demi keping VCD dari segel, ada juga yang tengah sibuk di depan laptop. Sangat di luar dugaan.
"Jadi gini Mbak, oh iya saya hampir lupa, namanya siapa Mbaknya?", "Saya Hanum" Hanum tersenyum kaku di depan laki-laki itu karena di pikirannya masih jelas ada banyak pertanyaan tentang tempat ini namun enggan ia utarakan. "Saya Eko, yang dipercayakan oleh pemilik toko ini untuk menjaga juga mengawasi, di sini kerjanya serabutan Mbak, kalau buat yang cewek-cewek biasanya sih kaya itu si Ningrum yang lagi bungkusin kaset, kalau cowok-cowok biasanya tukang angkatin kaset-kaset yang siap jual sama bersih-bersih gudang, hari ini bisa langsung kerja, jam kerjanya di sini dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore, ada yang mau ditanyakan?", "Maaf, kalau gajinya sesuai yang tertera di iklan kan? Dan maaf, kalau mau istirahat ke luar gimana ya soalnya saya lihat tadi pintunya digembok dari luar", dengan pandangan tertuju ke depan, Eko menghela nafas sambil tersenyum kecil, "Untuk gaji, iya sesuai yang di iklan, per bulannya satu juta dua ratus ribu dengan uang makan lima belas ribu per hari, jam istirahat tiap jam 12 siang nanti pintu dibuka gemboknya, bebas kalau mau cari makan di luar, Mbak tau kan kalau ini tempat produksi kaset bajakan? Jadi kita cari amannya aja gitu Mbak, tapi tenang aja, nggak ada yang perlu ditakuti", Hanum mengangguk tanda sudah mengerti dengan apa yang disampaikan Eko. "Rum! Sini bentar" Eko memanggil seorang perempuan yang sedari tadi sibuk mengemas kaset-kaset, perempuan itu segera berjalan menghampiri mereka dengan senyum ramah. "Kenalin, ini Hanum, jangan galak-galak kamu ya! Tolong dikasih tau kerjanya gimana dan apa aja ya, udah ya aku tinggal dulu", "Mbak sama dia aja ya nanti, saya mau ngurus kerjaan lain", Eko meninggalkan ruangan itu, pintu kecil itu sudah ditutupnya dan terdengar bunyi gembok terkunci.
Ningrum menuntun Hanum mengikuti langkahnya, memintanya duduk di lantai tempatnya mengemasi kaset, "Mbak, kita kenalan dulu ya, aku Ningrum, Mbak namanya siapa to?", "Hanum" tidak ada yang bisa berpaling dari senyum manis Hanum, "Cantik-cantik kok mau kerja serabutan gini? Nggak sayang?", "Lha nggak to Mbak, daripada diem aja di rumah juga kan aku kerja karena nggak enak harus numpang terus sama saudara di sini", "Iyo juga sih, ya gini ini kerjaannya, aku di sini baru 6 bulan, masih bungkusin kaset, nanti itu yang di keranjang merah masih ada sepuluh roll kaset harus selesai hari ini, kamu kerjain ya", Ningrum menunjukkan keranjang merah yang ada di belakang tempat Hanum duduk, ia segera mengambil keranjang itu beserta kertas sampul kaset dan satu bendel plastik pembungkus.
Hanum memulai pekerjaan barunya, ia sangat antusias membungkus kasetbitu satu per satu, menatanya dengan rapi berbaris di atas keranjang yang berbentuk nampan persegi panjang. Suasana di dalam ruangan itu nyaman, ada banyak kipas angin menyala juga musik dangdut yang memecah kesunyian di sela-sela kegiatan. "Num, nggak selamanya aku mau kerja di sini" Ningrum memecah keheningan, "Lah kenapa gitu Mbak?", "Umurmu berapa sih?", "Aku 25, Mbak berapa?", "Kalau gitu ojo manggil aku Mbak, aku masih 21", "Ah yo wis! Emange ngopo to Rum?", "Aku takut kalau suatu saat bossnya telat bayar setoran ke atas, takut digrebek, nanti pegawainya yang jadi tumbal kan iso modar aku! Apa kata emak bapakku nanti, aku ngakunya sama mereka kerjanya nggak di sini", "Yo nggak mungkin kalau telat setor Rum, soale ini kan kayanya lancar-lancar aja", "Ya siapa tau". Hanum dibuat berfikir setelah mendengar pernyataan Ningrum, bagaimana jika hal buruk itu suatu saat memang terjadi pada mereka.
"Ningrum duwe saingan to saiki?" ("Ningrum punya saingan nih sekarang?") Hanum dikagetkan dengan suara seseorang yang tepat berada di belakangnya. Ningrum tampak melengos tidak menggubris laki-laki itu, laki-laki itu duduk tepat di samping Hanum. Dengan mengisyaratkan untuk berjabat tangan, "Kenalan dulu yo, panggil aja aku Gondrong", Hanum membalas jabat tangannya sambil melongo sesaat ke arah laki-laki yang berbadan tegap, gempal, ia lebih tampak terlihat seperti petugas keamanan atau body guard, yang membuat Hanum melongo adalah saat melihat kepalanya yang botak tidak ditumbuhi rambut satupun. "Ojo kaget Mbak, dulu aku Gondrong beneran, panggilanku emang Gondrong, nih kalau nggak percaya aku tunjukin fotoku", Gondrong mengambil ponsel di sakunya, Hanum melanjutkan pekerjaannya membungkus kaset, Gondrong menunjukkan ponsel yang menunjukkan fotonya yang sedang memegang ayam jago dengan rambut yang panjang di atas bahu, Hanum terkekeh "Sekarang percaya kan?", "Nanti kalau istirahat kita cari makan yuk, aku traktir bebek goreng", "Halaaaah Gondrong suka gitu ada yang cantik langsung dipepet, alus banget mainmu" Ningrum menimpali. "Maaf Mas, aku nggak suka bebek" jika ada yang bertanya apa yang bisa ditolak Hanum, ia akan memilih bebek, ia sangat tidak menyukai bebek, karena saat itu untuk pertama kalinya Hanum makan bebek goreng masih tersisa bau prengus yang membuatnya tidak ingin lagi makan bebek, tetapi hanya satu yang ia suka dari hewan itu yaitu telurnya, Hanum kecil sangat menyukai telur asin. "Gimana kalau makan di warteg langgananku?", "Pepet terus Ndrong!" Kata laki-laki yang tengah sibuk di hadapan laptop, Hanum hanya tertunduk melanjutkan pekerjaannya, ia hanya membalas ajakan Gondrong dengan anggukan tanda mengiyakan ajakannya.
Di tengah sibuknya dengan pekerjaan masing-masing, sayup-sayup terdengar suara sirine, suara itu semakin lama semakin terdengar jelas mendekat ke toko kaset, sirine itu semakin intens terdengar hanya pada satu titik, tiba-tiba terdengar suara pintu ruangan lain didobrak dengan sangat kencang, semua terkejut melihat satu sama lain, Hanum dan Ningrum menghentikan aktivitas mereka begitupun dengan yang lain, Ningrum seketika memegang erat tangan Hanum. Pegawai laki-laki yang tadinya sibuk kini mereka semua berjaga di depan pintu, pikiran Hanum kacau, jantungnya berdegup sangat kencang "Duh Gusti" Ningrum mulai menangis, Hanum menenangkan Ningrum yang mulai gemetar, tangisnya pecah. "Semua tenang ya, jangan ada yang bersuara" Gondrong memperingatkan semuanya untuk tenang, semua lampu mulai dipadamkan, musik pun tidak terdengar lagi. "Num, aku takut" Ningrum berbisik, tangannya masih sangat erat memegang tangan Hanum, ia bisa merasakan bahwa Ningrum masih menangis, Hanum mencoba tenang, sambil mengucapkan segala doa yang ia bisa panjatkan, ia masih belum tahu apa yang terjadi sekarang.
Terdengar orang berbicara dari luar dengan nada yang tinggi, Hanum bisa mengenali suara Eko yang tampak di bawah tekanan. "BRUAAAAK!" Suara pintu yang didobrak membuat Ningrum semakin menangis kencang tanpa suara, Hanum memejamkan matanya, sorot cahaya lampu senter menuju ke arahnya, membuatnya membuka mata sedikit. "Jangan ada yang bergerak! Angkat tangkat ke atas! Kamu tiarap" ada beberapa orang setengah berlari memasuki ruangan dan semua lampu dinyalakan, "Kamu tiarap! Jangan melawan" seorang laki-laki berbadan tegap dengan pakaian preman memperingatkan Gondrong untuk mengikuti perintahnya. Iya, mereka adalah polisi, beberapa dari mereka tampak bersenjata.
"Yang lainnya ikuti arahan saya, jangan ada yang melawan!" semua berjalan ke arah luar ruangan sesuai dengan perintah, Ningrum menunduk menangis, Hanum masih tegar dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, laki-laki itu rupayanya seorang Kanit (Kepala Unit) memerintahkan anggota buru sergap untuk mengamankan barang bukti.
Sesampainya di luar ia sudah melihat Eko di dalam mobil polisi diamankan oleh anggota polisi lain, Hanum dengan yang lain digiring memasuki mobil mini bus berwarna hitam dengan pengawalan ketat. "Mimpi opo aku semalam Gusti" Ningrum terlihat sangat gemetar denga keringat dingin yang mulai bercucuran, Hanum khawatir jika tiba-tiba Ningrum pingsan, Hanum dan Ningrum duduk di bangku belakang, ada dua lagi pegawai laki-laki yang duduk berjongkok di bagasi mobil yang sempit. Hanum melihat ke arah toko itu, tampak beberapa anggota polisi membawa kardus-kardus besar berisi kaset yang menjadi barang bukti, tidak lama kemudian disusul dengan Gondrong, tangannya diborgol. Hanum melongok ke belakang "Mas, mereka berdua kok diborgol? Mereka ada peran apa?", Hanum mengajak bicara seorang pegawai yang ia lihat sibuk dengan laptop saat sebelum penggerebekan "Gondrong itu bossnya, Eko cuma kaki tangannya, ini pasti kita dibawa ke Polres, nanti kalau kamu ditanyain polisi, keluarin kata-kata ajaib aja bilang nggak tahu, nggak kenal, nggak ingat, atau lupa", "Mas, firasatku kita semua pegawai nggak bakalan diproses", laki-laki itu hanya tertunduk lesu tanpa menjawab pernyataan Hanum.
Dengan pengawalan beberapa anggota polisi, mobil mereka menuju kantor Kepolisian Resor Kota. Hanum menenangkan Ningrum yang tampak masih sangat terkejut dengan apa yang terjadi. Di hari pertamanya mendapat pekerjaan, bukannya hal baik malah nasib apes yang terjadi.
"Saya baru hari pertama kerja di situ Pak," di hadapannya seorang penyidik mengetik pernyataan Hanum untuk BAP (Berita Acara Pemeriksaan), sesekali Hanum menunduk, memohon izin untuk mengambil kembali ponselnya yang disita untuk menghubungi Om Tri. "Sebentar! Selesaikan dulu urusan kamu nanti aja telponnya kan bisa" rasa ingin melawan Hanum sudah memuncak, ia sangat benci jika sudah diperlakukan kurang baik padahal belum tentu terbukti ia bersalah dalam kasus ini.
Setelah beberapa jam berlangsung, Hanum bisa sedikit bernafas, ia diperbolehkan untuk mengambil kembali ponselnya, ia segera menelepon Om Tri, memberitahukan apa yang terjadi. "Om aku di Polres, tolong ke sini ya" nada tanda telepon berakhir terdengar tanpa ada jawaban dari Om Tri. Hanum masih harap-harap cemas, berharap ada keajaiban yang datang di tengah hari yang buruk. Berjam-jam ia duduk menunggu di ruangan itu, yang lain masih dalam pemeriksaan, tidak satupun yang menawarinya minum, sesekali ia mengusapnpeluh di dahinya, pikirannya menerawang jauh, di tengah keheningan terdengar suara pintu dibuka, Hanum menegakkan posisi duduknya, dari arah pintu ada seorang anggota polisi masuk dan memanggil namanya "Hanum Kartikasari?", "Saya Pak" lagi-lagi dalam hatinya seperti terpaksa bersikap sopan dengan senyum getir Hanum menganggukkan pelan kepalanya, "Ikut saya", tanpa basa-basi ia mengikuti langkah polisi itu menuju ke arah luar ruangan, seumur hidupnya baru sekali ini ia merasakan berjalan ke koridor kantor polisi dan diperiksa di depan penyidik, anggota polisi itu menyuruhnya mengikuti langkahnya hingga sampai di satu ruangan, di dalam sudah ada Tante Marni dan Om Tri, Tante Marni menangis dan memeluk Hanum erat, tangisan Hanum pecah, rasa takut, marah, sedih semua bercampur menjadi satu, sedari tadi ia berusaha mengendalikan emosinya, namun pertahanannya runtuh ketika ia dalam pelukan Tante Marni, "Num, aku hampir pingsan tadi lagi di tempat kerja tiba-tiba dijemput katanya kamu di kantor polisi". "Mbak udah boleh pulang" seorang anggota polisi yang tadi ia ikuti berkata demikian, Hanum segera menghampiri dan menjabat tangannya "Terima kasih Pak, terima kasih!". "Pamit duluan ya", "Iya Tri, hati-hati di jalan, Hanum, jangan diulangi lagi ya", "Baik siap!" Dengan semangat Hanum menjawab anggota polisi itu dan segera berjalan keluar ruangan. Hanum masih berfikir dengan nada bicara Om Tri yang terdengar akrab dengan anggota polisi tadi.
"Num, nanti pulang pakai taxi aja sama Mbokmu ya, tenang aja, itu tadi temen waktu dulu pas aku jadi kurir, aku yang bantuin mereka buat cepuin siapa aja yang jadi bandar, mereka inget tuh aku yang bantu", "Lho kok bisa sih? Kan Om dulu itungannya pemakai juga? Sama pengedar?", "Halah kamu kayak gak tau aja hukum di sini gimana" Tante Marni tampak melengos mendengar pernyataan Om Tri, karena menurut ceritanya hari itu, sejak menikah dengan Tante Marni, menjadikan Om memilih meninggalkan lembah hitam itu.
Pelajaran berharga didapatkan Hanum hari ini, apa yang terlihat baik belum tentu baik juga untuknya, mengejar ambisi bukanlah tentang ambisi semata karena di balik ambisi pasti ada resiko dan segala kemungkinan pasti bisa saja terjadi.
YOU ARE READING
Kupu-Kupu Tak Bersayap
RomanceSetelah pernikahannya yang kandas dengan Bayu, hari-hari Hanum selalu ia habiskan dengan mengingat Bayu, cinta yang memilih pergi. Dan Hanum lantas menemukan profesi rahasia, di situ ia merasa sangat dicintai, diinginkan, dihargai dan dipuji. Dan pe...