Bonus 3: Warga Baru

1.4K 130 6
                                    

"Bluuurrp!!"

Cairan merah pekat terus mengucur dari mulut gadis itu. Ia melotot, dengan tubuh kelojotan menahan sakit. Tangannya meregang. Matanya membalik ke atas, menyisakan bagian putih saja.

"..aaaarghhhh..." suara parau terdengar dari mulutnya yang terbuka, penuh bekas darah.

"Dewi, kamu kenapa nak?" Bu RT menangis penuh kepanikan. Ia tak bisa berbuat apa- apa selain mendekap tubuh anak gadisnya yang meregang nyawa.

Darah mengalir menggenang di lantai tempat Bu RT duduk bersimpuh. Puluhan cacing dan kelabang merayapi lantai dan tubuhnya. Namun Bu RT tak peduli. Ia masih tetap mendekap tubuh putrinya itu erat.

"Bluuuurp!!"

Cairan merah itu menyembur kembali. Membuat daster yang dikenakan Bu RT bersimbah darah.

"Bapakmu mana sih?" Bu RT menangis mengusap air matanya, menyisakan bekas darah di wajahnya sendiri.

Bu RT benar- benar bingung. Pak RT sedari tadi keluar mencari pertolongan namun belum juga kembali. Sementara ia tak bisa berbuat apa- apa selain menemani Dewi di rumah.

Tak lama, derap langkah beberapa orang terdengar di teras.

"Tolong anak saya Pak!!" suara Pak RT terdengar memelas dari depan rumah.

Pak Usman dan beberapa warga lain yang sedang ronda bergegas masuk ke rumah, dan menuju kamar Dewi.

"Astagfirullah!!"

"Innalilahi!"

Mereka semua mematung di pintu kamar, menatap kejadian mengerikan tepat di depan mata sendiri. Bu RT duduk di lantai, mendekap tubuh Dewi yang masih saja kelojotan menahan sakit.

Dengan darah membanjiri kamar itu.

"DEWI!!" Pak RT seketika menghambur, ikut memegangi tubuh putri semata wayangnya. "Dewi kenapa ini kok jadi kayak gini?"

"Pak, anakku.." Bu RT menangis saat akhirnya melihat suaminya kembali.

"Pak tolong Pak!!" Pak RT menoleh bergantian ke arah para warga dan putrinya. "Anakku kenapa?"

"Hmmmph!" salah satu warga menutupi mulutnya menahan mual saat melihat cairan merah menyembur kembali dari mulut Dewi. Beberapa hewan merayap keluar dari dalam mulut dan telinga gadis itu.

Para warga pun juga tak tahu harus berbuat apa. Mereka sangat menyadari bahwa ini diluar kendali manusia biasa.

"Argghhh.." Dewi mengerang pelan. Tangannya mencakari lantai dan kakinya menendang- nendang. Wajahnya menunjukkan bahwa ia benar- benar tersiksa.

"Anakku! Anakku!!" Pak RT memegangi badan putrinya.

Lalu tiba- tiba saja, dari antara para warga ada seseorang yang melangkah maju. Ia adalah warga baru yang beberapa minggu lalu mengontrak di rumah dekat Pak RT.

Laki- laki itu duduk di sebelah Pak RT. Satu tangannya memegang pergelangan tangan Dewi.

"Sudah terlambat," ujarnya sambil menggeleng.

"Apa maksudmu?" Bu RT berusaha berbicara di sela tangisnya.

"Anak kalian tak bisa di tolong lagi," laki- laki itu memandangi wajah Dewi. Nampaknya ia sangat memahami apa yang sedang terjadi.

"APA KAU BILANG?" Pak RT mencengkeram kerah baju Yuwono, menatapnya nyalang. Ia tak terima dengan ucapan Yuwono bahwa putrinya sudah tak tertolong lagi. "MEMANGNYA KAMU DOKTER?"

"Apa yang dia alami bukanlah kondisi medis, bahkan dokter pun tak akan membantu banyak," ucap Yuwono dengan pelan. Ia nampak begitu tenang berada dalam situasi semacam ini. "Sebaiknya bapak dan Bu RT mengikhlaskan anak ini."

"..."

"Aku tak bisa menyelamatkannya. Tapi aku bisa membantunya lepas dari sakit yang ia rasakan saat ini."

Pak RT dan Bu RT menatap anak gadis mereka yang terus kelojotan dengan mata melotot. Mulutnya terbuka lebar dengan suara yang mulai habis karena menahan sakit sedari tadi.

Sudah tak ada harapan.

Pak RT menatap Yuwono lekat, lalu mengangguk pelan.

"Permisi," Yuwono meletakkan tangannya di dahi Dewi. Ia memejamkan matanya, dengan mulut bergerak- gerak membaca ayat suci.

Perlahan, gerakan meronta Dewi mulai melemah. Suaranya yang parau berangsur menghilang. Lalu Dewi terkulai lemas di pelukan Bu RT, dengan mata terpejam.

"Innalillahi," ucap Pak Usman lirih.

Ia hendak mendekati mereka, namun terhenti saat satu tangan Yuwono terangkat.

"Tunggu!" seru Yuwono singkat. Ia lalu berdiri dengan pandangan tajam, menoleh ke sana kemari seperti sedang mencari sesuatu.

Lalu ia beranjak dari tengah ruangan. Kakinya yang berlumuran darah Dewi membuat jejak merah di lantai.

Ia berjalan ke arah ranjang Dewi sambil meraih sapu lidi yang tergantung di tembok.

"Mau ngapain?" Pak Hansip nampak penasaran. Para warga, Bu RT dan Pak RT nampak kebingungan melihat tingkah Yuwono.

Dengan gerakan cepat, Yuwono memukulkan sapu lidi itu ke ranjang Dewi sebanyak tiga kali.

Lalu terlihat sebuah benda kecil yang terjatuh di lantai.

Sebuah boneka kain yang ditempeli foto Dewi. Dengan ikatan yang dibuat dari rambutnya melilit pada badan boneka tersebut.

Yuwono mendengus melihat benda itu.

Rupanya ada laki- laki yang tidak terima cintanya ditolak Dewi, dan memutuskan untuk menghabisi gadis itu.

Yuwono berlutut, menggenggam benda itu sambil memejamkan matanya.

"Tunjukkan dirimu, mahluk jahanam!"

Beberapa lama keheningan menyelimuti kamar Dewi. Semua yang ada di situ menatap lekat ke arah Yuwono, seolah sedang menunggu apa yang akan terjadi.

Tak ada satupun yang bergerak. Perasaan tegang menyelimuti tubuh mereka.

Aroma pekat bangkai pun menyeruak memenuhi kamar, bercampur aroma anyir darah Dewi.

-KRIEEEET

Tiba- tiba saja pintu lemari kayu di samping ranjang terbuka. Perlahan, sebuah tangan besar penuh bulu berwarna kehitaman tejulur dari baliknya. Jari- jari panjang dan tajam seperti cakar itu terentang, lalu mencengkeram pintu lemari.

"Astagfirullah!!"

RUMAH BARU [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang