5

4.6K 91 0
                                    

Allen terbangun ketika hari sudah benar-benar gelap. Dia mengerjap-ngerjap, perlahan mengangkat kepalanya, dan mengucek-ucek matanya. Dia sama sekali tidak menyadari keberadaan Lydia yang sedang meminum segelas minuman beralkohol di sampingnya.

Ketika bau menyengat alkohol itu menyerang hidungnya, Allen belum sepenuhnya tersadar hingga dia mengira kalau orang di sebelahnya itu Theo. Dia bergumam tidak jelas lalu menguap lebar hingga meneteskan air mata.

Begitu dia bisa melihat dengan jelas dan tidak mengantuk lagi, dia baru mendapati kalau orang di sampingnya itu Lydia. Dia terkesiap dan sontak mundur ke samping hingga terjatuh dari kursinya. Lydia yang menyaksikan kejadian itu tertawa lepas, tidak menghiraukan Allen yang protes kesal.

"Berhenti tertawa." ucap Allen kesal. Wajahnya merah padam. Dia perlahan berdiri, mengelus-elus bokongnya yang baru saja bertabrakan dengan lantai. "Ah, kenapa Lydia bisa ada di sini?"

"Kebetulan lewat," jawab Lydia santai. "Ngomong-ngomong, ini pertama kalinya aku datang ke restoranmu. Ternyata tempatnya semewah ini, makanannya juga terlihat sangat enak dan menarik."

Mendengar ucapan Lydia, pipi pucat Allen bersemu merah, dia cepat-cepat mengalihkan pandangannya, jarinya bergerak gelisah dibalik punggungnya. "Kalau tertarik, kenapa tidak coba pesan sesuatu? Selain minuman itu maksudku."

Kesunyian melanda mereka sejenak, Lydia menjadi diam setelah Allen menanyakan pertanyaannya tadi. Dia tidak berani bilang kalau harga makanan di restoran Allen masih terlalu mahal untuknya yang harus hidup berhemat.

"A-ah, aku tau restoran ini mahal, atau mungkin juga tidak sesuai seleramu," jawab Allen ragu. Suaranya sangat pelan, hampir seperti berbisik. "M-ma-maksudku, itu, a-ah..." Allen mulai bicara gelagapan dan melantur, dia khawatir kalau mengatakan sesuatu yang mungkin menyinggung Lydia.

Namun wanita itu malah tertawa kecil. Mengelus lengan Allen lembut, dengan senyum kecil di wajahnya. Kepanikan Allen mulai berkurang, dia melirik jendela terdekat, dan baru menyadari kalau hari sudah berubah gelap. Mungkin sekarang sudah waktunya makan malam.

"A-anu, k-karena sekarang, sudah jam makan malam, kenapa kita tidak sekalian makan malam saja?" tanya Allen ragu. "A-ah, tentu saja kalau makanan di sini tidak sesuai seleramu, kita bisa pergi ke tempat lain."

"Bukan maknannya yang nggak sesuai seleraku," jawab Lydia santai, melipat tangannya diatas meja.

"Harganya, ya." tebak Allen sebelum Lydia sempat bicara lagi. Lydia menatap Allen lekat, senyumnya merekah. "Tepat sekali."

Allen ragu sejenak, dia bisa saja mentraktir Lydia, tapi dia tidak tahu apakah Lydia berkenan makan di tempat ramai seperti ini. Allen menghela napas panjang, memberanikan diri untuk memberikan daftar menu pada Lydia, dan kembali duduk di sampingnya.

"Eh? A-"

"Allen yang traktir," sergahnya cepat memotong ucapan Lydia. Tanpa sadar kebiasaan lama bicaranya keluar lagi. Allen yang malu langsung menutup mulutnya dan menyembunyikan wajahnya dengan telapak tangannya. Wajah hingga telinganya merah padam.

Lydia malah tertawa menyaksikan itu. Menurutnya cara bicara Allen barusan sangatlah imut. "Benar nggak apa nih?"

Allen mengangguk cepat, meminta Lydia memilih makanan yang dia suka.

.

Dari obrolan mereka selama makan malam tadi, Allen baru mengetahui kalau Lydia berniat mengajaknya ke suatu tempat yang berada di dekat stasiun XX. Mereka segera pergi ke stasiun itu setelah makan, dan berjalan kaki ke toko yang ingin Lydia kunjungi. Allen sedikit penasaran dengan toko yang akan mereka datangi, tapi dia tidak berani bertanya. Sepanjang jalan, tangannya meremas jeketnya erat, dan dia hanya mengekor di belakang Lydia, seperti seekor anak anjing.

Sepanjang jalan, Lydia sendiri sibuk memikirkan benda atau alat apa yang cocok dikenakan Allen. Lydia ingin melihat Allen menjadi seekor anjing, jadi mungkin dia akan membeli sebuah dog tail plug. Walau Lydia masih tidak yakin dengan itu.

Dari video yang pernah Allen berikan pada Lydia, tidak pernah sekalipun dom lama Allen itu melakukan sesuatu dengan anus Allen. Lydia jadi khawatir kalau Allen sebenarnya bukan bottom seperti perkiraannya selama ini.

Beberapa detik berlalu dan tanpa sadar mereka sudah sampai di depan adult shop yang ingin Lydia kunjungi. Dia berhenti dan menoleh pada toko reyot dan usang dengan papan lampu neon redup itu. Begitu pula Allen. Dia sedikit penasaran dengan tempat apa itu, jadi dia membaca papan yang tergantung di atas dan terkesiap. Wajahnya berubah merah dan dia refleks menarik ujung baju Lydia. Berucap tanpa suara kalau dia ingin segera pergi dari sana.

"Hm?" satu alis Lydia terangkat naik. Dia mendapati itu lucu untuk melihat Allen tersipu malu dan merengek pelan seperti anak kecil, jadi dia terkekeh pelan. "Ah, tempat inilah yang ingin kukunjungi denganmu, Allen."

Allen terlalu syok mendengar itu sampai-sampai dia ternganga. Lydia tidak menghabiskan banyak waktu lagi, sebelum hari menjadi terlalu malam, dia harus menyelesaikan permainan kali ini. Dia tidak menghiraukan Allen dan masuk begitu saja ke dalam toko bobrok itu. Allen yang tidak ingin ditinggal sendirian langsung berlari pelan mengejar Lydia.

Berbeda dari penampilan luarnya, bagian dalam toko itu sangat indah, bersih, dan terkesan mewah. Allen menutup matanya rapat, berjalan mengikuti Lydia dengan menggenggam ujung bajunya dengan kedua tangan. Dia tidak ingin melihat alat-alat yang dipajang di toko itu.

"Sayang," panggil Lydia lembut. Allen tersentak mendengar itu. Dia tidak tahu kalau permainan mereka dimulai dari sekarang, terlebih, di dalam toko penuh dengan alat-alat bantu seks. "Pilih mainan yang kamu suka, jangan ragu."

Perlahan Allen kembali membuka matanya.Pandangannya langsung disambut dengan senyuman miring dari Lydia dan mainan-mainan yang berjejer di lemari. Tubuh Allenmenegang, jantungnya berdegup sangat cepat, dan wajahnya merah padam. Lydia mengelus pipi Allen lembut, lalu mendorongnya menjauh. "Pilih mana saja, Al," ucapnya lembut.

Allen panik dan takut. Dia tidak pernah mengunjungi tempat seperti ini sebelumnya. Pikirannya berkecamuk, namun dia tahu dia harus memilih setidaknya satu mainan diantara puluhan, atau mungkin ratusan mainan lain yang ada di toko ini.

Dengan ragu dia mulai melihat-lihat seisi toko itu, namun tidak ada hal yang membuatnya tertarik, mainan-mainan itu malah membuatnya ngeri. Dia sudah hampir memutari seisi toko itu ketika matanya menangkap kotak kecil berisi sebuah vibrator mungil dan remotenya. Dibandingkan mainan lainnya, vibrator kecil itu yang paling tidak membuatnya takut. Jadi tanpa pikir panjang, Allen mengambil kotak itu dan kembali ke Lydia.

"Oh? Sudah dapat satu?" Lydia bertanya girang, mengambil kotak itu dan mengecek isinya. Seringaian terukir di wajahnya begitu matanya menangkap vibrator kecil itu. Dia tidak tahu kalau Allen menyukai mainan semacam itu. Dia pikir Allen mungkin akan membawa cambuk, kalung, atau benda-benda semacam itu.

"A-a-apa, n-nona, juga sudah memilih?" tanya Allen ragu. Matanya melirik mainan yang berusaha Lydia sembunyikan darinya.

"Tentu sudah, apa Al juga sudah?"

Allen mengangguk cepat, dia berharap dengan sangat mereka segera meninggalkan tempat itu karena Allen sudah tidak tahan lagi berada di tempat mengerikan itu. Lydia menemui pemilik toko itu sejenak di kasir, mereka bercakap-cakap, dan tak lama Allen beserta Lydia keluar dari toko itu, menuju sebuah taman yang tak jauh dari sana.

Allen sudah menebak kalau permainan mereka kali ini bukan berada dalam ruangan seperti sebelumnya, tapi tetap saja dia belum siap dan sedikit takut.


~


12, 6, 2022

Lovers (21++)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang