Satu Orang Brengsek Dalam Hidup

9 2 0
                                    


Ada dua hal yang menyebabkan para gadis selalu lama ketika berada di toilet. Pertama, antre panjang di toilet. Sedangkan, satunya adalah terjebak di toilet. Secara teknis, aku tidak benar-benar terkunci di bilik toilet. Lebih dari itu, intuisiku mengatakan jika di luar sana sangat berbahaya. Aku harus bisa menahan kelembaban dan bau dari toilet. Selain itu, ada wewangian dari parfum yang sangat menohok hidung. Semua itu bercampur hingga membuatku sulit bernafas. Jika negara ini tidak dilewati garis ekuator, maka rasanya seolah tertimbun salju.

"Kamu kenapa? Raut wajahmu itu kok tegang gitu?" tanya salah satu orang yang ada di toilet.

Terdengar suara tarikan napas yang panjang, serta embusannya. Entah bagaimana raut wajahnya, masih tegang atau sudah berganti. Melalui celah pada bilik toilet, aku bisa melihat pantulan tiga gadis. Wajahnya tentu tidak terlihat, mereka sedang menghadap cermin. Tapi, aku bisa mengenal orangnya dari suara.

"Iya, Rak ... kamu kenapa?"

Benda yang berdebuk, meninggalkan kesan mendalam bagi jantungku. Awalnya adem ayem, mendadak terkesiap. Dilihat dari suara dan pantulan yang sama, sepertinya itu tas kosmetik. Kedua temannya juga spontan teriak karena hal yang sama. Terkaanku, andaikan Ra yang dikatakan adalah hal yang sama. Maka sudah jelas yang melempar tas kecil itu adalah Rara yang sekelas denganku.

"Kesal! Kesal! Kesal! Kesal! Kesal! Aku benci! Benciiiii!"

Dari suaranya, sepertinya dia orang yang aku maksud barusan. Layaknya seorang anak yang tantrum, ucapan jengkel dikeluarkannya sambil menginjak-injak lantai toilet. Sungguh kekanak-kanakan. Melihat tindakkannya itu membuat superego-ku tak terbendung. Aku sedikit tergelak yang langsung sepintas kusekap erat mulutku. Kuperhatikan lagi pantulan dari keramik. Kendati mereka tak sadar, aku pun bernapas lega.

"Si-siapa?"

"Iya, siapa? Ce-cerita, dong!"

Terdengar jelas bahwa kedua teman Rara itu sangat ketir-ketir. Memiliki teman sentimental sepertinya, tentu mereka tahu konsekuensi kelak.

"Cala. Bina Cala."

Mendengar namaku yang disebutkan, tidak mungkin aku tidak memasang telinga selebar mungkin, 'kan? Menguping itu perbuatan tidak terpuji, tapi ini bukan salahku jika mereka mengobrol dengan suara yang terjangkau olehku. Aku juga tidak bisa berpura-pura tuli, karena ini menyangkut hidupku.

Mereka membicarakanku.

Mereka akan bergosip tentangku.

Mereka menggunakanku sebagai topiknya.

"Oh, teman sekelasmu yang dekat sama B–"

"JANGAN NGELANTUR! Bima itu dekat sama aku. Dia itu cuma ... cuma ... eng, cuma PARASIT!"

Lama sekali dia berpikir, kosakatanya sangat terbatas. Ternyata masalah Bima, kukira masalah lain. Aku sangat kecewa. Kukira dia menemukan aib yang bisa membuatku malu seumur hidup, atau masalah kemarin yang tidak sengaja memecahkan pot bunga milik guru. Kalau tahu sejak awal, tiada gunanya aku sembunyi. Tapi, sebentar lagi. Aku mau mendengar apa yang akan mereka maki.

"Iya! Itu yang aku maksud. Berlian, namamu 'kan Rara Berlian." 

Terdengar jelas dia sangat jago negosiasi.

"Benar. Siapa lagi yang lagi dekat sama selain kamu?" 

Teman lainnya ikut menimpali.

"Terus kenapa tadi Bina kasih kotak bekal ke Bima? Hubungan mereka itu apa coba?! Dasar cewek penganggu! Parasit!" 

Aku bisa mendengar dia memukul wastafel berkali-kali.

"Setuju. Sudah tahu Rara dekat dengan Bima, masih saja dia dekati. Dasar cewek murahan."

Kisah AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang