03. My Little

28 7 0
                                    


"Felix!!" pekik sang kakak saat dirinya baru saja kembali ke apartemen.

Dan si pemilik nama pun langsung berlari menemui sang pemanggil. Ia berlari dengan keadaan air mata yang menetes. Ekspresi yang tadinya senang pun berubah menjadi khawatir. Yang baru saja pulang langsung berlari menghampiri sang adik dan memeluknya.

"Hei? Kenapa? Kenapa menangis? Apakah ada yang salah? Kamu terluka? Bagian mana? Apakah makanan nya tidak enak?"

"Enggak!" isak Felix terdengar jelas. Seperti ia sudah menangis sedari tadi.

"Aku takut kakak pergi! Aku takut kakak nggak akan kembali! Aku takut, kak! Aku gamau ditinggalin lagi! Aku mau sama kakak selamanya! Kakak jangan tinggalin Felix lagi!" ujar Felix dengan suara yang begitu menyayat hati Abin.

"Maafin kakak, ya? Udah ninggalin kamu. Lain kali kakak nggak akan ninggalin kamu lagi!"

"Janji?"

"Janji! Kakak nggak akan ninggalin kamu. Oke?"

Felix pun menyembunyikan wajahnya dalam dekapan Abin. Tangan Abin tergerak untuk mengusap pelan punggung Felix. Ia membawa Felix ke sofa.

. . . .

Setelah kejadian itu, seminggu pun berlalu. Keduanya benar-benar tak terpisah. Dan kini Felix telah bersekolah di SD dekat apartemennya. Ia tak ingin Felix bersekolah jauh-jauh seperti ia yang memilih universitas jauh dari apartemennya.

Setiap kali jam pulang sekolah, Felix selalu ia jemput. Kecuali saat ia benar-benar ada jam kelas dan tidak bisa di ganggu. Mungkin Abin akan menitipkannya ke rumah guru Felix yang kebetulan berdekatan dengan apartemen. Ia juga sudah seperti kakak bagi Abin.

"Bin, ngerjain tugasnya di apartemen lo, ya?" ucap Chandra yang dirasa apartemen Abin adalah yang paling tepat. Abin tinggal sendirian, dan mereka harus mengerjakannya selama 2 atau 3 harian.

"Oke. Yang lain gimana?"

"Yaudah ayo. Lagian apart lu yang paling pas," ucap Lino yang di angguki Hyundra.

Setelahnya keempat mahasiswa itu sampai di apartemen Abin. "Sebentar, ya. Gue mau jemput adek gue. Lo pada masuk, gih. Sandi masih sama," ujarnya lalu segera menjemput Felix.

Sekitar 19 langkah Abin pun sampai. "Hei kesayangan nya kakak! Pulang, yuk?"

Felix yang masih bermain dengan anak si guru pun langsung menghampiri dan memeluk kakaknya.

"Ini tas nya Felix," ujar si guru yang menyerahkan tas Felix.

"Makasih ya mbak Ningning. Udah di jaga adek saya!"

"Iya, bin. Sering-sering loh suruh main. Biar main bareng Bobby," ucap nya lalu mengelus pelan surai Felix.

"Ah iya. Sekali lagi makasih ya mbak!"

"Iya Abin! Sama-sama! Dada dek sama kak Felix!" ujarnya sembari berkata kepada si putra yang masih berusia 2 tahun.

"Dadah Bobby!" seru Felix yang sudah sedikit jauh.

"Ciee, seneng nih punya temen baru!" ejek sang kakak.

"Tetep aja gaada yang bisa gantiin kakak di hati!"

"Dih? Kaya tahu aja kamu soal hati," ejek kakaknya kedua kali.

"Kakak! Aku tuh udah gede! Udah sekolah juga!"

"Hum? Terus? Bagi kakak, ya. Kamu tuh masih kecil. Nggak ada kamu udah gede. Kalau bisa, kamu gak usah gede. Biar kakak bisa gendongin kamu terus kaya gini!"

"Masa jadi kurcaci??"

"Eh? Kosakatanya nambah, nih?"

"Iya, dong! Kan udah banyak belajar!" si kakak pun tertawa lega.

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang