Rasanya datang ke sebuah tempat yang ramai oleh penduduk itu menyenangkan. Anak-anak berlarian sambil mengejar satu sama lain, atau para orang dewasa yang sibuk hilir mudik untuk bercengkrama dengan tetangga atau orang asing yang datang berkunjung hanya untuk sekedar menghapus penat. Suara teriakan para pedagang terdengar keras dibantu angin yang menyebarkan gelombang suara. Aroma masakan menggiurkan lidah dan perut yang berbunyi keras. Sinyal kekosongan lambung yang harus segera diisi.
Sanemi dan (y/n) sama-sama diam, masih tak bersuara atau berniat berbicara satu sama lain.
Lain dengan mulut lain dengan mata.
Mata mereka sibuk berkeliling untuk mencari hal yang menarik perhatian. Kedua Hashira itu datang kesini bukan hanya sekedar untuk mengantar anak tersesat yang menangis ingin pulang. Tapi menjalankan sekaligus menyelesaikan sebuah misi yang sudah mereka terima dari pimpinan mereka.
Kembali (y/n) fokus pada anak lelaki yang masih setia menempel di punggungnya. Mulutnya sibuk mengoceh banyak hal yang tidak terlalu dimengerti oleh (y/n). Bahasanya terlalu rancu dan amburadul itu sebabnya dia tidak bisa menyimpulkan apa yang sebenarnya anak ini ingin katakan padanya. Sekilas menyimak sekilas mendiamkan. Terus saja (y/n) seperti itu sampai anak kecil itu kelelahan sendiri.
Soal pedang yang dibawa oleh Sanemi dan (y/n), mereka masih menyematkannya pada sabuk putih di pinggang mereka. Memang terlihat mencolok tapi mereka juga kebingungan harus disembunyikan dimana. Mungkin (y/n) masih bisa menyembunyikannya dibelakang haorinya. Tapi dengan anak kecil yang masih setia digendongannya? Rasanya itu adalah pilihan yang buruk. Akan jadi kurang nyaman untuk anak itu jika pedangnya disembunyikan disana.
Tidak peduli. Sikap itu ditanamkan oleh Sanemi dan (y/n) ketika mereka mulai masuk ke dalam desa dengan tetap memperlihatkan pedang mereka. Mungkin hal ini bisa membuat target mereka takut atau marah tapi itu tidak apa-apa. Selagi mereka tidak menyerang dan matahari masih ada di langit, Sanemi dan (y/n) tidak perlu repot-repot menarik pedang mereka untuk bertarung. Cukup simpan dan pakai disaat yang tepat.
"Rumahku disebelah sana!" ujar sang anak girang. Jari telunjuk sengaja ia arahkan ke arah yang ia katakan agar kakak baik yang menolongnya ini tahu.
"Baiklah. Sepertinya sebentar lagi kita akan sampai." (y/n) tersenyum sekilas.
Kembali (y/n) melanjutkan langkahnya agar ia dan anak kecil ini segera sampai. Sengaja gadis itu sedikit mempercepat tempo jalannya. Terlalu lama menggendong orang sekalipun itu seorang anak kecil ternyata cukup membuat tulang punggungnya pegal.
"Nee-san... Kemana paman berambut putih?"
Tepukan pelan akibat ulah anak itu membuat (y/n) menoleh ke arahnya. Matanya sedikit menyipit. Menoleh ke arah kirinya, tempat Sanemi berjalan di sampingnya tadi. Rupanya kosong. Orang itu tidak ada entah sejak kapan menghilangnya.
Gadis itu tertawa kecil. "Sudah tidak perlu dipikirkan. Mungkin dia lapar atau ingin membuang sesuatu," balasnya. Entah ide jawaban darimana yang terakhir itu. Tiba-tiba saja muncul di dalam pikiran (y/n).
Tapi sebenarnya (y/n) tahu kemana Sanemi pergi lewat prediksinya. Lelaki itu pasti sedang berkeliling untuk memperluas jangkauan pengamatannya. Akan memakan waktu yang lama kalau harus menunggu (y/n). Intinya lebih cepat lebih baik.
Sebuah rumah kecil juga sederhana berdiri kokoh di bawah pohon besar. "Ini rumahku!" Begitu katanya saat mereka sampai di depan pintu.
Anak itu turun dari gendongan (y/n). Berjalan sedikit tergesa-gesa ke depan rumah lalu mengetuk pintu berbahan dasar kayu itu. Kembali kedua pasang mata gadis itu menyipit. Kenapa dia harus mengetuk pintu terlebih dahulu pada rumahnya sendiri? Apa itu ajaran tata krama yang diajarkan oleh orang tuanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Scenario || Kimetsu no Yaiba
FanfictionAozora (y/n). Seorang gadis keturunan keluarga terkemuka pada Era Taisho terpaksa harus memikul beban yang begitu berat di dalam hidupnya. Lewat pesan mimpi yang ia dapatkan, ia harus menyelamatkan puluhan bahkan ratusan nyawa di luar sana dari nera...