years after - part 1/2

250 46 2
                                    

Lagu Angeline terdengar lagi.

Seorang bibi menghampiri Nyonya rumah yang sedang tersenyum menggumamkan lagu yang tengah mengalun di seluruh ruangan. Suaminya penggemar berat Band bernama Februari, setiap hari pasti akan terdengar lagu-lagu milik Band itu di dalam rumah.

“Lagu Angeline sudah berumur hampir sama dengan Isaiah, tapi Tuan James masih suka memutarnya setiap hari ya, Nyonya.” Komentar bibi meraih setrika di tangan Nyonya rumah.

“Biarkan saja, Bi. Aku sudah terbiasa berbagi cinta dengan Band Februari itu.” Ucap sang Nyonya sambil tersenyum.

Bibik ikut terkekeh. “Nyonya Margaret apa tidak cemburu? Sepertinya Tuan James lebih suka mengurusi band favoritnya yang sebentar lagi akan konser itu.”

Margaret melipat kemeja yang habis disetrika dan memasukkan ke dalam keranjang.

Minggu lalu, Suami Margaret, James Rundengan, membeli tiket 3 buah, tapi karena Margaret sedang hamil besar anak kedua mereka, dia terpaksa tidak ikut menonton konser Band idola suaminya itu.

“Izzo akan menemani bapaknya nonton, untung konsernya bisa ditonton anak diatas lima tahun, kalau tidak hm… Izzo akan menangis lagi, sebab dia sekarang sudah ikut-ikut papanya mengidolakan Band itu.”

Kedua perempuan itu terus bercengkerama sambil menyetrika dan melipat baju. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Tapi dua lelaki di rumah belum kunjung turun ke bawah juga.

“Mamaaaa.” Izzo, anak lelaki Margaret datang berlari-lari memeluk pinggang ibunya, meminta ibunya memasang dasi merah di lehernya. “Papamu mana?”

“Di kamar, Mama. Papa nyuruh saya minta tolong mama aja.”

Lelaki dewasa yang dibicarakan akhirnya turun ke bawah saat Margaret sibuk mengikat dasi anaknya. James menenteng tas kotak hitamnya. Meraih gelas kopi di atas meja dan menyeruput sedikit sambil berdiri, sepertinya terburu-buru, kancing lengannya terlihat belum terpasang dengan benar. Margaret datang dan memperbaiki kancing itu. “Ya ampun, kenapa setiap pagi selalu buru-buru, sih?”

“Margie, pasien usus buntu yang kemarin datang lagi, pasti ada apa-apa makanya dia datang terlalu pagi.”

Margaret menghembuskan nafas, “ya sudah, berangkat sana, biar Izzo aku yang antar ke sekolah.”

James mengulas senyum, “makasih, ya. Pergi sama supir, jangan sendiri.” James mengecup kening istrinya yang tengah hamil.

Margaret meringis sambil memegang perutnya yang besar, bayinya seharusnya kembar. Margaret hamil lagi saat dia baru saja kehilangan anak kedua mereka 5 bulan yang lalu, meninggal saat dilahirkan. James mengkhawatirkan kondisi Margaret yang kian lemah setiap hari, tubuhnya pun mengurus sejak hamil lagi, padahal saat hamil Izzo dia gemuk. James sudah memintanya untuk tidak usah mempertahankan bayi kembar itu, sebab kata dokter kandungannya, dia boleh memilih untuk menggugurkan kandungan demi menjaga kemungkinan buruk yang akan terjadi pada dirinya sendiri di masa depan. Tapi Margaret mengotot ingin memiliki kedua-duanya, bahkan jika nyawa mesti jadi tanggungannya.

“Sore ini aku temani ke dokter.” Janji James pada Margaret dan dibalas anggukan lemah. “Jangan terlalu banyak bekerja, Margie. Ada bibi dirumah yang mengerjakan semuanya, aku mohon, selama kamu hamil, jangan bekerja apa-apa dulu.”

Margaret tersenyum pada suaminya, kemudian memeluknya. “Aku baik-baik saja, James. Sudah sana berangkat.”

James mengecup kening anaknya Isaiah kemudian dengan sedikit berlari-lari kecil menuju garasi. James sebenarnya merasa tidak enak pada Margaret, dia istri yang sangat sabar dan baik. James sangat menyayangi perempuan yang telah menemaninya selama lebih dari satu dekade itu. Dulunya, Margaret merupakan seorang perawat di sebuah rumah sakit besar, namun saat dia bertemu dan jatuh cinta pada James, dia memutuskan untuk berhenti bekerja saat James mengiyakan ajakannya untuk berumah tangga. Selama itu, keteguhan gadis itu berhasil meluluhkan hati James. James setuju menikah dan berkeluarga dengan gadis yang pernah merawat luka dijarinya sewaktu melamun dan tidak sengaja mengiris kulit jarinya sendiri. Margaret sempat bertanya apa yang dia pikirkan sampai tidak sadar bukan kulit apel yang dipotongnya melainkan jarinya sendiri. Dan Margaret tidak lupa jawaban lelaki yang sedang murung itu, dia bilang, dengan nada hampir putus asa, “Gema.”

februariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang