Chapter 18 : Mengingat Kembali

6 1 0
                                    


Benar kalau Phun mengemudi cukup kencang, tapi hampir jam 10 malam saat kami tiba di pantai Bang Saen. Dia dan aku memutuskan parkir dekat trotoar supaya bisa makan malam di restoran. Kami sengaja pilih tempat ini karena banyak yang sepantaran umurnya disini.

"Ramai banget, yakin sih makanan disini enak." Tutur supirku yang membuat senyumku merekah lebar. Artinya, nggak cuma aku saja yang beranggapan jika restoran ramai pasti makanannya enak. Heh heh. Aku harus bilang didepan mukanya Om pas sudah balik. (Dia menganggapku aneh tiap kali bahas hal ini. Sekarang coba, sebenarnya dimana tepatnya letak kesalahanku tentang anggapan itu?)

Phun mematikan mesin, memastikan spuaya aku mengenakan jaketnya dengan baik sebelum membuka pintu.

Tak tahu entah kenapa, seperti artis, rasanya kami membuat kehebohan saat masuk ke restoran ini. Semua mata tertuju pada kami. Mungkin karena seragam komplit ini lengkap dengan inisial sekolah, ditambah celana pendek biru membuat kepala orang-orang menoleh. Tapi kalau kupikir baik-baik

Orang yang sedang bersamaku ini wajahnya terlalu ganteng. -_-"

Dasarnya, kombinasi antara dua hal itu. Yang satu ganteng dan yang satu pakai seragam sekolah, jadi mau tidak mau kami mencolok. Wajar kalau aku tegang menyadari tatapan orang-orang asing ini. Namun, Phun nampak cukup santai. Tak tahu apakah dia sadar kalau semua disini sedang melihat ke arah kami. -_-"

Ah biarin. Bodo amat. -_-"

Phun dan Aku berputar-putar cukup lama karena tidak bisa menemukan meja kosong. Akhirnya seorang pelayan membantu kami mencarikan meja. Saat duduk, aku masih bingung konsep tempat ini. Ini restoran atau hanya bar biasa? Aku perhatikan ada beberapa meja terhidang minuman saja, tanpa satu pun makanan. (Apa-apaan ini?) Aku juga penasaran apakah memakai seragam sekolah ke tempat seperti ini adalah keputusan yang tepat atau bukan.

Jawabannya kutemukan saat melihat siswa-siswa – disamping meja kami, yang juga mengenakan seragam – tengah memesan bir. -_-"

Suara keras dari seseorang yang tengah pesan makanan mengganggu jalan pikiranku yang berantakan. "Kami pesan... salad pedas kulit daging babi, salad pedas daging cincang, daging ayang goreng, kerupuk pedas, dan satu tower Heineken." Anjir ini anak. Makanan macam apa itu. Aku menggapai untuk menepak kepala siswa teladan ini. "Pesen yang beneran makanan dong! Edan!"

"Eh?! Kamu belum sempet makan malam ya?"

"Belum..." Menurutmu kapan aku sempat makan? Sore ini aku terlalu sibuk bicara dengan Yuri. Karena banyak pikiran, aku juga tak punya niat melakukan apa-apa setibanya dirumah. Tahu-tahu aku sudah memuat tas dan langsung pergi begitu saja ke rumah Phun. Awalnya aku cuma ingin menghabiskan malam disana. Tapi si pemilik rumah memutuskan untuk menyeretku jauh-jauh kesini. Yaah, anggap saja lagi beruntung bisa jalan-jalan.

"Ya udah pesen yang lain." Perintah Phun sambil menyodorkan menu yang padahal dari tadi tidak ia buka dan baca. Lah, terus kenapa dari tadi dia pegang menunya sendiri? Gagal paham. Aku menggaruk kepala sambil menyusur tulisan dimenu selama dua detik tepat, tidak kurang tidak lebih. "Nasi goreng... Itu aja."

"Woah, kreatif sekali kamu, Noh." Si brengsek ini berani juga ngomong begitu. Yah, gara-gara siapa semua aku gitu?

"Kamu kan udah pesan bir, trus aku harus pesan apa? Nasi goreng dan bir kan memang cocok. Itu saja p' " Aku mengembalikan menu ke pelayan dengan tersenyum simpul. Senyum yang cukup membuatnya kepincut. Heh, heh. Kadang kita para cowok ini harus berlatih seni menggoda sekali-kali.

"Kenapa kamu tersenyum gitu? Kamu menggoda dia ya?" Si brengsek ini ingin memulai pertengkaran denganku.

"Ngomong apa kamu? Aku udah lapar. Nggak ada orang yang terlihat selalu kenyang dan bahagia kayak kamu."

Love Sick - Kehebohan Manusia Celana BiruWhere stories live. Discover now