Chapter 3

509 52 4
                                    

Akibat Gempa yang harus dilarikan ke rumah sakit beberapa waktu lalu, BoBoiBoy saudara berunding. Mereka yakin jika Gempa sedang main rahasia dari orang lain.

"Siapa yang mau duluan bertanya sama Gempa?" tanya Taufan mengawali pembicaraan.

"Aku, yah?! Please! Aku nanti usahakan supaya jawaban Kak Gempa sangat jujur." Blaze segera menjawabnya takut didahului yang lain. Mengacungkan jempolnya penuh percaya diri.

"Boleh dipercayakah? Palingan juga gagal," ketus Ice pada Blaze.

"Ey! Usaha saja belum, udah komentar aja. Emang kamu berani bertanya sama Kak Gempa?" jawab Blaze dengan sedikit kesal dengan ucapan Ice.

"Marilah kita bersaing siapa yang berhasil dalam misi ini!" Ice membalas dengan berdiri dan menunjuk arah Blaze.

"Marilah!" Blaze tidak mau kalah.

Halilintar yang melihat itu menjewer telinga keduanya. "Sudahlah kalian, jangan bertengkar!" Halilintar memperingati.

"Baik," jawab keduanya secara kompak seraya mengusap telinga mereka yang merah.

Akhirnya misi interogasi diserahkan pada si dua bungsu
Karena Gempa itu paling tidak tahan jika berurusan dengan Ice dan Blaze. Nurani seorang kakaknya lebih dominan dibanding bersama Taufan dan Halilintar.

°°°

Si kembar bungsu sudah menyiapkan setiap strategi masing-masing. Mereka tak mau kalah. Setiap berpapasan maka keduanya akan berpaling muka. Tidak ingat mereka berdua adalah saudara. Itu karena kepedulian yang amat besar kepada sang kakak, Gempa.

Sementara yang dikhawatirkan mereka merasa bingung dengan kelakuan yang menurutnya sebegitunya. Bagaimana tidak? Ketika melakukan sesuatu seperti terus-terusan ada yang memperhatikanmu. Menyeramkan bukan?

Berulang kali Blaze dan Ice tertangkap basah ketika mengikuti lebih tepatnya menjadi stalker. 'Kak Gempa gak apapa, kan?' Selalu itu yang didapat dari tatapan kedua adiknya. Haruskah Gempa memberi kesempatan bagi mereka?

•••

"Kalian berdua kenapa ngikutin Kakak terus sih? Nge-fans?" tanya Gempa, memergoki kedua adiknya yang mengintip di balik pintu kamar.

"Seharusnya kami yang tanya. Kakak kenapa, sih, murung terus? Galau?"

“Kakak juga sering batuk-batuk. Kami khawatir batuk Kakak itu kadang dalam semalaman tidak bisa berhenti. Pasti sakit banget, kan?”

“Bukan apa-apa, kok. Hanya efek begadang. Nanti juga batuknya reda.” Lagi dan lagi Gempa terus mengelak dari kedua adiknya itu.

Sedangkan waktu terus berjalan, yang berarti waktu kematiannya semakin dekat. Apalagi beberapa hari ke belakang kondisi badan Gempa sedikit memburuk. Dan untungnya orang di sekililingnya tidak curiga. Mereka hanya mengira Gempa hanyalah tak enak badan.

|•¤•|

Suasana pagi itu cerah, tetapi tidak dengan kediaman BoBoiBoy bersaudara. Karena pasti salah satunya akan membuat pagi hari menjadi heboh. Entah itu dengan gelak tawa atau saling berdebat-sebenarnya bukan sesuatu yang penting, tapi kali ini beda drastis. Hanya terdengar dentingan sendok yang beradu dengan piring saja.

Hening.

Canggung.

Dan terasa dingin.

Bahkan Blaze yang biasanya berisik kini terdiam dan memakan sarapannya dengan sedikit cepat, ia tak tahan berada di aura berat yang menyeruak. Kemudian suara kursi berderit menandakan telah menghabiskan makanan telah diperbuat Blaze.

"Aku sudah selesai. Aku mau ke kamar, oh ya, dan tolong bisakah kalian tidak saling diam seperti ini? Aku muak." Ia melenggang pergi seraya menghentakkan kaki menuju kamarnya.

'Tak biasanya Blaze seperti ini. Mungkin lebih baik aku menanyakanya nanti, sebenarnya ini ada apa?' batin Taufan.

Ice menatap punggung kakaknya sedikit nanar di balik mata sayu itu. Sebenarnya ia juga bisa merasakan yang Blaze rasakan. Ini semua berawal dari perubahan sikap Gempa, bagaimanapun Gempa bisa menjadi penyebabnya.

•••

Diam bukan berarti tidak acuh. Karena dalam diamnya, Ice sering kali memantau dengan mata yang seolah memonitori segalanya, termasuk gerak-gerik yang mencurigakan. Menjadi pengamat yang awas.

Malam yang seharusnya senyap, mendadak terpecah ketika dia harus terbangun karena suara bising dari arah dapur. Pikiran Ice jadi tidak tenang sebelum bangkit untuk memeriksanya sendiri.

Mengendap dengan perlahan agar 'sesuatu' itu tidak kabur. Mau hantu sekalipun ia tak akan gentar.

“Siapa malam-malam pergi ke dapur...,” lirih Ice sambil terus mengendap.

Terdengar suara air yang dituangkan kemudian disusul dengan suara legukan. Dengan sedikit rasa was-was, Ice mengintip di balik tembok dekat haluan yang mengarah ke dapur. Beruntung lampunya menyala, jadi ia bisa tahu siapa yang di sana.

Ice menautkan kedua alisnya, sosok kakaknya— Gempa sedang memegang bungkus obat dengan tatapan nanar. “Sampai kapan aku harus meminum obat ini ...?”

Remaja bermanik aquamarine tersebut memprediksi jika belakangan ini Gempa selalu menelan obat— Ice tidak tahu apa itu —tanpa sepengatahuan orang lain.

‘Kenapa harus disembunyikan?’ batinnya.

|•∆•|

Suapan sendok terjeda saat sepasang mata menatap Gempa sedari tadi. “Ada apa, Ice? Apa ada sisa nasi di wajah Kakak?”

Ternyata Gempa sadar kalau Ice tengah memandanginya. Segera ia menunduk dan menggeleng pelan.

Si kakak hanya mengendikkan pundaknya saja.

Makan siang kali ini hanya ada mereka berdua saja. Karena yang lainnya masih ada urusan lain di luar, jadi tiga orang lainnya tidak bisa ikut, mereka akan menyusul.

Mumpung tidak ada orang lagi, ini kesempatan Ice untuk bertanya langsung pada pelaku yang membuat ia gelisah dan tidak dapat tertidur lagi.

“Kak ...,” panggilnya dengan suara dingin.

“Hm? Ada apa?” Menyadari jika adiknya sedang dalam mode serius, Gempa menamatkan acara makannya.

Sekilas mata Ice tampak berkilat tajam. Sebenarnya semalam Kakak minum obat apa?”

Nah, jika sudah begini, Gempa harus menjawab apa?

Nah, jika sudah begini, Gempa harus menjawab apa?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

____________
02 Juni 2022

Lied || GempaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang