01. Hei Felix!

68 8 2
                                    


Hari yang melelahkan.

Sungguh. Dari pagi terlambat untuk bangun. Sampai di universitas terlambat. Skripsi tidak disetujui. Bahkan cuaca pun sangat panas.

"Tidak bisakah awan datang dan menurunkan hujan?"

Itulah yang ia harapkan. Setidaknya ia menginginkan cuaca yang sedikit dingin untuk meredam emosinya. Apalagi mahasiswa yang satu ini tidak menemukan solusi untuk meredam amarah kecuali hujan turun.

Tak lama pasukan awan benar-benar datang dengan air yang jatuh terus menerus.

Si empu senang karena
permintaannya terwujud. Namun ia menjadi risau. Sebab penglihatannya menangkap sesosok anak kecil yang kehujanan dan tak ada yang menolongnya. Padahal banyak orang yang berada di seberang sana.

Mahasiswa yang tadinya terduduk manis di halte bus itu langsung berlari tak berpikir panjang.

Jalan yang lumayan sepi menolongnya saat ia menyebrang. Namun ada beberapa pengendara yang memaki nya lantaran tidak melihat kanan atau kiri sebelum menyebrang.

Ia langsung membawa si mungil ke tempat teduh terdekat. Si mungil bingung, selama ini tak ada yang peduli. Namun hari ini? Dan siapakah orang baik ini.

"Adek ngapain sendiri disini? Orangtua adek mana? Namanya siapa? Tinggal dimana? Ini hujan, loh. Bahaya. Kakak anter kerumah, ya?"

"Maaf sebelumnya tapi aku nggak punya jawaban dari pertanyaan kakak," jawabnya lirih.

"Eh? Eh? Jadi maksudnya adek nggak punya nama, rumah, bahkan orangtua?"

Relung hati mahasiswa itu kemudian merasa sesak saat si mungil mengangguk dengan polosnya. "Biasanya orang-orang manggil aku anak buangan, kak. Dan aku rasa anak buangan bukan nama. Jadi aku nggak bisa jawab pertanyaan kakak."

Mahasiswa itu menghembuskan napas kesedihannya. Lalu mengedipkan mata beberapa kali untuk menangkal air matanya tumpah.

"Adek mau ikut kakak? Jadi adek kakak mulai sekarang," ucapnya dengan menatap si mungil dengan alis yang ia naikkan.

"Tapi, kak. Aku cuma anak buangan. Orang lain aja gamau ngelihat aku, kak. Masa kakak mau jadiin aku adeknya kakak? Aku takut, kakak malah jadi lebih sial karena tinggal bareng anak buangan kaya aku," ujar nya begitu polos.

Dengan menampakkan senyum mahasiswa itu berkata, "Kenalin. Nama kakak Abin Kadeo. Kamu bisa panggil kakak sesuai yang kamu mau. Pokoknya kamu mulai sekarang jadi adeknya kakak. Kakak gamau tau. Mau kamu nolak atau gamau. Kakak mau kamu jadi adeknya kakak," tegas mahasiswa yang baru saja memperkenalkan namanya.

Mata si anak kecil pun membulat. Air matanya menetes. Perasaan yang masih polos itu merasakan sensasi baru dari orang baru. Ia tak begitu mengetahui apa nama dari sensasi itu. Yang ia rasakan adalah senang. Namun, mengapa air matanya tumpah?

Melihatnya menangis, hati Abin terasa tercabik-cabik. Lihatlah ketulusan air mata si mungil. Bagaimana bisa ada orang yang membuang anak selucu ini? Bahkan tutur katanya terlalu sopan untuk anak seusianya.

Jika dilihat-lihat, anak di depannya itu masih memiliki usia berkisar 6-7 tahunan. Dengan pakaian compang-camping dan sedikit gondrong. Badan yang terlihat kotor. Bahkan ia tak memakai sandal.

Saat bus datang keduanya segera naik. Di tempatkan lah si mungil dalam dekapannya. Ia benar-benar ingin membuat si mungil tak merasa kedinginan lagi. Bahkan jaket yang ia pakai ia lepas dan ia pakaikan ke si mungil.

Tak peduli bagaimana tas dan segala isinya yang masih melekat di punggungnya. Ia hanya fokus ke si mungil dan memikirkan nama yang pas untuknya.

Sekitar 35 menit keduanya baru saja sampai di halte bus terdekat dari apartemen si mahasiswa.

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang