Sebuah Pelukan Panjang

81 1 0
                                    

     Hanum terus berjalan menyusuri gang sempit itu, ingatannya menerawang, terakhir kali ia ke tempat ini saat usianya masih 10 tahun saat libur sekolah, saat itu ia ke tempat ini untuk berlibur dan semua masih terasa sama, kecuali pohon bunga je...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hanum terus berjalan menyusuri gang sempit itu, ingatannya menerawang, terakhir kali ia ke tempat ini saat usianya masih 10 tahun saat libur sekolah, saat itu ia ke tempat ini untuk berlibur dan semua masih terasa sama, kecuali pohon bunga jepun sudah tidak sebanyak dulu, kini sudah tergantikan dengan beberapa bangunan indekos.
"Bagaimana kalau seandainya orang yang akan kutemui sudah tidak lagi tinggal di sini?" Ucapnya dalam hati namun Hanum menyangkal pikiran itu, ia menengok ke kanan dan ke kiri, tanpa disadari ia sampai di ujung gang, di sana ada sebuah gazebo, tidak terlalu jelas dari kejauhan karena pencahayaan di sana sangat minim, ia berjalan menuju ke gazebo, ada beberapa orang laki-laki yang sedang bermain billiard dan beberapa dari mereka duduk dan tampak beberapa botol minuman keras di atas gazebo, Hanum sontak terkejut dan ketakutan, ia berbalik badan berjalan ke arah keluar gang sebelum salah satu dari mereka berlari mengejar dan memegang bagian belakang tasnya.
"Tolong! Jangan apa-apain saya, saya cuma mau cari saudara saya di sini" ucapnya memohon dengan mata terpejam. Laki-laki itu melepaskan cengkramannya dan Hanum lantas membalikkan badan ke arah mereka, "Kamu mau cari siapa pagi-pagi buta begini?" Bau alkohol dari laki-laki itu sangat menusuk hidung, laki-laki dengan kulit sawo matang dan celana jeans belel itu tak henti menatap Hanum, dari arah gazebo terdengar seseorang berkata "Woy! Bagi-bagi dong sini!" Hanum semakin ketakutan, badannya gemetar, keringat dingin mulai keluar dari keningnya. "Saya mau cari Om Tri, saya keponakannya dari Tante Marni" sekuat tenaga Hanum berusaha berbicara dengan nada yang sangat gemetar, laki-laki itu lantas mundur dari mimik wajah yang garang berubah drastis menjadi ramah dan mempersilahkan Hanum duduk di gazebo "Oh ponakan Om Tri jangan macem-macem lo pada!".
Beberapa dari mereka yang sedari tadi menatap Hanum kini berubah menjadi sangat ramah dan seorang laki-laki tua berambut gondrong keluar dari sebuah garasi tua di sebelah meja billiard. Dengan rokok di sudut bibirnya laki-laki itu berjalan ke arah Hanum "Kamu siapa?". "Maaf, saya Hanum, keponakan Om Tri dan Tante Marni". "Sendirian Num? Kok jam segini nyampeknya?". "Iya Pak, soalnya saya berangkatnya malam jadi jam segini baru sampai, maaf, ini Pak Kusno kan?". "Lah iya Num masa kamu nggak inget sama saya, dulu kamu kan yang sering jajan di warungku pas lagi liburan ke sini, aku ya inget sama kamu Num, kamu udah banyak berubah, makin cantik hampir pangling aku" laki-laki itu sesekali menghisap rokok yang sedari tadi ada di sudut bibirnya.
Pak Kusno, usia yang semakian tua membuatnya agak sulit dikenali Hanum, terlebih lagi rambutnya yang gondrong, saat Hanum ke warungnya, Pak Kusno tampak masih rapi, perutnya tidak sebuncit sekarang.
     "Ndre! Tolong beliin makanan, nasi bungkus atau ke warung 24 jam aja bebas sama air mineral botol besar!" Pak Kusno menyuruh salah satu dari mereka untuk membelikan makanan, "Num, kamu masuk dulu istirahat, besok subuh alu anter ke rumah Om Tri, jam segini gerbangnya masih dikunci". Hanum masuk ke sebuah garasi tua, kali ini dia ingat, garasi ini sebelumnya adalah warung kelontong milik pak Kusno, tidak ada lagi warung, seingatnya ada seorang perempuan yang mungkin itu adalah istri Pak Kusno, sesaat ia melihat-lihat ke dinding ada sebuah foto tua terpajang, foto pernikahan. Sepertinya itu Pak Kusno versi muda dengan istrinya.
Pak Kusno datang dengan membawa kresek hitam berisi nasi bungkus "Kamu makan dulu, istirahat di sini". Di sela-sela ia menikmati makanan, Pak Kusno bercerita bahwa setelah istrinya meninggal, hari-harinya sangat hampa sampai warung kelontongnya berubah menjadi tempag billiard dan tempat menjual minuman keras untuk warga di kampung ini. "Om Tri udah nggak tinggal di tempat yang dulu Num, dia pindah tapi masih dekat sini kok".
Hanum masih terjaga, ketakutan akan kejadian saat ia baru sampai yang membuatnya waspada meski ada Pak Kusno tetapi ia tak cukup nyali untuk sekedar terlelap menyenderkan punggung. Terdengar suara adzan pertanda pagi akan segera datang. "Num, aku antar sekarang ya" Pak Kusno berdiri meninggalkan garasi dan menunggu Hanum di depan gazebo, "Jalan kaki?" Tanya Hanum, "Ya iya orang deket sini aja tempatnya".
Hanum mengikuti langkah Pak Kusno, sampailah mereka di depan sebuah rumah kos yang hanya berisi 3 kamar, Pak Kusno membunyikan gembok pagar rumah itu, terlihat lampu menyala di salah satu kamar, seseorang yang samgat familiar keluar dari kamar itu. Om Tri.
Matanya menelisik siapa perempuan yang ada di samping Pak Kusno "Nih ponakan kamu datang tadi sekitar jam 3 pagi, lagi banyak anak-anak minum di sana Tri aku mau pulang dulu bersih-bersih" dengan cuek Pak Kusno berbalik meninggalkan Hanum dan Om Tri, "Hanum? Ada apa Num? Kok tumben? Ayo masuk" Hanum mengikuti langkah Om Tri.
Hanum bersalaman dengan Om Tri dan Tante Marni dengan mencium tangan mereka "Aku denger apa yang terjadi sama kamu, nih tanya aja tantemu, dia juga setiap hari nanyain kabar kamu, ya apa mau dikata Num, jodoh itu urusan Tuhan, terus kamu kenapa ke sininya mendadak? Kok kamu masih inget alamat di sini?". Hanum terdiam sesaat, menunduk, matanya berkaca-kaca seketika memeluk tante Marni yang duduk di hadapannya. Om Tri yang sedari tadi mencercanya dengan pertanyaan, berubah diam, tante Marni sesekali mengusap punggung Hanum, seperti sudah tahu apa yang tengah dirasakan Hanum, hanya sebuah pelukan panjang dan menangis sepuasnya.

Kupu-Kupu Tak BersayapWhere stories live. Discover now