Sembilan

9 3 0
                                    

***

“Carilah teman yang bisa menerima apa adanya, bukan ada maunya langsung pergi.”

–Afgan

***

Seminggu sudah berlalu, lupakan tentang pernikahan Hanna dan juga ulangan sekolah Alena, tentu saja dia mengerjakan dengan sungguh-sungguh. Sekarang Alena berhadapan dengan kedua orang tuanya, membicarakan perihal kelanjutan sekolah Alena.

"Ma, Alena gak mau kuliah, maunya kerja aja," kekeh Alena, entahlah dia sudah lelah dengan paksaan Mamanya itu untuk melanjutkan pendidikan.

Karin mengeleng keras. "Kan kamu bisa kuliah sambil kerja, Alena," murka Karin, dia juga sudah lelah memaksa Alena untuk kuliah sambil kerja.

Alena berdiri. "Ya udah Alena nikah aja!" urainya, dia langsung melangkah meninggalkan Karin dan juga Dino.

"Ma anak kita kenapa? Ko tiba-tiba mau nikah? Emang udah ada ya calonnya?" tanya Dino berbondong, tentu saja Karin tidak tau.

Karin mengeleng pelan. "Gak tau, Pa," jawabnya.

Tujuan Alena sekarang adalah menganggu orang pacaran, ah sudah lama ternyata dia tidak menganggu orang yang kasmaran. Alena berjalan sendiri, dengan seplastik es teh manis di tangannya. Alena sempat lupa, kalo sahabatnya itu sudah menikah jadi dia tidak bisa keluar tanpa seizin suaminya, ya siapa lagi kalo bukan Reyhan si cowok rese itu.

Alena menyedot es teh, lalu menatap mangsa yang akan dia ganggu hari ini. Kebetulan sekolahnya sudah selesai minggu lalu, kini tinggal menunggu perpisahan saja. Alena membuang plastik yang kosong itu, kemudian menatap kedua orang yang sedang berduaan di meja taman nasional.

Alena tersenyum miring. "Sepertinya mereka sedang merayakan hari jadian mereka," gumam Alena melangkah mereka, dengan meloncat-loncat.

Alena melihat kedua orang itu dari jarak yang lumayan dekat, ternyata dugaannya benar mereka sedang merayakan hari jadian mereka. Ide kejailan Alena muncul, tanpa ada rasa kasian ataupun malu Alena langsung mendekati mereka.

Mereka yang sedang asik berduaan, keheranan dengan kedatangan Alena yang entah dari mana asalnya, Alena menatap kue yang berangka 3 itu.

'Wih hubungannya udah tiga tahun, lama juga ya,' batin Alena, dia menatap lilin angka 3 yang menyala. Alena memajukan bibir, untuk meniup lilin itu. Setelah ditiup Alena meraih tangan cewek yang di depannya.

"Selamat ulang tahun, semoga harimu senin terus," candanya membuat cewek itu kebingungan. "Oh iya, jangan lupa pacar kamu nungguin di taman!" Alena mencolek krim, lalu menempelkan ke pipi cewek itu. Setelah benar-benar menempel, Alena langsung berlari dengan sekuat tenaga.

"Woyy! Sialan lu!" teriak cowok itu, Alena terus berlari tanpa mengubris teriakan cowok tadi untuk menyuruhnya berhenti.

Alena tidak berhenti untuk tertawa, dia sangat puas dengan apa yang dia lakukan tadi. Alena menghentikan langkah dan meredakan tawanya ketika melihat Afgan. Alena melihat kanan kiri, sudah yakin bahwa tidak ada kendaraan yang lewat Alena langsung menyebrang.

"Kak Afgan!" Afgan yang merasa dipanggil membalikkan diri. Dia terlihat menghela napas, tentu saja Alena terkekeh seakan-akan Afgan tau tujuan dia menghampirinya.

Alena melihat Afgan membeli beberapa cemilan, Afgan pikir dia akan meminta cemilan itu dan ya benar sekali, sekarang Alena sedang meminta paksa cemilan Afgan.

"Minta satu lah, Kak. Pelit amat nanti kuburannya sempit," ucap Alena mengoyangkan tangan Afgan.

Afgan menatapnya dingin. "Bodo amat, gue sengaja biar gak dingin," jawabnya membuat Alena cengo, dia tidak menyangka Afgan akan menjawab ucapannya dengan bijak.

"Sial, gue ngakak," canda Alena menahan tawa. Afgan yang melihat Alena tertawa hanya mengerutkan alis, lalu mengangkat bahu acuh. "Buruan, Kak. Minta keripik singkongnya satu," lanjut Alena.

Afgan yang sudah tau dari awal Alena menghampirinya, hanya untuk meminta cemilan. Wajar saja kalo dia tau, karena bukan sekali, dua kali dia bertemu Alena di taman hanya untuk meminta makanan lalu pergi.

Afgan memberikan apa yang Alena mau, setelah Alena mengucapkan terimakasih lalu dia pergi dari hadapannya. Afgan mengeleng-gelengkan kepala, dia heran ternyata ada manusia aneh seperti Alena.

Alena membuka cemilan dari Afgan, dia sangat beruntung menemukan teman seperti Afgan, dia sangat baik bahkan tidak pelit. Apa yang dikatakan Alena tadi sangatlah tidak benar, Afgan tidaklah pelit hanya saja dia terlalu bosan ketika bertemu dengannya hanya untuk meminta makanan lalu pergi.

Alena terkekeh, ketika mengingat kejadian beberapa hari lalu. Di mana Alena meminta makanan, lalu pergi ya seperti sekarang. Tujuan Alena sekarang adalah rumah Hanna, dia sangat rindu dengan sahabatnya itu. Semenjak menikah dengan Reyhan, Hanna tidak pernah bermain dengannya.

Alena menghentikan langkahnya, dia berpikir sejenak. "Kalo ke rumah Hanna, otomatis rumah gue kelewatan," gumam Alena sembari memasukan keripik ke mulutnya. "Eh bentar, kan Hanna udah pindah rumah," lanjutnya.

Alena kembali berjalan, dia memikirkan rumah baru Hanna sekarang ada di mana. Alena tidak tau rumah Reyhan, apalagi Afgan. Alena menghela napas, dia mendudukan bokongnya di trotoar jalanan. Alena menatap kosong ke arah jalan, dia memikirkan harus pergi ke mana agar dirinya bisa bertemu Hanna.

Afgan yang asik berjoget ria di dalam mobil, kini menghentikan jogetnya ketika melihat Alena terduduk sembari menatap kosong. Afgan tersenyum licik, ide jail muncul di benaknya. Sepertinya sekarang adalah waktu yang tepat untuk membalas dendam kejahilan Alena.

Afgan menepikan mobilnya, dia semakin menjadi-jadi ketika Alena tidak menyadari keberadaan Afgan, padahal mobil Afgan sudah ada di sisi kanannya. Afgan tersenyum miring, dia mengklakson, tawaan ngakak melihat Alena kaget, sampai keripik singkongnya itu terlempar.

"Astagfirulloh!" teriak Alena kaget, dia mengusap dadanya. Kemudian menatap nanar keripik singkongnya.

Alena berdiri dengan tatapan kesal, dia menatap mobil hitam dihadapannya. Padahal dia sudah menepi, tapi kenapa mobil itu mengklaksonnya! Alena tidak terima karena cemilannya terbuang sia-sia, susah payah dia merayu Afgan untuk memberikan cemilannya, tapi dengan santai orang yang di dalam mobil itu membuat Alena membuang keripik.

Alena menghampiri mobil itu. "Keluar lu, ganti rugi karena lu udah bikin cemilan gue terbuang sia-sia. Mubanjir tai!" teriak Alena, sembari mengetuk kaca mobil. Dia tidak peduli siapa dan berapa usianya, karena ketika Alena marah dia tidak memperdulikan orang lain yang penting amarahnya keluar.

"Sialan! Cepat keluar, atau gak kaca ini gue pecahin!" ancam Alena, Afgan yang merasa diancam merasa panik. Dia tidak ingin mobil kesayangannya ini tergores. Langsung saja Afgan membukakan kaca yang membuat Alena mematung.

"Jangan dipecahin, ya," sahut Afgan terkekeh.

Alena memutar mata jengah. "Buka pintunya, Kak," titah Alena yang dibalas gelengan oleh Afgan. Alena kembali mengangkat tangan, dengan sabar Afgan membukakan pintu. Langsung saja Alena masuk tanpa rasa malu sedikit pun.

"Kak, Hanna di mana ya?" tanya Alena, kini mobil sudah melaju dengan kecepatan sedang.

Afgan melirik Alena sekilas. "Kuliah lah," juteknya, dia kembali pokus menyetir.

"Anterin ya, gue mau ketemu Hanna," ucapan Alena membuat Afgan terkejut, bukannya dia tidak mau.

Hanya saja, mau apa Alena ke sana? Afgan sempat menolak, takutnya Alena membuat kerusuhan di sana. Tapi sayang Alena tetap kekeh, dia ingin bertemu Hanna di Universitasnya. Afgan dengan berat langkah mengantarkan Alena dengan mobil hitamnya. Dia tersenyum melihat wajah tekuk Afgan, dia mendengus sebal ketika Afgan menatapnya tajam.

"Diamlah, jangan tersenyum seperti orang gila."

***

Gak ada basa-basi ah, habis kelulusan wkwk
Eh btw gak ada yang ngucapin Happy Graduation gituu?

Mendadak Menikah ( On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang