"Apa ada yang menganggu pikiranmu?" tanya Septian kepada Zalora saat ia mengajaknya makan siang di sebuah cafe.
"Kau tidak mau bercerita," lanjutnya lagi.
Diperhatikannya sang gadis yang sedari tadi hanya sibuk memainkan sedotan, tanpa berniat meminumnya. Lelaki itu menghela napas.
"Ini sudah empat kali kau melamun, terhitung saat aku mengajakmu kesini," ujarnya.
"Maaf Sep," sesal Zalora.
Ia sungguh tak berniat mendiamkan lelaki dihadapannya itu, jujur saja, ia sebenarnya ingin bercerita kepada Septian. Namun, entah mengapa itu terasa sulit.
"Kalau ada yang mau kau ceritakan, ceritalah," ujarnya sembari menyeruput vanilla latte. Seolah tahu apa yang ada dipikiran sang gadis.
Perlahan pandangan Zalora menatap ke dalam sepasang netra hitam milik lelaki penyuka aroma mint itu, ditariknya napas dalam-dalam, sebelum akhirnya ia mempersiapkan diri untuk bicara.
"Sep, menurutmu ... , Zalora tiba-tiba menghentikan ucapannya, seolah ragu.
"Apa, katakan."
"Aku ingin bertanya pendapatmu, apa menurutmu aku terlalu berlebihan," ujar Zalora.
"Berlebihan soal apa?" tanya pria itu sedikit heran.
Lantas Zalora menceritakan perihal dirinya ingin kembali membuka kasus yang sudah lama ditutup, ia mengatakan bahwa masih ada yang mengganjal dan ia ingin semua terungkap dengan jelas, ia bahkan meminta bantuan seseorang––Pamannya untuk mengungkap kasus itu. Namun, di sisi lain, ia juga sadar bahwa untuk mengungkapkan kasus itu bukanlah perkara yang mudah. Septian masih setia mendengarkan cerita sahabatnya itu, usai bercerita, sang gadis lalu meminta pendapat dari sahabat laki-lakinya itu.
"Kasus itu seperti lukisan, mau sebanyak apa pun kita menambah warna, pada akhirnya hanya satu gambar yang tercipta. Begitu juga dengan yang kau hadapi saat ini, sesulit apa pun itu, pasti akan menemui titik temu," ungkap Septian.
Netranya memandang sang gadis, sebelum ia menyelesaikan perkataannya kembali.
"Saranku, kau beri kesempatan kepada pamanmu untuk menyelesaikan kasus itu selama satu bulan. Jika memang dalam waktu sebulan, belum ada hasil, sebisa mungkin aku akan berusaha untuk membantumu."
Mendengar hal tersebut, Zalora tersenyum cerah. Sahabatnya memang benar-benar bisa diandalkan.
"Terima kasih, Sep," ucapnya tulus.
Pria itu mengangguk sekali lagi, dirogohnya sesuatu dari dalam kantong celananya dan memberikannya kepada Zalora, sebuah undangan kecil yang bertuliskan,'pesta ulang tahun Aryani'.
"Dia meminta kita untuk datang."
"Tentu saja." Zalora mengangguk mantap, sudah pasti ia akan datang. Sebuah pesta terbaik dari sahabat baiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
mentari tak pernah tenggelam
General FictionZalora Fataya Almeera salah satu karakter dalam cerita, memiliki trauma pada masa lalunya. Namun, di sisi lain ia beruntung memiliki sahabat yang selalu mendukung serta kehadiran sosok pria yang ia kagumi. Bersama mereka, Zalora mencoba bangkit dari...