06

2.9K 308 11
                                    

Seperti biasanya, dikala sakit Asa selalu nempel kepada sosok Daddy nya. Dirinya tidak mau di turunkan dari gendongan, bahkan saat Satya akan ke kamar mandi, Asa meronta-ronta menangis ingin ikut. Senyaman itu sosok Satya bagi Asa. Begitu sebaliknya, Satya tidak pernah mengeluh jika putra bungsunya kadang menyusahkan dirinya. Dalam artian Satya selalu senang putranya selalu dekat dengannya, tapi ia tidak suka jika dalam keadaan sakit.

Hatinya ikut sakit, melihat jagoan kecilnya terus menerus menangis.

Malam begitu larut, namun sosok Asa masih saja menangis di gendongan Satya. Dan terus mengajak jalan kesana sini.

"I'm sick Daddy," katanya sembari memperhatikan tangannya yang kini terinfus.

"Daddy knows, adek tidur ya, biar besok lebih fresh," Satya menimang-nimang Asa dengan mengusap lembut punggung Asa. Hingga tak lama kemudian, dirinya mendengar suara dengkuran halus dari putra bungsunya.

Dengan hati-hati, Satya menidurkan tubuh Asa di ranjang pesakitnya. Lalu menyelimuti tubuh mungil itu sampai dada, dan di kecupnya kening Asa sedikit lama.

'Klek'

Suara pintu kamar rawat Asa terbuka.

"Syutttt," Satya bersiul sembari meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya. Memberikan isyarat kepada sang istri agar pelan-pelan, takut Asa bangun lagi.

Anindita mengangguk sembari tersenyum. Lalu berjalan mendekat.

"Kamu hebat banget Mas, bisa bikin Asa tidur," Anin memuji Satya sembari memeluk tubuh tegap sang suami.

Satya tersenyum dan membalas pelukan sang istri. "Gimana tadi udah beres?" tanya Satya sembari melepaskan pelukannya.

Anindita mengangguk. Tadi dirinya terpaksa meninggalkan putranya bersama suaminya, karena harus mengganti pakaiannya yang tadi banyak darah Asa.

"Aku takut Mas."

Satya merengkuh sang istri. "Semuanya pasti baik-baik aja, adek gapapa sayang."

"Semoga saja."

°°LEWIS FAMILY°°

"Ah! pagi ini sepi banget gak ada Asa," Segaf berujar sembari menghempaskan tubuhnya di kursi meja makan. Dengan wajah cemberut.

"Gue khawatir deh sama keadaan Asa, kemarin keadaannya kayak jauh dari kata baik-baik saja. Seperti ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Kemarin dia kesakitan banget," kini Gara berucap menatap kosong ke depan. Sepulang dari rumah sakit kemarin, Gara terus kepikiran soal keadaan Asa. Dirinya mempunyai firasat buruk terhadap adeknya, sekeras mungkin Gara sudah menepisnya, kenyataannya tidak bisa.

"Udah-udah, positif thinking aja. Kita berdoa semoga hasil tes Asa baik-baik aja. Sekarang...kalian fokus dengan sekolah kalian masing-masing," Bian menengahinya. Sebagai sulung, Bian harus menguatkan adek-adeknya. Walaupun sebenarnya, ia juga tak kalah khawatir dengan Asa, adik bungsunya. Yang di sarankan oleh dokter untuk menjalankan serangkaian tes.

Semuanya mengangguk, dan mulai sarapan.

"Sayang, aku tinggal ke kantor gak papa ini?" tanya Satya yang kesekian kalinya kepada sang istri.

Anindita mengangguk, "Iya sayang, gapapa. Aku bisa kok ngatasin adek, palingan juga nanti ada anak-anak yang ke sini Mas. Kamu pergi kerja aja gapapa." Katanya meyakinkan sang suami.

Satya menghela nafas, dan akhirnya mengangguk. Sebelum berangkat, ia sempatkan menghampiri putra bungsunya yang tidur dengan tenang di ranjang pesakitnya. Ia usap pipi chubby itu.

"Jagoan kecil, Daddy pergi kerja dulu ya. Jagoan cepat sembuh, Daddy menyayangimu son."

Cup

Dikecupnya kening Asa sedikit lebih lama. Lalu ia berpamitan kepada Anindita, dan mengecup kening wanita tercintanya.

Setelah kepergian sang suami, Anindita mendekati sisi ranjang. Ia bangunkan Asa dengan perlahan. Putranya terlihat sangat pucat, membuat hatinya berdenyut sakit setiap melihat wajah pias Asa.

"Asa bangun yuk. Asa harus mam dulu," sembari mengusap surai tipis Asa.

Kedua mata Asa tampak bergerak-gerak. Perlahan tapi pasti, kelopak mata itu akan terbuka. Dan benar, tak butuh waktu lama, netra yang terlihat sangat sayu itu terbuka. Pertama kali yang Asa rasakan saat bangun tidur adalah kepala yang sangat pusing, serta pandangan yang berputar. Membuatnya ingin menangis saja.

"Buna kenapa semuanya mutel-mutel hiks."

"Pusing ya nak, Asa mam dulu ya. Terus minum obat, biar hilang pusingnya," Anindita begitu sabar dalam bertutur. Ia juga merasa kasihan melihat keadaan putranya seperti ini.

Bian bersama Jingga kini berjalan keliling mall bagian mainan. Mereka menyempatkan diri di waktu yang sangat padat, untuk pergi ke mall membelikan Asa mainan. Dan rencananya setelah mendapat yang mereka beli, mereka segera ke rumah sakit, untuk menjenguk si bungsu. Mereka sudah rindu saja dengan ocehan si bungsu yang kadang mengganggu mereka.


Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung saja menuju ruang rawat Asa. Mereka berdua tidak lupa mengenakan masker serta topi, agar tidak menjadi sorotan. Terutama Bian, ia tidak mau di kerubungi oleh fansnya. Karena tempatnya tidak tepat.

Ceklek

"Assalamualaikum," ucap keduanya, langsung menghampiri Anindita, dan mencium tangan wanita itu.

"Wa'alaikumussalam, kalian kesini kok gak bilang?" tanya sang Buna, yang kini sedang menyuapi si bungsu.

"Kangen bocil Bun," jawab Jingga. Lalu ia mendekat ke Asa. Asa tampak mengacuhkan mereka berdua. Anak itu terlihat sangat lemas dan seperti tidak bertenaga sama sekali.

"Ada yang sakit sama tubuh Asa?" tanya Jingga menggenggam tangan Asa, yang terbebas dari infus.

Mata Asa kembali berkaca-kaca lagi. Anak itu sangat rewel, di sakit kali ini. Tidak seperti biasanya. Apakah memang Ada merasakan sakit yang luar biasa?

"Pusing kakak hiks gendong," dengan merentangkan kedua tangannya ke atas.

"Aduh-aduh adek Kak Jingga kok cengeng banget ini," ujarnya sembari mengangkat tubuh mungil Asa ke dalam gendongannya ala koala.

"Hasilnya sudah keluar Bun?"

Suara Bian mengalihkan perhatian Anindita. Yang semula memperhatikan putra bungsunya, ia tampak sedih. Lalu ia menoleh ke putra sulungnya.

"Katanya nanti siang baru keluar Mas."

Bian mengangguk, dan berkata lagi. "Firasat Mas Bian jelek Bun, Mas takut..." lirihnya.

TBC

° Jangan lupa vote dan komen ya! Komen sebanyak-banyaknya, walaupun gak Cici balas, tapi tetep Cici baca kok.

° Kalau kalian punya ide, untuk chapter selanjutnya cerita ini, kalian bisa tulis di komentar/langsung DM Cici. Gak usah malu/takut. Justru Cici malah senang dengan keantusiasan kalian terhadap cerita ini.

° Maaf kalau mungkin, cerita yang aku buat membosankan, tapi percayalah ini adalah usahaku untuk kalian:) hargai ya.



Lewis Family Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang