Gavin mengalihkan pandangannya agar tidak menatap wajah Rion yang tidur di pangkuan dirinya. Ia menatap jalanan dengan perasaan gusar.
"Oh, ayolah Gavin lo jangan begini," batin Gavin dengan menggerakkan jarinya.
Mereka sudah sampai di rumahnya dengan selamat. Ia juga sudah meminta sang papi untuk memanggil dokter kepercayaan keluarga mereka.
Gavin menatap ke arah Rion yang masih pingsan. Setelah beberapa pergerakan tadi Rion masih tidak bangun. Kemungkinan besar sudah lelah jiwa dan raga.
"Cih, jika gini gue yang ribet!" seru Gavin dengan mendengus kesal.
Ia membantu Rion untuk berdiri. Kemudian meletakkan tangan Rion ke pundaknya. Ia juga meminta supir untuk membuka pintu.
Gavin hanya menggerutu dengan membawa Rion. Tubuh mereka itu sama besarnya. Di tambah kamarnya berada di lantai atas.
Ia harus berjalan dengan pelan. Kakinya melangkah satu persatu menaiki tangga. Akhirnya sampai juga di lantai atas.
Namun, ada sesuatu yang disadari olehnya. Ia menatap Rion dengan wajah masam.
"Kenapa tadi nggak minta bantuan Pak supir bawa nih orang? Lo nyusahin gue, sat!" seru Gavin dengan mendengus kesal.
Akhirnya dengan beberapa perjuangan. Mereka sampai di depan kamarnya. Ia tidak mungkin membiarkan orang sakit tidur sendirian di kamar lain.
Ia hanya duduk di ujung kasur dengan memainkan ponselnya. Ia menatap ke arah pintu dengan menghela napas.
"Ini lama banget? Sempat infeksi lukanya," gumam Gavin dengan berdecak kesal.
Ia menatap wajah Rion yang pucat dengan ragu. "Masa gue yang obatin luka dia? Tapi makin nggak sopan kalau Bibi yang ngobatin luka anak cowok."
Gavin beranjak pergi untuk mengambil kotak P3K. Namun, tidak tahu saja ada seseorang yang menatapnya dengan menyeringai.
"Sampai kapan lo pura-pura pingsan?" tanya Gavin menatap ke arah Rion dengan tatapan tajam.
Rion membuka matanya dengan tersenyum tipis. Ia hanya tiduran saja karena tubuhnya agak lemah.
"Ternyata lo udah tau," ucap Rion dengan tersenyum mengejek.
"Gue nggak bodoh," ucap Gavin dengan memegang ujung bibir Rion. "Jadi apa yang lo kasih ke gue sebagai balas budi?"
Rion hanya memutar matanya. Kemudian tersenyum lebar menatap Gavin.
"Kalau gue balas budi puasin tubuh lo aja gimana?" ucap Rion dengan mengangkat alisnya.
Gavin tersedak ludahnya. Kemudian mengalihkan pandangannya dengan berpura-pura membuka kotak P3K.
"Bercanda lagian gue udah punya pacar," ucap Rion. "Gimana pacar gue lulus nggak di perusahaan bokap lo?"
Langkah Gavin terhenti. Ia menatap Rion dengan tersenyum tipis.
"Tenang aja pacar lo keterima tapi ... gue nggak janji kehidupannya terjamin," ucap Gavin dengan tersenyum palsu.
Rion hanya mengangguk pelan. Mungkin lelaki itu sadar jika kelakuan sang pacar membuat Gavin akan member rasa sakit dan marah.
Keduanya kembali diam. Seorang dokter masuk dengan membawa peralatan.
"Dok, tolong obatin luka teman saya. Dia mengalami kekerasan dalam rumah tangga," ucap Gavin tanpa basa-basi. Ia berdiri agar dokter lebih mudah mengobati.
Rion hanya menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa membantah perkataan Gavin. Semuanya adalah fakta dan ia tidak tahu kenapa orang tuanya melakukan hal itu kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Más Tarde 《END》
RomanceGavin Dev Julian seorang guru BK yang baru saja kerja di sekolah negeri. Saat melakukan panggilan telepon dengan keluarganya. Tiba-tiba ada seekor hewan liar yang muncul. Hal itu membuat Gavin terkejut dan menghantam sesuatu. Namun, bukannya masuk r...