Karena Rokok

5 2 0
                                    

Tanggal 2 Mei, bertepatan dengan hari pendidikan nasional. 

Sehari setelah hari buruh nasional. 

Hari itulah, aku membuatnya marah besar kepadaku. 

Seseorang yang berpengaruh besar dalam hidupku semenjak sekolah dasar. Hari ini merupakan yang kelima semenjak dia masih marah padaku. Pada pukul satu dini hari, aku dipaksa bangun dengan cara yang tidak manusiawi.

Terkejut dan keheranan sekaligus.

Pelakunya bukanlah sesuatu, tetapi seseorang.

Pelakunya bukanlah seseorang, tetapi dua orang.

Kami bertiga hanya terdiam, wajah kebingungan tampak jelas tercetak di wajah. Karena itulah, aku masih terbangun walau sudah lewat sepuluh menit. Kendati sangat mengantuk, akan tetapi diriku tak akan bisa tidur jika ada keberadaan asing di kamarku.

Asing, ya ...

Aku sedikit mempertimbangkan kata tersebut untuk mendeskripsikan mereka. Jika kuperhatikan, sosok pertama merupakan anak kecil yang berambut pendek. Bocah tersebut hanya mengenakan celana pendek serta kaos biasa. Untuk sosok kedua sendiri, pakaiannya serba hitam. Ya, hitam ... mulai dari kemeja, celana panjangnya, dan sepatunya. Tak luput pula, kacamatanya juga berwarna sama. Rambutnya sendiri, di kucir bak ekor kuda sebab saking panjangnya.

Sayangnya, keherananku bukanlah kedatangan mereka.

Anehnya, aku tidak takut dengan keberadaan mereka.

Biasanya orang-orang pasti akan panik, jika ada dua orang yang masuk ke kamar secara tiba-tiba. Terlebih jika orang tersebut tidak dikenalnya. Ganjilnya, aku sudah mengenal siapa mereka. Hal tersebut pula yang membuatku tidak gelagapan. Mereka berdua bukanlah orang jahat, mereka berdua bukanlah orang asing, kedua orang tersebut adalah–

Aku.

"Y–"

"Yo!"

Karena kecanggungan ini sudah berlangsung lama, maka aku mencoba memecahkan keheningan tersebut. Awalnya seperti itu, tetapi diriku yang berpakaian hitam malah yang mendapatkan momentumnya.

"Y-ya?" kujawab dengan sedikit keraguan di hati.

"Siapa kalian?" 

diriku yang lebih muda terlihat sangat waspada.

Tidak sia-sia orang tuanya mengajarkan agar selalu lebih waswas, serta tidak cengeng.

Orang tuaku juga, sih.

"Weh, si kecil tenang dulu, dong! Kami ini bukan orang jahat, malah kita bertiga ini satu orang. Benar, kan?" Tegas diriku yang sudah dewasa, sambil matanya melihat ke arahku.

"Benar. Namamu, Aditya Putra, kan?" 

Rasanya seperti pertanyaan bodoh, kulontarkan untuk diriku sendiri.

"Bohong!"

Dibalik badannya sudah tersembunyi buku berjenis hardcover. Jika kena, pasti sakit sekali. Aku mulai khawatir, kembali membalas pandangan ke diriku yang berkacamata. Dia membalas dengan helaan napas.

"Oi, bocah ... aku juga gak percaya tentang hal ini. Tapi, coba lihat–" dia kemudian melepas setengah dari kancing bajunya. Lalu memperlihatkan tanda lahir yang terukir di dada kirinya. Dia kembali melihatku lagi, menganggukkan kepalanya.

"Tunggu, tunggu."

Aku melakukan hal yang sama. Begitu pula si kecil itu. Tentu saja tandanya serupa semua.

"Jadi, kau sudah percaya?" tanyaku untuk diriku yang paling muda.

Dia membalas dengan anggukan. Kami berdua bernapas lega, setelah dia menjatuhkan buku yang akan dilemparnya. Se

Kisah AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang