Menjadi Satu

34 3 1
                                    

Ketika petrikor menyebar, sebenci apapun kepada hujan kami tak pernah menyesalkannya. Walau kami harus menguyup kemudian menyakit, akan tetapi kami tak akan pernah sedikit pun membencinya. 

Suasanya tenang dan rileks, terbesit pun tak pernah akan munculnya jembalang. Emosi huru-hara serta kroninya, hilang tanpa ampas. 

Aroma tanah kering ketika dibasahi oleh hujan yang begitu nikmatnya, terlebih menikmati surga kecil ini dengan dirinya.

Selusin tahun lamanya, aku paham dirinya.

Selusin tahun lamanya, dia paham diriku.

Salah satu hal yang kusuka ketika hujan bersamanya adalah kalimat yang akan dilontarkan.

"Cakra, kamu ingat tidak?" ucapnya dengan santai sambil kepalanya menoleh padaku.

Kalimat itu, kalimat yang selalu dia ucapkan dalam suasana seperti ini. Aku selalu menunggu dia mengucapkannya. Selusin tahun, ada ratusan atau bahkan ribuan pengalamanku dengannya. Kalimat pembuka kisah yang tiada habisnya untuk diperbincangkan. 

Ketika dia sudah mengatakan itu, tidak ada keinginanku untuk meredakan hujan. Aku sangat sadar, jika aku hanya manusia biasa. Keinginanku kepada Tuhan hanyalah untuk sedikit memperlama hujannya. Itu saja aku sudah sangat bersyukur.

"Tidak ingat," jawabku ketus.

"Tuh 'kan, mesti begitu!" sambil menepuk pundakku hingga aku sedikit terdorong.

"Pukulanmu itu terlalu kuat untuk ukuran cewek pada umumnya," kataku seraya mengusap pundakku. Untuk meredakan rasa sakit yang muncul.

"Makanya jangan mempermainkan cewek sabuk hitam," dia mengeluarkan kalimat jagoannya. "Aku belum selesai ngomong pasti digituin," Imbuhnya.

"jadi, tadi itu ingat apa?" tanyaku untuk kembali ke topik awal.

"Pak Tino... ingat gak? Kamu pasti lupa wajahnya!"

"Ingat, ingat ... yang guru matematika itu kan? Berkacamata, gundul dan tahi lalat besar di pinggir batang hidungnya." 

Seraya kedua mata kami saling menatap, aku mencoba untuk menjelaskannya serinci mungkin. Walau aku sempat mengalihkan pandanganku beberapa saat.

"Wah, tumben ingat," katanya dengan nada terkejut. "Nah, ingat gak pas dia ngajar materi matematika–"

Dia guru matematika, tentunya mengajarkan materi matematika.

Awalnya aku berniat untuk berucap seperti tadi, tapi mengingat pukulannya tadi aku hanya diam. Setelah dia menceritakan materinya entah kenapa aku merasa sial. Langit seakan tidak memihakku. Dari sebuah gerai yang tutup, kami pun melanjutkan perjalanan yang sempat terhambat sebelumnya.

Udara dingin seusai hujan menjamah indra perabaku. Berarak kirana mentari yang hangat, perasaan familiar tak henti-hentinya menyertai. Kicauan burung nan sonor menjadi lagu kami di tengah perjalanan. Dengan tujuan yang pasti, aku memperlambat laju sepeda motor ini dengan konsisten. Sengaja memang, aku tidak ingin membuang waktu yang berharga ini.

"..."

Mendengarkan ocehannya dari belakang, merupakan salah satu hal lainnya yang kusuka darinya. Gerak-gerik serta suara merdunya, aku juga suka. Ketika dia berbicara dari belakangku, walau mengenakan helm sekalipun suaranya tetap membuatku senang. Acapkali dia bernyanyi ketika perjalanan, berbagai jenis lagu yang dia nyanyikan. Dari yang kumengerti sampai kutak mengerti sedikit pun liriknya. Sesekali pundakku terasa berat, bukan karena tas melainkan kedua tangannya yang menahanku. Terkadang dia memegangku ketika dia merasa kurang tidur. Semua itu pengalamku selama hampir dua belas tahun. 

Kisah AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang