Subuh menjelma di kala selepas hujan. Petrikornya masih kentara tertinggal di hidungku. Tak mau sepatuku lembap, enggan kakiku kuyup. Kubangan air menjadi minatku, mengidahkannya ialah tujuanku. Malam memang panjang, akan tetapi pagi kian mendekat. Hanya saja dia terlalu dini memintaku menjemput fajar. Ayam jantan belum berkokok, bukan berarti mereka tiada ingin untuk berkokok. Tentunya mereka tahu kapan waktunya berkokok. Sama halnya dengan manusia yang belum bangun, karena tahu kapan waktunya untuk bangun.
Jalanan terasa masih hampa, suhu dingin terus menusuk rusukku. Aku suka malam karena aku suka tidur. Jika aku tahu seperti ini, maka aku lebih memilih untuk mengejar matahari. Aku tahu itu kesia-siaan belaka, tetapi saat ini aku merindukan pancaran hangat darinya.
Dari Kirana Mentari, tentunya. Benar namanya Kirana Mentari, bukan secara harfiah cahaya mentari. Kawan akrabku. Aku sedikit gelisah lantaran dia tak kerap menghubungiku lagi seusai pengumuman seleksi perguruan negeri jalur rapor. Sekitar empat atau lima bulan, mungkin. Seperti biasa, gadis ini selalu membuahkan kejut untuk diriku. Mendadak menghilang, mendadak mengabari serta membujuk ke taman pagi buta. Karena kami kawan, maka aku mengiyakan.
Tidak ada kebohongan yang dibuat.
Tidak ada perjanjian yang diingkari.
Sepuluh menit, sudah melewati perjanjian.
Sejauh ini, ada kabar baik serta buruk yang harus kuhadapi. Orang-orang mulai terbangun selepas terlelap sepertiga hari. Transportasi umum dan pribadi mulai menginjak gas, masih langka jumlahnya. Itu bagian baiknya. Berita buruknya, langit berkeinginan hujan lagi. Rintik air mulai menyerap ke jaketku. Terbesit di akal untuk balik. Ratusan pertanyaan dilontar oleh nuraniku.
Bagaimana jika dia tiba?
Bagaimana kalau dia kehujanan?
Bagaimana jika dia menungguku di taman?
Serta masih banyak bagaimana lainnya.
Gobloknya, smartphone tidak kuambil ketika masih di rumah.
Raguku semakin menyembul, sebab berteduh di kolong perosotan.
"Aku nyaris tak melihatmu, ruwet carinya. Ternyata di sini, toh!"
Suara yang tidak asing di telingaku, sembari sosoknya menunduk untuk berteduh bersamaku.
"Aku juga nyaris pulang, untung aku bisa bersabar lebih," Jawabku.
"Untung kamu mau menantiku, jika tidak aku yang akan menghuni di bawah perosotan ini. Namun, aku tak habis pikir bakal pulang. Menunggumu di sini, karena aku yang bersabda dan aku yang bernazar."
"Kamu bernazar apa?" tanyaku dengan alis mengerut.
"Bodoh. Apa gunanya kamu tahu? Sampai mati pun tak 'kan kuberitahu."
Aksinya sambil membuang wajah, berusaha melindungi janjinya.
Reaksiku hanya diam mematung.
"Tapi..." potongnya.
Aku melihat ke arahnya seraya mendengarkan saksama.
"Kenapa?" tukasku.
"Enggak. Cuma aku, cuma mau bilang terima kasih. Terima kasih telah menjadi temanku, bahkan sahabatku selama lebih dari sepuluh tahun. Bersama melewati berbagai dinamika, perpecahan, kecemburuan, serta emosional. Walau begitu, aku tetap bahagia. Sangat bahagia, bisa memiliki sahabat sepertimu. Saling berbagi kisah, dari duniamu dan dari duniaku. Menghabiskan waktu bersama ketika kepenatan memuncak, atau setelah ujian kemarin kita pergi ke air terjun. Kemudian kamu kesal karena tidak membawa baju ganti, tapi aku malah mengerjaimu hingga pakaianmu basah semua. Pulang-pulang kamu masuk angin, dan kamu mogok bicara selama beberapa hari. Meski pun begitu, kamu masih menaruh perhatian padaku. Karena itulah aku senang, senang karena dirimu memberikanku variasi warna-warni dunia yang monokrom ini. Bertemu denganmu merupakan karunia terindah yang pernah Tuhan berikan. Jika aku bisa reinkarnasi, paling tidak aku ingin bertemu dengan seseorang yang mirip denganmu. Paling tidak, aku ingin bertemu dengan orang sepertimu. Paling tidak, aku ingin bertemu denganmu lagi!" seru gadis itu.
Tepat saat itu, tahu-tahu pipiku mulai dibanjiri air mata. Refleks, kuusap dengan pangkal telapak tangan secara bergantian. Seketika, kedua tanganku ditarik dan ditahan oleh Kirana. Kedua mata kami saling setara, namun mataku tetap mengaliri air mata. Entah aku memimpikan apa semalam, akan tetapi ketika aku masih mengigau saat bangun itu telah samar-samar. Ingatanku memudar.
"Kenapa kamu mengatakan hal sentimental seperti itu di pagi hari?"
"Iya ya, kenapa ya?" sementara dia mengetuk dahinya, aku mulai mereda dari kemelut emosi di pagi hari.
"Mungkin kita bakal jarang ketemu, atau bahkan enggak akan ketemu lagi!" lanjutnya.
"Hah?! Maksudmu mau fokus belajar?"
"Yah, anggap saja seperti itu. Semakin dewasa kita, semakin sibuk untuk mengurusi dunia kita masing-masing. Saling melindungi kepunyaan masing-masing, tak ada intervensi di penjagaannya. Sepertinya ini lebih tepat dikatakan, salam perpisahan.
Aku tidak bakal mengurusi lagi duniamu, bahkan kamu tidak bakal bisa lagi mengurusi duniaku. Karena itu aku mendadak memintamu ke taman. Mungkin ini pertemuan terakhir kita, namun aku yakin kita pasti akan bertemu lagi di lain tempat." Dia menghela napas sejenak, pindah posisi bersimpuh di hadapanku. "Sepertinya perkataanku tadi sangat egois. Tapi, aku ingin pemakluman darimu. Sehingga sekarang aku ingin meminta maaf. Maaf karena sudah mau menjadi sahabatku, maaf karena sudah mau kususahi, dan maaf karena aku meminta sesuatu yang sangat egois. Jika kamu merasa kesal atau memiliki dendam kesumat, maka aku hanya bisa mengatakan maaf. Tapi, dibalik itu semua aku hanya bisa membalas dengan terima kasih. Mungkin kata maaf tidak sepadan dengan satu dekade yang kita lalui bersama. Maaf dan terima kasih karena kamu sudah menjadi pewarna dalam hidupku. Sekali lagi, jika kamu mau memaafkanku aku hanya bisa mengatakan terima kasih. Sedangkan, jika kamu berterima kasih kepadaku aku hanya bisa mengatakan maaf. Terima kasih sudah memaafkanku, maaf karena sudah berterima kasih padaku." Sambil membungkukkan badannya ke arahku.
"T-tapi kita 'kan masih bisa berhubungan satu sama lain, bukan?"
"Aku ragu jika kita bisa melakukannya."
"Me-memangnya kamu sekolah di mana? Sampai-sampai kamu enggan berkomunikasi lagi denganku. Atau sebenarnya apa yang terjadi denganmu?"
"Bukannya enggan, semuanya lebih rumit dan kompleks jika disandingkan dengan kata enggan. Jelas aku ingin berkomunikasi lagi denganmu, tapi tidak bisa!" Matanya menatap tajam.
"A-aku mengerti." Aku hanya bisa pasrah, ketika melihat matanya.
"Kalau begitu, aku izin untuk segera kembali."
Dia menopang tubuhnya dengan lutut seraya bersimpuh. Kedua lengannya melingkari tubuhku, mendekap erat. Sensasi hangat, walau sedang hujan menjadi rasa yang sulit dilupakan. Sekali lagi, aku tak mampu menahan bendungan air mata. Bocor. Merupakan aib bagi lelaki, namun menangis untuk seorang perempuan ada harga diri yang patut dibanggakan. Dia menyelesaikan dekapannya, menyeka air mataku dengan jempolnya yang jari lainnya mendarat di pipiku.
"Jangan menangis lagi. Maaf dan terima kasih!"
Setelah dirinya pergi dari bawah perosotan. Aku masih duduk dan termenung, memikirkan perkataannya serta memikirkan hujan yang tak kunjung berhenti. Selama beberapa menit, aku selalu ingat dia itu wanita tegar. Hampir tak pernah aku melihatnya merasakan kesedihan, menangis atau terisak. Aku terkejut ketika Kirana hendak keluar dari perosotan ini, aku sempat melihat air matanya yang menetes. Entah itu perasaanku saja, tapi itu tampak jelas. Mungkin air hujan.
Sekitar sepuluh menit kemudian, hujan mereda. Dibarengi dengan mentari yang mulai menyembul. Aku kembali pulang ke rumah.
Sesampai di rumah, hal pertama yang kulakukan adalah membuka smartphone. Sangat penasaran dengan isinya, karena pemberitahuannya berjibun padahal masih pagi. Isinya dari grup kelas di Line, serta grup lainnya. Bahasannya adalah ucapan bela sungkawa terhadap salah satu teman ...
Kirana Mentari.
Telah dinyatakan wafat semalam oleh keluarganya.
Aku sedikit terkekeh. Terdiam, termenung, serta mematung. Sambil dalam hati berkata, "Sampai akhir hayat Kirana Mentari memang penuh kejutan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Akhir
Short StoryAntologi berbagai cerpen tentang berakhirnya suatu kisah, serta bagaimana kisah tersebut diselesaikan dengan akhir hubungan.