Menjadi hamba Tuhan yang penuh dosa, pasti menjadi beban berat sama seperti diriku. bisa dikatakan, durhaka kata yang tepat menggambarkan diriku. Sayangnya, jika dikatakan seperti itu, aku rasa tidak tepat. Sebab, kesalahan apa yang kuperbuat? Bahkan aku tidak bisa membuatnya seimbang, karena terlalu berat sebelah.
Yah, lagi pula aku ini seorang gadis.
Benar, gadis.
Orang-orang sungguh tergila-gila, terpana tanpa berani melepaskan pandangan mereka dariku. Cowok ataupun cewek, semua tidak ada yang berhasil tidak mengalihkan padangan dariku. Ratusan pasang mata, saban hari menatapku. Aku sih, sudah terbiasa dengannya. Biasalah, orang terkenal dan terpopuler di sekolah. Sepertinya aku memiliki kecenderungan untuk memikat semua orang. Tentu, semua itu karena aku–
Cantik!
"Aku harus belajar, jadi aku tidak bisa."
"Kalau begitu, aku bisa membantumu belajar," balas cowok itu bersemangat.
Aku harus memikirkan alasan lain untuk menolaknya. Begitulah, sudah ketiga kalinya dalam hari ini yang menyatakan perasaan padaku. Tempat yang sama pula! Dasar monoton. Kenapa gedung belakang sekolah selalu sepi?
Walau begitu, aku selalu membalas mereka dengan kebaikan. Aku tidak ingin punya banyak musuh, namun aku juga tidak ingin punya banyak teman. Sebagai katalis, aku harus bisa membuat keseimbangan di antara keduanya. Menciptakan dunia yang harmonis tentu tidak segampang yang dikira. Aku menganalogikannya seperti coklat.
Coklat yang terlalu manis itu tidak baik.
Sedangkan, coklat yang terlalu pahit itu juga tidak baik.
Seharusnya, coklat itu manis karena itu coklat.
Sementara, coklat itu pahit karena itu adalah coklat.
Jadi, menciptakan coklat itu perlu keseimbangan di tengah pahit dan manis. Merepotkan memang. Namun, seperti inilah prinsip yang kuanut. Jika diimplementasikan pada manusia, maka aku akan mengatakan semua orang itu pahit. Mengapa? Karena mereka memiliki prioritas paling akhir. Seperti halnya kesensitifan indra pengecap pahit yang berada di pangkal belakang lidah, mereka juga berada di paling belakang dalam skala prioritasku. Kebetulan saja prioritasku yang lain sudah selesai, maka aku bisa menemui orang ini. Bagian manisnya tentu saja diriku, seorang Naila Karina pastilah menjadi prioritas utama. Seperti indra pengecap yang berada di ujung lidah paling awal.
Jika ada yang mengatakan tidak adil, sebaiknya dia harus menemuiku dulu. Tentunya dengan senang hati akan kujamu, akan kujelaskan bahwa ini bahkan sudah sangat seimbang. Jika ini bergeser sedikit saja, maka bebannya akan berat sebelah. Sudah kukatakan, kamu harus melihatku dulu baru akan percaya jika aku layak. Mau dilihat objektif atau subjektif, tetap saja aku ini terlihat–
Manis!
Para gadis sering menjadikanku sebagai parameter 'sosok ideal' yang mereka dambakan. Aku tidak bakal menggubrisnya, sebab yang dijadikan panutan ialah diriku. Walau mereka menggantiku dengan orang lain, aku tetap tidak mempermasalahkannya. Aku tidak perlu mempermasalahkan masalah yang tidak perlu dipermasalahkan. Aku tidak suka pertikaian. Aku ingin menjadi sosok yang suci, seperti halnya rambutku; putih keabu-abuan melambangkan "Kesucian yang abadi?" menurut mereka. Mereka yang menanggapku 'sosok ideal', jelas mereka melihatnya dari tubuhku. Ukuran BWH yang jelas tidak akan kuumbar di pikiranku sendiri, serta walau banyak makan tubuhku tetap–
Langsing!
Ini juga masuk ke dalam keseimbangan yang aku singgung sebelumnya. Mereka menganggapku sosok ideal, maka mereka menyadari kekurangan diri mereka. Jelasnya, mereka perlu panutan, kiblat, sosok yang menutupi kekurangan mereka. Dari sanalah mereka bercermin ke diri mereka untuk memperbaiki diri. Selama ada kekurangan, serta ada panutan di situlah letak keseimbangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Akhir
Short StoryAntologi berbagai cerpen tentang berakhirnya suatu kisah, serta bagaimana kisah tersebut diselesaikan dengan akhir hubungan.