06. Cracked

24 5 0
                                    


"Lix, mau rasa apa?"

"Aku samaan kaya Farhan aja, kak."

"Oh oke. Mas Chocomint nya dua," setelahnya si mas-mas langsung membuatkan dua eskrim pesanan Lino.

"Ini kak, terimakasih."

"Oke, sama-sama."

Saat satu bapak dan dua anak, eh.

Saat ketiganya sampai, meja sudah penuh dengan makanan.

"Buruan diabisin. Abis itu kita makan," ucap Abin.

Kedua anak kecil itu segera menghabiskan eskrimnya dan mulai memakan apa yang sudah di siapkan.

"Kak. Kamar mandi dimana, yah?" tanya Felix di sela ia memakan menu di hadapannya.

"Itu disana. Mau kakak temenin?"

"Enggak usah, ah. Felix bisa sendiri, kok. Sebentar ya, kak."

"Cepet balik!"

"Iya!" Felix pun segera menuju ke kamar mandi.

"Eh aku juga ke kamar mandi bentar."

Yang lain hanya memperhatikan dan beberapa mengangguk.

Di dalam kamar mandi, saat Felix telah selesai dengan urusannya.

"Eh? Kak Chandra?"

"Iya. Napa?"

"Enggak kok!"

"Lix, denger ya. Jangan sok akrab sama gue. Gue tuh sampai kapan pun nggak akan nganggep lo jadi adek. Jadi, berhenti mikir kalau gue bakal nganggep lo kaya adek gue sendiri. Inget ya, lo tuh cuma anak buangan! Ngerti?" bisik Chandra tepat di depan Felix. Setelah itu Chandra keluar dan meninggalkan Felix.

"Memangnya salah ku apa? ..... Ah iya, ya? Pasti salah ku karena menjadi anak buangan dan menjadi adeknya kak Abin,.." setelahnya Felix kembali ke meja namun ia lebih menjaga sikap.

Baik Abin, Hyundra, bahkan Lino. Menyadari perubahan sikap dari Felix. Walaupun Farhan merasa biasa-biasa saja. Dimata ketiganya Felix benar-benar berbeda. Hingga saat kembali ke apartemen, tak ada perubahan yang lebih baik dari Felix.

Abin pun mencoba bertanya. "Felix? Kamu kenapa? Ada yang salah? Kenapa kok kamu beda? Nggak kaya biasanya," ujarnya.

"Beda gimana, kak? Felix sama aja, kok! Mungkin Felix kecapekan, yah? Jadinya agak beda. Yaudah, Felix mau tidur aja. Ayo, kak! Kita tidur!"

"Ah yaudah deh. Let's go!" Abin pun menggendong Felix. Dan yang di gendong kembali tertawa lepas. Abin pun berkata, "Nah ini Felix yang kakak kenal!"

. . . .


Saat pagi hari. Kehidupan sama seperti biasanya. Abin dan Felix terbangun. Keduanya mandi. Sarapan. Abin mengantar Felix ke sekolah. Tidak lagi ke tempat Ningning. Entah mengapa tapi rasanya Abin seperti tergerak ingin mengantarkannya sampai sekolah.

Ada yang aneh di dalam lubuknya. Saat Felix lepas dari pandangannya dan masuk ke dalam area sekolah, ia meneteskan air mata. Seakan ia seperti mengucapkan salam perpisahan.

Apa maksudnya semua ini? Mengapa hatinya begitu kacau? Pikiranya tak bisa berpikir positif. Ia pun segera menelpon Ningning. "Halo, mbak?"

"Iya. Gimana, bin?"

"Aku titip Felix ya. Tolong di perhatiin, mbak."

"Pastinya dong! Dia udah aku anggep anak sendiri loh, bin. Jangan khawatir. Oke?"

"Iya mbak. Makasih banyak."

"Kan mbak udah pernah bilang. Kamu kalau butuh sesuatu bilang sama mbak. Kamu kan udah mbak anggep adek sendiri, bin."

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang