how to be a leader pt.I

1.1K 49 16
                                    

M-POV
Ah tipikal. Ayah selalu memberikanku pekerjaan-pekerjaan yang tak menyenangkan. Aku tahu, aku sendiri yang lari masuk kandang singa ini, tapi tetap saja ini menyebalkan.

Pagi ini aku mengobrol dengan ibuku, hingga pada satu titik aku bicara tanpa berpikir lagi.

"Ibu tidak mengerti aku!" seruku padanya.

"Ibu hanya ingin menyiapkan kamu agar bisa menjadi.."jelas ibu.

"Putri yang pantas..ya, ya, aku tahu.", selaku."Tapi pekerjaan seorang putri pastinya bukan hanya senyum, jalan tegak, dansa atau apalah yang ibu ajarkan aku terus. Aku jenuh."

"Ya, tentu. Seorang putri juga harus mampu mengendalikan keadaan kerajaannya" Ibu mengiyakan.

"Ya, Bu"

"Seorang putri harus mampu menjadi pemimpin yang baik."

"Benar, Bu."
"Seorang putri perlu pengalaman."

"Setuju, Bu."

"Karena itu kau lebih baik ikut dengan ayahmu hari ini.

" Yah bu tapi.." aku siap menentang, hingga aku sadar."Tunggu, Ibu menyuruhku pergi dengan ayah hari ini?"

"Mengapa tidak? Kau ingin langsung terjun ke lapangan? Melihat bagaimana Ayahmu bekerja, baik untuk latihanmu.Kau mungkin dapat mempelajari satu dua hal darinya."

Astaga akhirnya! Dengan Ayah aku pasti lebih bebas, lepas dari segala gaun, korset, buku di kepala, dan sendok garpu. Mengikut Ayah, aku bisa lebih leluasa untuk memanah dan berkuda.

Siangnya aku langsung pergi ke pinggir hutan, Ayah sedang mengatur pembangunan sebuah jembatan di sana.

Aku lihat ia sedang sibuk mengobrol dengan salah satu tukang, wajahnya muram dan penuh pikiran. Pemandangan yang pelik bagiku, ia selalu ceria biasanya. Lalu Ayah melihatku dan tersenyum, ia menghampiriku.

"Hei, Merida! Apa yang kau lakukan di sini? Kabur dari latihan putri lagi? Kau tahu ibumu akan sangat marah kalau begini terus!" serbunya sambil mengangkat dan memutarku di udara.

"Hahaha turunkan aku! Hahaha"  aku tertawa geli hingga akhirnya ia menurunkanku.

"Tidak..kali ini tidak. Justru, kali ini ibu yang menyuruhku ikut denganmu." lanjutku.

"Oh ya?" tanyanya curiga.

Aku langsung mengambil secarik kertas dari tas selempangku.

"Ini buktinya" kertas itu kuberikan pada Ayah. Ia membacanya.Di situ tertulis izin dan perintah dari ibu yang sudah ditandangani.

"Baiklah kalau begitu." kata Ayah akhirnya.

Sejak pembicaraan kita saat aku baru tiba di sini, Ayah hanya mengantarkanku ke tenda kerjanya dan memenjarakanku di situ.

Ya, tidak secara harfiah memenjarakan. Tapi ia melarangku untuk keluar dari situ dan sibuk dengan kerjaannya sendiri. Ia bahkan menyuruh beberapa orangnya untuk menjagaku di tenda.

Saat selanjutnya Ayah memasuki tenda, aku meminta keluar.

"Ayah biarkanlah aku keluar. Aku tak akan menganggu." pintaku."Setidaknya, kalau kau mau, biarkan aku pergi berkuda."

"Ah, ibumu sudah jelas memintamu untuk belajar di sini. Kalau kau malah pergi berkuda atau memanah dan ibumu tahu, habislah kita." ia menolak.

"Oh ya dan aku telah belajar banyak tentang kepemimpinanmu dari dalam tenda ini.", ujarku sarkastik.

"Duh, aku susah sekali berpikir bila ada kau di sini." jelas Ayah.

"Tidak adakah yang bisa kubantu? Yang dapat kulakukan?" tanyaku.

Ia terdiam.

Lalu ia merogoh saku-saku bajunya. Ia mengeluarkan secarik kertas dari celana dan mulai membaca sambil bergumam. Sepertinya itu to-do-list-nya.

"Jembatan- hmm. Rumah warga-tidak. Pernikahan-ah tak bisa. Diplomasi-ya mungkin salah satunya. Ehh dan peta-ya itu membosankan." gumamnya sambil mengerutkan kening.

"Baiklah, kau ingin membantuku? Mari bantu aku." ia memberi isyarat  untuk mendekat, sambil tersenyum licik.

-

Malamnya aku, Ibu, dan Ayah membicarakan tugas, yang diberikan Ayah padaku, lagi. Tentu aku berusaha untuk membuat Ibu menolak. Tapi sepertinya Ibu menyukai ide Ayah juga.

"Itu brilian sayang!" puji Ibu pada Ayah.

"Merida, kau selalu ingin melihat dunia kan? Ikutlah dengan para pembuat peta! Melihat hal-hal baru, ini kesempatanmu. Kudengar pula, putri hilang Corona sudah ditemukan, dan dia hampir seumur denganmu. Diplomasi dengan Corona bisa juga jadi awal persahabatan yang baik antar putri!" jelas Ibu riang.

"Yey kita bisa BFF! Sayangnya aku sudah punya Angus." ucapku dengan kekerlcewaan palsu.

"Angus bisa ikut kalau kau mau." ujar Ayah.

"Tapi Angus mabuk laut!" seruku.

"Ya sudah Angus tidak perlu ikut" ujar Ayah lagi.

Aku memelototinya, lalu kembali menghadap ibuku dengan tatapan memohon.

-

Jadi, di sinilah aku, berlayar ke kerajaan asing bernama Corona, dengan segerombolan pelaut amis, para pembuat peta membosankan, dan seekor kuda mabuk. Entah apalagi yang bisa memperburuk keadaanku saat ini.

a tale of miraclesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang