"Jadi, bagaimana?"
"Bagaimana apanya?" tanyaku untuk memperjelas kebingungan ini.
"Seperti yang kukatakan, dua pilihan ya atau yes!"
Dengan wajah datar gadis tersebut memberiku dua pilihan.
Gadis ini sudah gila.
"Aku gak paham maksudmu!"
"Sederhananya, aku suka kamu. Aku menyatakan perasaan ke kamu. Lalu, pilihannya antara dua itu tadi."
Masih dengan berwajah datar dia menjelaskan dari awal secara singkat.
"Pilihannya sama semua! Harusnya pilihan satunya itu 'tidak'!"
"Apakah kamu ingin menolak gadis cantik sepertiku?"
kemudian dia meleraikan rambutnya dengan tangan kanan, lalu berputar 360 derajat untuk memperlihatkan pesonanya.
"Apakah kamu berhak menolak gadis cantik sepertiku?" tanyanya dua kali.
Memang, dia sangat cantik.
Rambut hitam panjangnya yang tadi diikat sudah dilerai. Seragam putih-abu yang digunakan tampak cocok dengannya. Bibirnya tipis dan terlihat begitu lembut. Aku rasa dia perpaduan antara cantik dan manis. Semua itu menjadi satu. Sayangnya ada hal yang sedikit menggangguku. Bukan sedikit lagi, tapi sangat menggangguku.
Tangan kirinya memegang gunting rumput yang besar.
"Apakah kamu benar-benar ingin menolakku?"
Dia mengangkat tangan kirinya, lalu mengacungkan gunting rumput itu ke arahku. Ujung benda tersebut tepat berada di depan mataku.
"Aku ingin menanyakannya lagi, apakah kamu bakal menolakku?" tanyanya lagi.
Aku menelan ludah yang terkumpul di mulut. Ingin berkedip, tetapi tak mampu. Kendati sudah mengenakan sepatu, kakiku menjadi dingin beserta tanganku yang basah akan keringat. Aku mengerling untuk melihat keadaan, sayang sekali tidak ada jalan kabur. Silih berganti kakiku berjalan mundur. Tidak sampai semenit, semenjak aku mengalihkan pandangan darinya. Tangan kanannya sudah memegang sudip. Benda itu tak luput diarahkan padaku. Aku tidak masalah dengan benda tersebut, tetapi aku lebih khawatir dengan gunting rumput yang jaraknya hanya tersisa beberapa sentimeter.
"Bagaimana Putra Angkasa? Tolong segera dijawab."
Semakin mundur, semakin tersudutkan diriku. Bagian belakang badanku sudah mampu merasakan gedung sekolah.
"Ah, ..."
"Kamu sudah terpojokkan, sesulit apa mengucapkan ya atau yes itu?"
Dia sedikit menyipitkan mata, seolah-olah sedang mengancamku.
Gunting rumput itu dia tarik dan menancapkannya pada gedung sekolah dengan tubuhku di sela gunting tersebut. Tubuhku kini siap dipotong, mungkin akan dimutilasi. Tangan kirinya mengambil sesuatu dibalik tubuh gadis itu. Keluarlah sebuah penggembur tangan untuk menemani sudip.
Keringatku mengucur semakin deras,
kedua kakiku bergetar semakin kuat.
Entah sudah berapa kali aku minum ludah sendiri.
"Lihat mataku dan kutanyakan lagi!" ucap gadis itu.
Aku menoleh ke arah kanan, kurang dari sepersekian detik ada benda yang menancap tepat di depan mataku.
Sebuah sudip tangan.
Secara refleks aku melihat ke arah gadis itu.
Dia melemparkan sesuatu lagi, kemudian aku mendengar suara tancapan di bagian kiriku. Aku sedikit melirik dan itu adalah penggembur tangan.
"Kenapa itu bisa menancap?" tanyaku dengan suara yang amat kecil dan rasa takut aku.
"Itu adalah kekuatan cintaku padamu. Aku akan selalu melindungimu di manapun, kapanpun, dari siapapun. Semua itu demi dirimu," balasnya.
"Sebelum memilih pilihan itu, aku mau tanya sesuatu," pintaku dengan suara bergetar.
"Silakan."
Dia melepaskan perkakas berkebun yang menancap menahan tubuhku.
"Kamu bakal kesulitan berbicara jika dalam keadaan seperti itu," Imbuhnya.
"Ma-makasih," balasku.
"Ikut aku."
Aku mengekorinya, mengikuti dari belakang karena tak tahu ke mana tujuannya. Kami melewati petak-petak kebun bunga milik sekolah. Kebun itu masih basah karena kusiram beberapa waktu lalu. Tak lama kemudian, tibalah kami di sebuah pohon beringin besar yang akar gantungnya bergelantungan.
"Tempat ini selalu sepi, kan?" tanya gadis itu padaku.
"Ya, karena biasanya tempat ini kotor. Sampah-sampah berserakan, karena dekat dengan tempat pembuangan sampah sekolah. Akar-akar yang menggantung itu juga membuat takut para siswi. Serta beberapa rumor yang beredar," jelasku.
"Makanya aku memilih tempat ini karena sepi. Selain itu, aku suka dan sungguh, ini adalah tempat yang menenangkan."
Gadis tersebut menyentuh akar-akar yang bergantungan secara lembut, "Selain itu, semua ini karenamu. Pohon ini menjadi bersih karena ada kamu yang setiap hari membersihkannya." Kemudian gadis itu duduk di bawah beringin.
Aku hanya terpaku kepada kecantikan dirinya, ketika leraian rambutnya diembus angin. Dengan suasana senja, aku rasa tidak ada yang bisa mengalahkannya. Bahkan matahari enggan menenggelamkan diri karena keanggunannya.
"Apa engkau tak takut dengan pohon ini?" tanyanya.
"Sejak kecil, aku sudah bersahabat dengan tumbuhan. Tidak ada yang bisa membuatku takut, walau harus berhadapan dengan pohon beringin yang sebesar ini." Aku menarik napas. "Pohon-pohon dan tumbuhan juga makhluk hidup yang sama sepertiku. Tidak ada yang merawatnya di sini, oleh karena itu aku harus merawatnya." Jawabku lugas.
"Itulah sebabnya..."
Aku terdiam sedikit kebingungan.
"Dari seluruh warga sekolah, hanya kamu yang paling sering kemari. Hanya kamu yang berani. Hanya kamu yang mampu membersihkan tempat ini... dan hanya kamu yang selalu kulihat di sini.. Aku tahu ini tahun terakhirmu, aku tahu kamu sosok yang agak dijauhi karena masalah, dan aku tahu kamu sebenarnya baik hati. Sebab tersebut, aku selalu memperhatikanmu. Sebab tersebut, aku mulai menyukaimu. Sebab tersebut, aku ingin melindungimu." hentinya sejenak, "Kamu selalu saja ingat untuk mengurus tanaman, walau dengan pakaian yang kotor atau wajah babak belur sehabis dirundung. Membersihkan halaman belakang sekolah itu sulit, terlebih dilakukan oleh seorang siswa. Seusai melakukan hal tersebut, kamu tidak lupa untuk meletakkan kembali peralatan yang digunakan. Kamu lakukan itu saban hari!"
Gadis tersebut melangkah maju mendekatiku, kemudian meraih kedua tanganku dan menggenggam erat. Kedua tangannya terasa dingin dan sedikit kaku. "Setelah mendengarkan alasanku tadi, aku ingin meminta kepastian darimu. Aku tidak ingin digantung, karena aku pernah mengalaminya dulu. Tapi jika kamu benar-benar sangat ingin menolakku, maka aku ingin mendengar alasanmu. Pertimbangannya adalah kamu bisa memiliki gadis cantik sepertiku, lalu aku bisa melindungimu dari orang-orang yang ingin mencelakakanmu. Jadi, bagaimana jawabanmu, Putra Angkasa?"
Matahari mulai menenggelamkan dirinya perlahan, hari semakin gelap. Para murid yang memiliki kegiatan ekstrakurikuler perlahan meninggalkan sekolah. Sementara aku masih terjebak dengan seorang gadis yang tadi menyatakan perasaannya padaku. Aku sama sekali tidak mengenalnya, tetapi dia mengetahui banyak hal tentangku. Pertanyaan yang ingin kulontarkan tadi, sepertinya aku tidak perlu kulakukan karena dia sudah menjelaskan semua. Sejujurnya, aku masih bingung dengan kejadian ini. Sejenak aku ingin merekonstruksikannya, akan tetapi ujung-ujungnya hanyalah nihil. Aku tidak mampu memikirkannya secara holistik, karena kejadian ini begitu tiba-tiba terjadi. Pengalaman ini sepertinya hanya terjadi seumur hidupku, atau mungkin hidupku akan berakhir di sini. Masih banyak yang ingin kuketahui, akan tetapi jawabannya sudah jelas. Bahkan sangat jelas, sejak awal seharusnya sudah kujawab.
"Maaf, aku tidak bisa mencintai seseorang yang hanya berupa jiwa tanpa raga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Akhir
Short StoryAntologi berbagai cerpen tentang berakhirnya suatu kisah, serta bagaimana kisah tersebut diselesaikan dengan akhir hubungan.