9. Di Suatu Tempat

1.1K 125 3
                                    

Angin semilir menghembus, meniup daun- daun rindang. Pohon- pohon besar yang tumbuh ratusan tahun lalu nampak kokoh menaungi monyet- monyet yang berkeliaran mengais makanan di lantai hutan. Matahari yang berada di Barat menyorot begitu hangat.

Nampak jalan raya yang membelah sepanjang kawasan suaka di ujung Timur Jawa itu, dengan truk- truk dan mobil berlalu lalang yang hendak menuju selat Bali.

Di antara deru mesin- mesin besar, terlihat sebuah motor bebek trondol yang melaju di tepian jalan raya. Duduk di atasnya seorang laki- laki, dengan santai mengendarai.

Ia melajukan motornya penuh hati- hati di jalanan yang berpasir. Setelah beberapa lama, motor itu berhenti di dekat sebuah bangunan pondok. Sebuah mobil polhut terparkir di dekatnya.

Laki- laki itu hendak melewati sebuah jalan tanah berbatu kecil di dekat pondok. Jalan tanah itu menuju ke dalam area hutan yang lebat.

"WOY, CONG! MAU KE MANA?" teriak seorang ranger yang bertugas. Terdengar logat madura kental dari cara bicaranya.

(cong = kacong. Panggilan untuk anak laki- laki dalam bahasa madura. Sama seperti le, ntong dsb)

Yuwono mengangkat helm nya, mengangguk ke arah ranger. "Mau ke tempat nya Mbah!"

"Udah sore ini! Nanti samean kemalaman di hutan!?" si ranger terlihat agak khawatir. Sebab penerangan di areal seluar ratusan hektar itu hanya ada di tepian jalan raya tentunya. Ia sendiri sedang merapikan pondok jaga sebelum pulang sebentar lagi.

"Ndak apa Lek! Cuman bentar tok!"

Si ranger memicingkan matanya, lalu balas mengangguk ke arah Yuwono. Ia menunjuk ke arah hutan. "Tapi hati- hati, cong! Kemarin beberapa banteng nyebrang ke sini!"

"Oke!" Yuwono menutup kembali helm nya, lalu melajukan motornya menuju ke dalam hutan.

Ia tak terlalu khawatir dengan pola migrasi kawanan banteng di kawasan itu. Para pencari rumput, ranger dan penduduk lokal sudah terbiasa dengan hewan- hewan hutan- toh mereka lebih memilih menghindari manusia.

-GRADAK!!

Motor trondol itu berbunyi keras saat melewati sebuah lubang. Motor yang sudah usang itu terlihat sangat mengenaskan dipakai melibas jalanan.

Namun begitu, Yuwono nampak sudah terbiasa melewati jalanan ini. Ia nampak tak ragu dan dengan sigap memilih sisi jalan yang agak 'ramah'.

Beberapa menit kemudian, Yuwono tiba di sebuah bukaan di tengah hutan. Di tempat itu, terlihat satu rumah gubuk sederhana yang terbuat dari bambu dan anyaman gedhek.

Ayam- ayam berkeliaran di sekitar, dengan beberapa tanaman semacam cabe, kemangi dan lainnya tumbuh di sekitar rumah.

Seorang laki- laki tua berbadan kurus terlihat sedang duduk di bangku panjang bambu. Ia mengenakan kaos oblong dan sarung. Ia duduk mengangkat satu kaki, dengan sebatang samsu dan segelas kopi menikmati sore.

Laki- laki itu memperhatikan sebuah motor yang berjalan mendekat. Ia tersenyum, nampaknya ia sudah tahu siapa yang datang.

Yuwono memarkir motornya di depan rumah, lalu melepas helm nya.

"Mbah," Yuwomo meraih tangan si Mbah dan menciumnya penuh hormat.

Si mbah hanya mengangguk. Setelah berbincang kecil, ia mengajak Yuwono masuk.

Bagian dalam rumah itu hanya berupa ruangan kosong dengan tikar yang di gelar. Sebuah dipan kayu terletak di pojok sebagai tempat tidur, dan beberapa barang perabotan sederhana lain.

Yuwono duduk di lantai, berhadapan dengan si mbah.

"Jadi kamu sudah yakin?" tanya si mbah sambil mengisap rokok nya.

Yuwono mengangguk mantap. "Saya yakin mbah. Nggak salah lagi."

Si mbah kembali bertanya kepada Yuwono. "Bukannya kamu sudah mbah ajarin buat masang?"

"Sudah mbah. Tapi saya belum cukup yakin sama ilmu saya," Yuwono menundukkan kepala. Ia merasa sangat sungkan dengan si mbah.

"Baiklah. Coba aku lihat sebentar," si mbah meletakkan samsunya di sebuah piring. Sejenak ia berdehem lalu melipat lengannya. Si mbah memejamkan mata memfokuskan diri.

Yuwono ikut bersila, dan memejamkan matanya juga.

Beberapa lamanya mereka berdiam, seolah saling mensinergikan entah apapun yang sedang mereka lakukan. Mereka bernafas perlahan secara bersamaan.

"Hmm. Ya, begitu rupanya. Perempuan bernama Luluk itu," gumam si mbah dengan mata yang masih terpejam. Rupanya ia sedang menerawang di kejauhan.

"..."

"Ya, aku paham masalahmu. Laki- laki ini-" si mbah menganggukkan kepalanya.

Lalu mereka berdua membuka mata.

"Tunggu di sini," ujar si mbah singkat.

Si mbah beranjak dari lantai, dan berjalan keluar menuju pekarangan kecil di samping rumah. Ia berjongkok dan membobol beberapa tunas bawang lanang.

Lalu ia memejamkan matanya dengan tangan terentang. Mulutnya bergerak- gerak seperti sedang membaca sesuatu, sementara tangannya merabai ke sekeliling seperti mencari sesuatu.

"Di sini rupanya," gumam si mbah. Ia mengusap tanah beberapa kali dari dedaunan kering dan ranting. Lalu di balik itu, terlihat sebuah batu kecil berwarna hitam mengkilat.

Si mbah kembali ke dalam rumah dengan bawang lanang dan batu hitam di tangan. Ia lalu membuka sebuah kotak kecil di dekat dipan. Diraihnya sepotong kecil kulit kayu gaharu.

Si mbah membungkus semua itu dengan kain kecil di dalam kotak, lalu berjalan mendekati Yuwono.

"Bawa ini," si mbah menyerahkan benda- benda itu pada Yuwono. "Tunggu sampai purnama habis, dan kamu tahu yang harus kamu lakukan."

"Tapi saya nggak yakin-"

Si mbah tersenyum sambil menepuk bahu Yuwono. "Kamu harus lakukan sendiri. Kamu tak perlu khawatir,  sebenarnya ilmu mu sudah cukup tinggi."

"..."

"Mbah tidak bisa membantu karena sebagai kuncen mbah harus tetap berada di sini," ujar si mbah sambil melanjutkan rokok nya yang tertunda.

Yuwono menatap benda kecil di tangannya lekat.

Lalu ia tersenyum, mengangguk kepada si mbah.

RUMAH BARU [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang