Part 5

9 1 0
                                    

Aku Up lg ya. Gabut bgt soalnya :(





*
Sepanjang perjalanan arah pulang, tak ada satupun diantaranya yang memulai percakapan. Sama-sama bungkam. Tak ingin mengeluarkan sekata patah pun. Yang satu diam, sembari menunduk dan terus menautkan kedua tangannya dengan jari-jari lainnya. Dan yang satunya lagi, hanya sibuk ke arah depan dan fokus ke arah kemudi. Namun ekspresi yang ditunjukkan oleh Revan saat ini, sangat tidak mengenakkan hati. Datar dan dingin.

Perasaan Cia saat ini masih sama. Gugup, bingung, grogi, dan tentunya sangat tak enak hati juga. Setiap dirinya ingin mengeluarkan kata maaf, selalu saja ada halangan yang menghalanginya. Seperti saat ini,

"Van, hm-mm gu-gue mau.." ujarnya, masih dengan kalimat yang belum ada kejelasan.

Revan bingung dengan apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh gadis disampingnya ini. Ia menaikkan sebelah alisnya, memberi kode bahwa apa sebenarnya yang ingin ia ucapkan kepadanya.

"Gue mau min...."

Drttttt drttttt

"Bentar ya Gue angkat telfon dulu"

Belum sempat dirinya melanjutkan perkataanya. Terdengar suara deringan ponsel. Sungguh sangat merusak situasi yang sedang ia bangun:v.

Lantas, Revan segera mengangkat panggilan itu. Karena asal deringan ponsel itu adalah ponsel miliknya.

"Ada apa?" Tanya Revan, disela-sela obrolannya dengan orang yang menghubunginya saat ini

"......"

"Oke. Saya kesana sekarang"

Tutttt

Panggilan pun diakhiri. Tidak lama, sangat singkat.

Merasa panggilan telefonnya sudah terputus. Akhirnya Cia melanjutkan perkataanya yang sempat tertunda tadi. "Van, gue...."

"Gue buru-buru. Lo kalo mau ngomong mending besok aja!" Cegahnya, yang langsung dipotong begitu saja.

Selepas sampai tepat di depan rumah Cia. Ekspresi yang ditunjukkan oleh Revan, masih tetap sama. Datar dan dingin. Padahal itu sama sekali bukan sifat aslinya.

Kemudian Cia turun, melangkahkan kakinya menuju tempat singgahnya yang sudah di depan penglihatan. Ia turun sebelum mengucapkan kata terima kasih terlebih dahulu. Biar bagaimanapun juga dirinya ibarat numpang. Ehh bukan si, kan Revan yang ngajakin.

**

"Maaf den, ini makanannya dimakan dulu"

"Gue gak mau makan"

"Tapi den, inikan perintah dari den Revan. Jadi bibi ...."

"Gue bilang Gue ga mau makan. Lo budeg? Atau buta?" Belum sempat Bi Ijah melanjutkan kalimatnya tadi. Disergah begitu saja dengannya. Dan kemudian ....

PRANGG

Terdengar suara pecahan piring. Siapa lagi kalau bukan cowok ini pelakunya. Bukannya menerima makanan yang diberikan pembantu suruhan Revan, namun ia malah membantahnya begitu saja. Sangat tidak menghargai wanita paruh baya yang saat ini bertugas merawat dirinya.

Makanan pun berhamburan di lantai. Sangat berantakan, pecahan beling yang sudah terkapar disekitar tempat itu. Bi Ijah merasa terkejut atas apa yang dilakukan oleh majikannya. Dan tak pernah menyangka jika majikannya sekasar ini. Dan org yang melakukan hal itupun hanya bisa cuek, dan mengalihkan atensi pandangannya ke arah lain tanpa niat sedikitpun untuk membantu atau mengucapkan kata maaf.

Jika keadaan sudah seperti ini. Bi Ijah tidak bisa memaksa lagi. Ia hanya bisa menghubungi seseorang yang diyakininya bisa mengatasi keadaan saat ini.

Pandangannya kosong, menatap ke arah tirai jendela. Seolah berharap akan ada sesuatu keajaiban yang bisa membantu dirinya disaat seperti ini. Ia bingung, atas apa yang telah menimpa dirinya saat ini. Gagal ginjal. Ya, itulah yang saat ini sedang dirasakan oleh pria itu. Sebelumnya ia tidak pernah menyangka jika ia akan diberikan penyakit parah seperti ini. Dan yang bisa ia lakukan hanya diam, lesuh, dan tak berdaya jika ingin melakukan hal lain. Karena ketika ia akan berkegiatan, akan terasa cepat lelah. Dengan kondisi sekarang, tidak ada keluarganya yang bisa menerimanya lagi seperti dulu. Bahkan mungkin ia sudah terbuang. Namun bersyukurnya, ia masih memiliki seorang adik yang sangat peduli dengannya.

RECIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang