16. Teror Di Malam Hari.

924 114 10
                                    

Tangan mahluk itu berhenti bergerak menyisir rambutnya. Ia juga berhenti berkidung. Matanya yang kemerahan menatap tajam ke arah Luluk dari pantulan cermin.

"ASTAGA!!" Luluk refleks mundur beberapa langkah, dan tanpa berpikir panjang segera berlari menjauh dari tempat itu.

Tapi ke mana? Ia harus lari ke mana?

Ia menoleh ke kanan dan kiri dengan panik mencari tempat persembunyian. Lalu matanya menangkap meja makan dengan taplak panjang yang berada di dapur.

Luluk berlari sekuat tenaga menuju tempat itu. Dengan gesit ia menarik kursi, merangkak ke bawah meja dan menata kembali kursinya. Ia merapatkan dirinya di tembok dengan nafas terengah- engah.

"Apa itu tadi? Apa aku salah lihat?" batin Luluk panik.

Luluk menutupi mulutnya dengan satu tangan -berusaha sebisanya agar nafasnya tak terdengar. Ia mencoba untuk menenangkan diri, menarik nafas panjang dan dalam. Jantungnya masih berdebar tak karuan karena apa yang tadi ia lihat.

Ya Tuhan, kenapa di saat seperti ini? Kenapa ada kejadian begini di saat Mas Reza sedang keluar kota?

Kepanikan dan ketakutan yang menyelimuti membuat Luluk ingin menangis saja rasanya.

Luluk mendekap kedua lututnya erat. Ia berjongkok di bawah meja makan, di antara kaki- kaki kursi. Taplak meja yang panjang membuat dirinya tersembunyi dengan baik di bawah sini.

Luluk menatap lurus ke depan, lekat ke arah kaki kursi kayu di hadapannya. Ia tak ingin- dan tak berani untuk mengalihkan pandangan.

-KREEEETT..

Terdengar bunyi derit pintu yang di buka pelan di belakang sana.

Membuat Luluk semakin tegang saat menyadari bahwa ia tak sendiri berada di dalam rumah.

Luluk merapatkan badan ke tembok. Sudut matanya nampak basah oleh air mata. Ia benar- benar ketakutan.

Lalu perlahan ia merasakan hawa dingin tak mengenakkan. Seolah ada angin yang menghembus pelan, padahal semua jendela dan pintu luar terkunci rapat.

Luluk menelan ludah. Ia mencoba memasang telinga baik- baik.

Namun ia tak mendengar apa- apa. Suasana rumah terasa begitu hening. Keheningan yang justru membuat seluruh tubuh Luluk merinding.

Benar saja.

Luluk membelalakan matanya. Ia menatap lurus ke arah samping, ke arah celah terbuka antara taplak meja dan lantai.

Mahluk itu berada di sini. Ia berada di samping meja tempat Luluk bersembunyi.

Nampak bagian bawah gaun putih yang menjuntai. Sebuah gaun yang kotor dan usang. Dan sepasang kaki kurus yang pucat.

Kaki kurus pucat yang melayang tak menyentuh tanah. Dengan kuku kotor berwarna hitam.

Disertai aroma anyir darah yang pekat.

Luluk menahan nafas dan mendekap mulutnya makin erat. Mahluk itu berdiam di sana beberapa lama.

"YA TUHAN!!"

Luluk memejamkan matanya. Satu tangan lainnya mencengkeram dasternya kuat- kuat. Ia berdoa sebisanya dalam hati.

Satu menit. Dua menit.

Entah berapa menit berlalu, Luluk tak tahu. Ia tak berani membuka mata. Ia masih berdoa, dan berjongkok di bawah meja.

Lalu perlahan bau anyir itu memudar.
Dan menghilang.

"Apakah mahluk itu sudah pergi?" batin Luluk.

Lalu ia membuka matanya.

Dan mendapati sesosok perempuan bergaun putih, berambut gimbal panjang, dengan wajah hancur tengah berjongkok bersamanya di bawah meja.

Perempuan itu menatapnya, menyeringai lebar dengan gigi hitam berlendir.

Tepat di hadapannya.

Sedari tadi memperhatikannya.

"Aaaa..." Luluk tergagap dengan mulut terbuka lebar. Ia membelalakkan mata dengan tegang. Ia membeku di tempat tak bisa berbuat apa- apa.

Wengi kadyo setro
Kegowo lungane baskoro

Mahluk itu melanjutkan kidungnya dengan tangan terulur, hendak menyentuh pipi Luluk. Membuat Luluk hampir saja pingsan karena shock yang teramat sangat.

Namun ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya mampu menjaga kesadaran. Yang memberinya dorongan untuk melawan ketakutannya.

Insting bertahan hidup.

"TIDAK!!" seru Luluk sambil menepis tangan mahluk itu. Terasa amat dingin, basah, dan berlendir.

Luluk mendorong kursi di sebelahnya hingga terjatuh. Ia merangkak keluar dengan cepat. Luluk bisa merasakan satu tangan mahluk itu sempat menyenyuh pergelangan kakinya.

Hendak menangkapnya.

"Hiiiiiii.." Luluk meringis jijik merasakan sensasi disentuh mahluk itu. Ia berlari- setengah terjatuh- namun tetap berlari menuju ruang tamu. Ia harus keluar dari sini!

Luluk menghambur ke pintu depan. Tangannya meraih kunci pintu yang masih menancap. Ia hendak membukanya, dan keluar dari rumah.

Peteng tanpo chondro
Tanpo kartiko

Luluk bisa mendengar suara nyanyian itu lirih di telinga. Ia memang tak melihatnya, namun ia tahu bahwa mahluk itu tengah melayang pelan mendekatinya dari belakang.

"Ya tuhan! Tolooong!" Luluk menangis. Kepanikan dan ketakutan yang menyelimutinya membuat ia tak bisa berpikir jernih.

Tangannya yang gemetaran hebat seolah tak bertenaga sama sekali. Ia tak kuat memutar kunci.

Luluk memejamkan matanya. Ia sudah tak tahu harus berbuat apa selain pasrah dengan keadaan.

Dan tiba- tiba saja suara nyanyian itu terhenti. Bau pekat yang sedari tadi tercium juga memudar.

Luluk berdiri mematung beberapa lamanya. Ia benar- benar tak berani membuka mata. Apakah mahluk itu benar- benar pergi kali ini? Ia takut saat ia berbalik nanti mahluk itu sudah menunggunya.

Namun ia tak punya pilihan. Ia tak mungkin berdiri di pintu ini semalaman. Luluk pun memutuskan untuk nekat. Ia membuka matanya dan perlahan menoleh ke  belakang.

Kosong. Tak ada apapun selain perabotan rumah yang berdiri diam di sekitarnya.

Luluk menarik nafas panjang menenangkan diri. Dengan perasaan yang lebih rileks, ia pun membuka kunci pintu.

-klik.

Ia tentu saja tak mau berada di sini sampai malam berakhir. Ia harus keluar, menemui bapak- bapak ronda atau menginap di rumah Bu RT. Nanti saat Mas Reza pulang, ia akan benar- benar menceritakan semuanya.

Ia tak peduli dengan rumah ini. Ia tak peduli jika Mas Reza tak memberinya hadiah rumah sekalipun.

Ia tak mau tinggal di rumah ini walaupun semalam lagi.

Luluk menekan tuas pintu ruang tamu dan membukanya. Akhirnya ia bisa keluar dari sini. Ia tersenyum.

Dan di sambut oleh senyuman lain. Senyuman perempuan berwajah hancur yang tergantung terbalik di teras.

Tepat di depan wajah Luluk.

RUMAH BARU [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang