47

21.4K 2.2K 53
                                    

Mereka pulang dengan keadaan malam. Pasalnya, besok mereka harus lanjut ke sekolah.

Malam dengan sinar bulan purnama menyinari kota. Gavin menatap jalanan yang sangat gelap.

Di jalanan yang sepi ia agak sedikit ragu dan perasaannya juga sedikit tidak enak. Ia mulai mengambil kertas dan menuliskan namanya. Namun, saat ingin menulis identitas yang lain mobil berhenti tiba-tiba.

Rion keluar dari mobil. Namun, langsung tumbang begitu saja dengan memegang kepalanya.

Ia yang melihat kejadian itu mulai menutup mulutnya. Ia menggenggam kertas itu dengan membuka ponselnya.

Tangannya ditarik keluar dari mobil sehingga ponselnya lepas begitu saja. Ia bersikap dengan tenang walaupun sangat takut.

"Apa yang ingin kalian lakukan?" tanya Gavin dengan datar.

Orang itu tidak melepaskan dirinya begitu saja maupun menjawab. Ia menatap ke arah Rion dengan sendu.

"Anda ikut kami atau dia tidak akan selamat!"

Rion terbangun, tetapi kepalanya masih agak sakit. Ia menggelengkan kepalanya meminta Gavin jangan menyetujui perkataan para preman itu.

"Baik, tapi ..."

Gavin menendang tubuh kedua preman yang menahan dirinya. Rion juga bangkit dengan menyerang preman yang lain.

Rion mencengkeram tangan Gavin. "Ayo kabur!"

Mereka segera berlari menuju mobil dan pergi dengan kecepatan tinggi. Gavin menatap ke belakang dengan menghela napas lega.

"Kayaknya itu orang suruhan Pina," duga Gavin dengan napas tersengal-sengal. Mereka memang bisa bebas dari para preman itu, tetapi kemungkinan kedepannya tidak tahu pasti.

Rion mengangguk kepalanya. Ia menatap jalanan dengan fokus. Ia akan pastikan membawa kekasihnya selamat sampai tujuan walaupun nyawa taruhannya.

Gavin mencoba untuk menghubungi polisi dan memberi keterangan. Ia menghela napas lega karena pihak berwajib.

"Aku ..."

Tiba-tiba mobil yang mereka pakai agak oleng. Ban mobil terasa seperti ingin lepas dari tempatnya.

Gavin mencengkeram tangannya dengan menundukkan wajahnya. Pada akhirnya mereka tetap terkena masalah.

Citt! Bruk!

Mobilnya menghantam pembatas jalan. Kepalanya terpukul kaca mobil cukup keras. Darah mengalir di wajahnya.

Ia menatap ke arah Rion yang juga dalam keadaan sama sepertinya. Lelaki itu mencoba menjangkau tangannya.

"Dev ..."

Suara gelak tawa mengalihkan perhatian kedua kekasih yang terlihat tidak berdaya. Gavin samar-samar melihat sosok yang ia benci dan akan dikenal seumur hidupnya.

"Haha, kasian banget. Tapi bagi kalian pasangan menjijikan kayaknya nggak perlu dikasihani," ucap Pina dengan melepaskan kaca mata hitamnya.

"Dasar wanita iblis!" lirih Rion dengan suara pelan.

Pina justru tertawa terbahak-bahak. Lalu menatap tajam Rion. Di tangannya terdapat sebuah pisau yang bisa saja melenyapkan seseorang dalam hitungan detik.

"Rion ... lo itu emang bego. Selama ini gue pacaran sama lo itu karna mau famous plus uang, tapi nyatanya lo itu anak yang dibuang. Lalu gue punya sesuatu yang seru yaitu fakta Gavin nembak lo. Jadi gue manfaatin ini biar murid-murid lain tau kalau Gavin itu jahat dan gue cewek tersakiti. Gimana bagus, kan?" beber Pina dengan tertawa puas.

"Dasar bajingan!" umpat Rion dengan menatap tajam. Ia ingin bangkit, tetapi beberapa preman membawanya pergi dari Gavin.

"Lepasin! Pina lo jangan macam-macam sama Dev!" teriak Rion sebelum kesadarannya hilang karena lehernya dipukul.

Gavin menatap Pina dengan datar. Ia harus bersikap tenang jika dirinya terlihat takut maka gadis itu akan sangat senang.

"Mau apa?" tanya Gavin.

"Gue mau lo mati!" teriak Pina. Lalu meminta beberapa orang menyetir mobilnya.

Ia ingin keluar tapi pintu mobil ditutup. Akhirnya ia memilih untuk diam. Namun, tidak tahu saja GPS ponselnya masih menyala.

Ia tidak tahu dirinya dibawa ke mana, tetapi ini cukup jauh menurutnya. Lalu pada akhirnya mereka sampai di tempat yang penuh pohon.

Gadis itu benar-benar ingin membunuhnya!

Ia ditarik lalu dilempar ke dalam hutan. Sebelum itu baju atasnya dilepas agar tidak ada yang bisa mengetahui identitas dirinya mungkin.

"Ayo cepat pergi!"

Sebelum itu ia memeluk kaki salah satu preman itu. Ia terus memeluknya dengan erat hingga pada akhirnya orang itu menendang dirinya.

Kepalanya memukul benda keras. Ia merasa darah semakin keluar banyak.

Ia menatap kertas yang masih digenggam dengan erat. Ia samar-samar mendengar suara Pina.

"Rion ... maaf."

***

Di tempat yang lain Rion berpura-pura pingsan. Ia segera mengambil ponsel yang telah ia sembunyikan di dalam baju.

Ia mencoba menghubungi polisi dan kedua orang tua sang pacar. Ia menunggu dengan menatap jalanan dengan gelisah.

Orang tua Gavin akan datang dengan mengambil penerbangan secepatnya. Ia tidak tahu harus berkata apa saat orang tua Gavin datang.

"Dev semoga kamu baik-baik aja," gumam Rion dengan menggenggam tangannya.

Ia menunggu kedatangan mereka cukup lama dan semakin takut. Ia takut kehilangan Gavin dan kecewa atas dirinya sendiri.

Kemudian beberapa pihak polisi dan anak buah papi Gavin sudah datang. Anak buah orang tua Gavin memeluknya dengan erat dan air mata Rion tidak bisa lagi ditahan.

"Om ... Dev dibawa oleh orang suruhan Pina. Dia ... dia masih dendam sama kami berdua," lirih Rion dengan menangis tersedu-sedu.

"Yang sabar Tuan Muda. Tuan Gavin pasti akan baik-baik saja."

Rion mengangguk pelan dengan napas tersengal-sengal. Ia menatap pihak berwajib dengan mengelap air matanya.

Ia berjalan dengan tersenyum sendu. "Kalian bisa tanya."

Pihak berwajib mulai melakukan pertanyaan. Ia menjawab dengan jelas beserta waktunya. Ia juga menjelaskan orang yang terlibat atas masalah ini.

"Baiklah, laporan anda kami terima. Setelah ini kami akan segera melakukan pencarian. Terima kasih karena sudah bekerja sama."

Rion hanya mengangguk pelan. Ia menundukkan pelan menatap sebuah foto dengan tersenyum sendu.

"Kamu harus bertahan," gumam Rion.

Tiba-tiba teman-temannya sudah datang. Ia segera menghamburkan pelukan kepada teman-temannya. Sekarang ia perlu sandaran dan dukungan dari teman-temannya.

"Rion lo jangan sedih. Gavin liat ini pasti juga nggak mau liat lo sedih," ucap Thea dengan tersenyum.

Rion mengangguk pelan. Ia mengelap air matanya dengan tersenyum miris. "Air mata gue nggak bisa berhenti, hehe. Mungkin tubuh gue secara langsung sadar kalau gue nggak becus."

"Jangan ngomong gitu! Ini namanya takdir. Yang penting kita harus tangkap Pina biar dia dihukum secara adil," ucap Aster dengan menepuk pundak Rion.

Leo mengangguk pelan. "Mending lo pulang dulu. Lo harus istirahat agar bisa kuat nyari Gavin."

"Bener, bukannya nyari nanti malah jatuh sakit." Nova yang biasanya selalu bercanda bahkan ikut menghibur dirinya.

Rion mengangguk pelan. Setelah kejadian itu orang tua Gavin juga tidak bisa menyalahkan dirinya. Mereka bahkan langsung turun tangan mencari kabar sang anak.

"Walaupun kemungkinan kecil. Gue harus semangat nyari Dev," gumam Rion.

***

Jangan lupa vote dan komen :)
Gavin kamu kemana🥺
Lanjut!

Más Tarde 《END》Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang