Setibanya di rumah, mendadak pikiranku terasa hampa. Padahal sepanjang hari ini, banyak hal yang seharusnya ku pikirkan. Tapi saat ini? Berbagai macam hal yang tadinya mengganggu itu, dalam sekejap kedipan mata, mereka memutuskan untuk melebur menjadi satu, menjadi sebuah bola putih yang melayang di dalam benak.
Mungkin tingkat stresku sudah ambang batas. Kalau terus memikirkan semua itu, mungkin akhir tragislah yang bakal kudapatkan – jadi orang gila. Aku berguling ke sana kemari di atas kasur sebelum mulai merangkak meraih game baru. Niatnya sih mau ku mainkan. Supaya, setidak-tidaknya bisa menghilangkan stres ini, walau tidak terlalu signifikan. Sayangnya, minatku benar-benar tidak ada.
"Dasar Phun brengsek." Kutukku, walau tahu realita saat ini dia tidak berada di hadapanku. Meski begitu, aku bisa dapat sedikit rasa puas. Mengutuk orang itu sesungguhnya lumayan membantu.
"Phun brengsek! Lubang-pantat! Si aneh! Cabul! Playboy! Pelacur idiot! Kamu... Kamu itu... Kamu itu...!" Apa lagi ya yang bisa kukatakan?! Pikiranku berada di puncak kekesalan. Lalu aku menendang bantal yang tadinya tergeletak dilantai. Sekarang benda itu terbang ke sisi lain ruangan ini.
"Anjir lah..." Aku sungguh tak tahu kosakata apa lagi yang pantas disematkan kepadanya. Aku terus berjalan mondar-mandir, bergumam sendiri seolah-olah aku berada di situasi yang sangat terpojok, terjebak, hampir tak ada jalan keluar. Tapi kemudian, aku mendapat sebuah ide.
Drok! Drok! Drok! Drok!
"Noh! Mau kemana kamu!? Hati-hati kalau turun tangga!"
"Mau pergi ke rumah teman, Ma. Sebentar aja!" Aku membalas teriakan Ma sebelum menunggangi motor dan kemudian pergi.
***
Jadi, di sinilah aku berada, sekali lagi di sebuah rumah yang besar. Aku memarkirkan motor di depan kediaman keluarga Phumipat dan menengok arah lantai dua. Aku bisa melihat kalau lampu di kamar Phun masih menyala. Itu artinya dia sudah kembali ke rumah.
Terus, apa yang akan aku lakukan di sini? Apa yang harus kukatakan padanya? Gimana caranya kami bisa meluruskan situasi ini? Sejujurnya aku tidak tahu. Yang ku tahu, kami butuh bicara empat mata tentang itu.
Jalan di depan kediaman Phumipat sekarang seperti jadi tempat sasana olah raga pribadi milikku. Dari tadi aku terus saja mondar-mandir hingga merasa pusing sendiri. Masih ada keraguan, apakah sebaiknya aku masuk ke dalam. Tapi mendadak sebuah mobil besar bergerak mendekati gerbang. Dari kursi belakang, aku dengar ada yang memanggil namaku. Secara bersamaan, jendela mobil itu perlahan terbuka.
"P'Noh?"
Nong Pang?!
"P' ke sini mau ketemu sama P'Phun?" Ngomongin sesuatu yang memalukan. Rasa kok jadi gini, jadi salah satu cowok gay yang terlalu tergila-gila dengan pasangannya.
Tapi nampaknya dia sangat menikmati momen ini. -_-"
"Kenapa nggak masuk dulu?" Lihat itu? Aku memberinya senyum masam. Adik perempuannya Phun menekan tombol di remote membuka gerbang besar itu. Lalu ia mempersilahkanku memasukkan motor untuk diparkirkan di sebelah mobil eropa nan cantik di garasi.
"Kalau kamu pulang biasanya malam-malam gini ya?" Aku mulai berbasa-basi, sekedar sopan santun saat dia menapakkan kaki ke tanah keluar dari mobilnya. Aku bisa lihat, ia masih mengenakan seragam sekolah. Emm, aku juga sih. Tapi setidaknya aku sudah berganti sepatu dengan sendal.
"Tadi ada les. P'Phun bukannya sudah di rumah? Kenapa P' nggak langsung naik ke atas saja menemui P'Phun?" Ucapnya padaku setelah melihat bahwa lampu kamar kakaknya menyala.
YOU ARE READING
Love Sick - Kehebohan Manusia Celana Biru
Novela JuvenilDalam situasi yang genting, Noh, tokoh utama dalam novel ini, hanya bisa meminta tolong kepada PHUN, si ketua OSIS. Hanya dengan satu syarat. Noh harus mau menjadi pacarnya Phun. Sebuah novel karya Indrytimes, yang sudah menjadi TV Series (2 Season...