14. Dia Lagi

964 117 4
                                    

Luluk tersentak bangun dengan nafas yang megap- megap. Paru- parunya yang sedari tadi sesak seolah ditekan- kini seketika terisi penuh. Luluk terduduk dengan tubuh basah penuh keringat. Tangannya memijit kepalanya yang agak pening.

Sesaat seluruh badannya meremang. Ia merinding saat teringat kembali dengan kejadian semalam.

Masih jelas terasa bagaimana saat kain kafan kotor itu membalut sekujur tubuhnya. Juga lendir darah dan belatung yang berjatuhan di wajahnya.

"Astaga!!" refleks tangannya merabai wajah dan pipinya. Namun tak ada apapun. Bersih.

Luluk menarik selimut menutupi badannya. Ia memandang berkeliling dengan kesadaran yang belum kembali sepenuhnya.

Sayup- sayup terdengar azan subuh yang berkumandang dari mushola di dekat rumah.

"Sudah bangun?" Mas Reza mendorong pintu kamar dengan siku, sambil membawa dua gelas minuman panas.

Mas Reza nampak telah rapi dan bersiap berangkat ke Surabaya. Ia meletakkan gelas berisi teh di meja dekat ranjang. Sementara ia sendiri langsung menyisip gelas miliknya. Dari sini Luluk bisa mencium aroma kopi yang pekat.

"Iya aku-" Luluk mengerang pelan merasakan letih yang luar biasa. Ia memandangi Mas Reza. "Aku ikut ke Surabaya dong."

Mas Reza menatap Luluk bingung. "Ngapain?"

Luluk tak menjawab. Ia masih ragu untuk menceritakan apa yang ia lihat semalam. Apakah itu semua cuma mimpi? Sebab semuanya terjadi sangat cepat- dan saat ini tak ada tanda apapun bahwa itu semua nyata terjadi.

"Aku pingin ikut," rengek Luluk.

Mas Reza tersenyum. "Udahlah gak usah. Di Surabaya aku harus full seharian muter urus ini itu. Kamu malah dapet capeknya aja ikut aku ke sana."

"Tapi-"

"Kenapa sih?" Mas Reza membungkuk membelai kepala Luluk. "Kamu gak kerasan di rumah?"

Luluk tak menjawab. Ia bisa saja menjawab 'ya', tapi rumah ini adalah hasil kerja keras Mas Reza untuk nya. Ia tak ingin menyakiti perasaan suaminya.

"Nanti aku bilang ke Bu RT supaya nemenin kamu deh. Kan kalian udah mulai deket toh?" Mas Reza mengecup kening Luluk penuh sayang. "Aku akan usahain selesaikan semuanya cepet."

Luluk hanya membalas dengan senyuman yang terpaksa

#####

Siang itu Bu RT datang berkunjung ke rumah. Ia membawa sebotol jamu lagi dan beberapa buah- buahan untuk mereka buat rujak. Keduanya duduk di teras yang teduh dengan dua gelas minuman dingin.

"Bagus ya rumahnya. Pekarangannya terawat, penataannya bisa pas gitu," Bu RT mencolek irisan buah ke dalam bumbu kacang.

"Makasih," jawab Luluk singkat atas pujian Bu RT.

"Kalo kamu kepikiran jual rumah ini, kasih tahu aku ya," Bu RT nampak antusias melihat- lihat rumah Mas Reza.

"Yah, baru juga berapa minggu di tempatin Bu," Luluk memajukan bibirnya cemberut. "Masa udah kepikiran di jual?"

Bu RT tertawa mendengar jawaban Luluk. Kemudian ia  bertanya mengenai hal lain "Udah mulai kerasan di rumah ini ya?"

Luluk berdiam memandangi Bu RT beberapa lama. Ia nampak ragu untuk bercerita. Namun akhirnya ia cerita juga mengenai kejadian- kejadian aneh yang beberapa kali ia alami di rumah ini; apakah itu nyata hanya sekedar mimpi.

"Masa sih, kamu lihat-" Bu RT mendekatkan badan sambil berbisik. "-hantu?"

Luluk mengangguk pelan. "Tapi ya itu, mungkin aku hanya salah lihat. Soalnya semuanya begitu cepat."

Bu RT menatap Luluk tajam beberapa lama, seperti berpikir sesuatu. "Mungkin iya kali kamu salah lihat. Kan kamu beberapa hari kemarin enggak fit."

"..."

"Nah makanya kan aku bawain lagi jamunya, supaya kamu cepet sehat," Bu RT memijit tangan Luluk yang nampak pucat. Ia nampak mencoba mengalihkan pikiran Luluk. "Kamu harus minum sampe habis, juga banyak istirahat."

Luluk mengangguk senang. Perlakuan Bu RT kepadanya membuat ia merasa seperti mendapat ibu baru di sini. Mereka berdua menghabiskan siang dengan berbincang dan bercanda, sebelum akhirnya Bu RT pamit pulang untuk melakukan pekerjaan domestik lainnya.

#####

Selepas isya, hujan kembali turun dengan deras selama berjam- jam. Suara rintiknya terasa begitu keras menghujam atap rumah. Nampak Luluk tengah duduk di ruang dapur dengan semangkok mie kuah panas dan jamu pemberian Bu RT.

Ia juga sedang bertelepon dengan Mas Reza yang menanyakan kabar Luluk di rumah.

"Iya, sejak sore tadi aku agak lemes nih," ujar Luluk sambil mengaduk- aduk kuah mie di dalam mangkok. "Pusing nya dateng lagi, mual juga."

"Ya sudah, begitu aku pulang nanti kalau masih gak ada perkembangan sama kondisi kamu, kita cek ke dokter lagi ya?"

"Iya. Tapi semoga aja besok udah mendingan," Luluk melahap suapan terakhir mie di mangkok. Kemudian ia meletakkan piring dan gelas kotor di wastafel dapur.

"Ya sudah, kamu cepetan tidur kalo gitu," pesan Mas Reza. "Banyakin istirahat."

Lukuk tersenyum lagi. Hari ini entah kenapa ia merasa senang dengan perhatian- perhatian kecil dari orang di sekitarnya.

"Oke," Luluk mematikan ponselnya. Ia lalu beranjak dari dapur menuju kamar. Saat sampai di pintu, ia baru sadar bahwa ia lupa menutup kordennya.

"Duh, kelupaan," gumamnya. Padahal jam delapan tadi ia sudah mengunci pintu dan gembok pagar.

Luluk berdiri sejenak di dekat jendela ruang tamu, menatap kosong ke arah hujan di luar yang tak juga reda.

Satu tangannya terangkat meraih pinggiran korden.

Lalu saat ia hendak menutupnya, sekilas ia melihat ada yang bergerak di depan.

Luluk memicingkan matanya. Di antara dedaunan hias pekarangan, ia melihat bayangan seseorang sedang melakukan sesuatu di luar pagar.

Aneh, jam segini? Malam- malam hujan deras seperti ini?

Jantung Luluk berdebar kencang. Apakah itu maling atau rampok kah? Sebab di saat hujan deras begini tak mungkin ada warga yang ronda.

"Aduh, bagaimana ini?" Luluk menggigit bibirnya cemas.

Ia mencoba mengamati sosok orang di luar pagarnya.

Orang itu sedang berjongkok di depan pagar. Ia mengenakan mantel jaket dengan tudung menutupi kepalanya. Ia sedang melakukan sesuatu entah apa.

Lalu orang itu berdiri, sambil menoleh ke kanan kiri melihat keadaan. Bersamaan dengan itu, secercah kilat membelah langit memberi cahaya terang sekilas di tengah hujan.

Membuat wajah di balik tudung mantel terlihat jelas.

Luluk terbelalak menahan nafas saat melihat wajahnya.

Yuwono.

Dia lagi.

RUMAH BARU [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang