Bab 14

20 19 7
                                    

Apa kabar semesta, cerita apa yang akan dihadirkan kali ini. Apakah kisah tentang kebahagiaan di ujung negeri, ataukah cerita sedih dari negeri tetangga. Apa pun ragam kisahnya, baik sedih maupun bahagia, semesta selalu punya cerita yang dirangkai dalam balutan takdir. Seperti ia dan takdirnya saat ini,  takdir dihantui rasa trauma yang menggelayuti pikirannya, serta sebuah usaha untuk melepas. Melepas dari belenggu mimpi buruk yang selama ini menghantui.

Sudah setengah jam, dirinya berada di ruangan serba putih, hanya ada ia dan seorang pria mengenakan balutan seragam yang dominan dengan warna cat di ruangan itu.

Jujur saja ia sangat gugup, pria ber-name tag Dokter Rei, berulang kali memberikan pertanyaan yang serupa dengan yang sebelum-sebelumnya

"Apa akhir-akhir ini kau masih sering bermimpi buruk, sudah berapa kali kau mengalaminya. Kau masih rutin meminum obat yang kuberikan?"

Hanya anggukan kepala yang diberikan Zalora sebagai jawaban, bicara soal mimpi buruk. Zalora teringat kejadian saat di restoran sewaktu ia bersama dengan temannya, dapur restoran yang tiba-tiba saja meledak memicu kembali rasa traumanya. Ia kembali mengingat peristiwa yang begitu memilukan, suatu peristiwa dimana ia harus kehilangan kedua orang tuanya.

Selama ini, ia selalu berusaha menjadi sosok yang kuat. Namun, kenyataannya ia lemah. Sungguh menyesakkan, saat dirinya kembali menjadi sosok yang rapuh, ingin rasanya ia berlari sejauh mungkin. Sejauh dari jangkauan di mana ia tak bisa ditemukan.

Jujur saja ia lelah, sudah bertahun-tahun lamanya ia menjalani terapi seperti ini. Demi kesembuhannya.

Satu jam lebih usai sudah ia berada di sini, Zalora pun memutuskan untuk pulang. Namun, seketika handphone di sakunya berbunyi. Sebuah pesan dari Septian.

"Ada sesuatu yang ingin ku tunjukkan padamu, aku harap kau menemuiku sore ini."

mentari tak pernah tenggelamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang