Langkah kakinya menuntun ia menuju ke sebuah taman dekat kampus, usai pulang kuliah, dirinya tak langsung pulang ke rumah. Menikmati keindahan taman usai dilanda penat akan tugas kuliah sepertinya tidak ada salahnya, begitu pikirnya.
Bicara soal taman, taman ini merupakan taman C yang terletak di depan gedung rektorat kampus Universitas Airlangga, tempat yang mengasyikkan karena dilengkapi dengan pekarangan taman dan danau ( kolam konvensional). Taman kampus C juga sering dijadikan sebagai tempat untuk berswa-foto, bukan hanya itu, taman ini juga sering didatangi para orang tua beserta anaknya juga sekumpulan pemuda yang melakukan jogging bersama.
Ditatapnya sendu langit sore kala itu, terasa sesak, ia hampir saja menumpahkan air matanya. Embusan angin sore menerbangkan sebagian rambut blonde miliknya.
"Senja, ya." Tatapannya seakan membawa ia pada luka yang belum terobati.
Entah sejak kapan, dirinya tak begitu menyukai senja. Baginya, senja menjadi awal perjumpaan ia pada mimpi buruk. Usai matahari tenggelam, maka ia akan kembali dipertemukan pada kesendirian dikeheningan malam. Satu waktu yang selalu membuat ia terjerat pada mimpi-mimpi mengerikan.
Zalora tidak menyukai senja, itu menurutnya. Namun, Zalora menyukai gugusan bintang. Ia sering bersandar dekat jendela sambil menikmati gemerlap bintang yang bertabur layaknya serpihan kaca, menjadi candu bagi dirinya dikala ia merasa kesepian.
Ia tak ingin berlama-lama di sana, gadis manis dengan bentuk alis seperti elang memutuskan untuk pulang. Baru saja kakinya hendak melangkah, handphone di sakunya tiba-tiba berbunyi, sebuah notif pesan masuk di beranda wa miliknya. Pesan dari dokter Rei.
"Hari ini jadwal pemeriksaan, datang ke rumah sakit segera."
KAMU SEDANG MEMBACA
mentari tak pernah tenggelam
General FictionZalora Fataya Almeera salah satu karakter dalam cerita, memiliki trauma pada masa lalunya. Namun, di sisi lain ia beruntung memiliki sahabat yang selalu mendukung serta kehadiran sosok pria yang ia kagumi. Bersama mereka, Zalora mencoba bangkit dari...