8

3.8K 102 0
                                    

Erangan dan desahan manis Allen terus menjadi-jadi. Satu tangan Lydia memutar-mutar butt plug itu dalam anus Allen, dan tangannya yang lain memelintir puting kanan Allen. Allen berpegangan erat pada pohon maple itu guna mencegahnya jatuh. Dia hampir tidak bisa merasakan kakinya lagi sekarang.

Penisnya yang tidak terbalut apapun sudah sepenuhnya tegak. Berdenyut-denyut menunggu pelepasannya. "Tahan, Allen," bisik Lydia lembut. Allen cepat-cepat mengangguk, dia berusaha keras menahan pelepasannya sesuai perintah Lydia.

Air mata Allen terus berjatuhan ke tanah. Begitupun dengan air liurnya yang mengalir keluar dari ujung mulutnya, satu persatu bulirnya berjatuhan.

Lydia terus memainkan puting Allen, mencubit, memelintir, menarik, dan mengusap. Membuat puting merah muda itu ereksi. Lydia tersenyum girang, menggigit kecil daun telinga Allen. Tangan kirinya berpindah ke dada kiri Allen, meremasnya, lalu beralih ke putingnya. Melakukan hal yang sama seperti yang Lydia lakukan terhadap puting kanan Allen.

"A-ahh..! Mnhh! Nnha!! Ahh..."

Allen hampir tidak sanggup lagi menahan pelepasannya. Penisnya berdenyut-denyut sakit dan kepalanya mulai pening. Desahan-desahan manis tak henti-hentinya keluar dari mulut Allen.

"N- Anhh!! Ngaah..! Mhnnh!! Ah! K-keluar! Nho- Ah?!" Lydia langsung menghentikan seluruh kegiatannya di tubuh Allen, dan penis Allen tidak jadi mengeluarkan muatannya. Allen yang sudah tidak tahan lagi mulai menggoyangkan pinggulnya perlahan.

Lydia tertawa sinis, menonton Allen sejenak, sebelum mengambil vibrator tadi. "Pe~la~cur~" bisik Lydia tepat di telinga Allen.

Allen langsung menyangkalnya. Dia menggeleng kuat-kuat dan mulai terisak. Menggumamkan kata 'tidak' dan 'maaf' yang tidak jelas.

"Memangnya apa lagi kalau bukan pe~la~cur~ Hm~?" Lydia menyalakan vibrator di tangannya, dan mendekatkannya pada daun telinga Allen.

"Hik!? Ah..! Ah.. Mhn...!" Allen menggeliat, berusaha menghindari vibrator itu, tapi tangan Lydia yang bebas menahannya pergi. Isak tangis Allen pun makin menjadi-jadi.

Vibrator itu perlahan merambat turun ke leher Allen, hingga sampai ke dadanya.

"Ah! T- Nnha..! No- Aangh!!!" Lydia menekan kuat-kuat vibrator itu ke puting kiri Allen, dan menaikkan level getarannya.

Tubuh Allen menggelinjang, jari-jari kakinya menekuk dalam sepatunya. Cairan putih kental menyembur dari penis Allen, mengenai pohon maple di hadapannya.

"Eh~?" Lydia terkikik pelan, menopang Allen yang lemas. "Ayo jalan-jalan," bisiknya di telinga Allen. "Aku ingin memamerkan anak anjingku yang imut."

Allen mengangguk ragu, perlahan berdiri tegak tanpa bantuan Lydia. Dia merapatkan jaketnya yang kepanjangan, mencoba menutupi tubuhnya hingga ke paha. Walau ekor yang dipasangkan Lydia tadi masih terlihat dengan sangat jelas.

Lydia memasangkan sebuah bando telinga anjing yang berbulu lebat ke kepala Allen, lalu kembali sibuk dengan tasnya. Dia mengacak-acak isi tas itu, hingga menemukan benda yang dicarinya. Sebuah cock ring beserta remotenya, juga selotip.

Allen menatap jeri benda-benda itu, dia mundur selangkah, menabrak pohon maple tadi dan hampir terjatuh. Lydia yang melihat itu tertawa kecil, mendekati Allen dan memeluk pinggangnya agar dia tidak kabur kemana-mana.

"Diam sebentar," ucap Lydia tenang. Dia menitipkan vibrator dan selotip tadi pada Allen, lalu memakaikan cock ring itu pada penis Allen.

"Ah?! Hik! Unnh... Ah..!"

Lydia mengelus lembut pipi Allen, menenangkannya. Kedua tangannya sibuk sendiri dengan vibrator dan selotip tadi. Allen berpegangan erat ke lengan Lydia, gemetaran. Lydia meletakkan vibrator tadi di puting kiri Allen, menekannya kuat lalu menyelotipnya. Dia mengambil satu vibrator lain lagi, dan melakukan hal yang sama pada puting kanan Allen.

"Tenang saja, taman ini biasanya sangat sepi," bisik Lydia. "Lagipula, Al lebih suka jika banyak orang yang menonton kan?"

Allen menggeleng, menatap Lydia takut-takut. Dia sama sekali tidak mau bergerak dari tempatnya sekarang. Apalagi dia hanya mengenakan kaos dan jaket. Tanpa pakaian dalam, apalagi celana.

Lydia terus mendorong Allen, memintanya segera maju, tapi Allen tetap bergeming. "Cepat jalan, Al," bisik Lydia geram. Allen menggeleng. Kakinya gemetaran.

Kesabaran Lydia habis sudah. Dia mendorong Allen kasar hingga Allen kehilangan keseimbangan dan nyaris terjerembab. Tali di kalung Allen terlilit rapi di jemari Lydia. Dia menarik tali itu kasar, memaksa Allen mengikutinya berjalan-jalan di taman itu.

Dengan sangat terpaksa, Allen berjalan pelan mengekori Lydia. Tali dan kalung yang dikenakannya saat ini bisa saja mencekiknya jika dia tidak menuruti Lydia. Sepanjang jalan, Allen terus berusaha menutupi daerah selangkangannya. Walau di taman itu benar-benar tidak ada siapapun selain mereka berdua dan serangga-serangga kecil seperti kunang-kunang.

"Aangh!! Ah..! Nhaa..!!" Tanpa aba-aba, Lydia menyalakan sepasang vibrator di puting Allen. Tubuh Allen tersentak, dia seketika berhenti berjalan dan mulai menangis lagi. Kedua kakinya dirapatkan sebisanya.

Isak tangis, erangan, dan desahan-desahan manis mulai memenuhi jalanan kosong itu. Namun Lydia tidak peduli. Kalaupun ada orang yang lewat di jalanan sepi itu dan melihat Allen, Lydia akan dengan senang hati memamerkan peliharaan tersayangnya itu.

"No- Ngaaah!!! Aakh!!" Lydia menyalakan getaran di cock ring Allen. Dia berbalik, menatap Allen tajam dari atas. Kaki Allen sudah hampir tidak kuat menyangga tubuhnya, dia berjongkok, meringkuk, tangannya memeluk erat perutnya. Wajahnya pucat, namun pipi dan telinganya masih bersemu merah.

Lydia mendekati Allen, meraih pipinya, mencengkeramnya kuat dengan kuku panjangnya, dan mendongakkannya kasar. "Seekor anjing tidak bisa bicara, sayang." ucapnya dingin. Mata Lydia menatap Allen lekat, membuatnya ketakutan. "Berdiri."

Allen perlahan bangkit, sekujur tubuhnya gemetaran. Dia berusaha tetap tegak, meski kakinya sudah tidak sanggup.

Senyum cerah terukir di wajah Lydia. Dia berjalan perlahan di samping Allen, menarik tali kekangnya setiap kali Allen berhenti atau memperlambat kecepatan jalannya.

Setelah sekitar sepuluh menit mereka berputar-putar di taman luas itu, Lydia memutuskan untuk menyudahi saja permainan hari ini. Allen juga sudah hampir mencapai batasnya. Jantungnya berdegup sangat cepat hingga serasa seperti akan melompat keluar dari dadanya. Dia sudah sangat lemas dan Lydia khawatir dia akan pingsan tidak lama lagi.

Lydia membawa Allen ke sebuah bangku panjang yang tidak jauh dari tempat mereka. Lydia langsung duduk di bangku itu, sementara Allen masih berdiri, menunggu perintah.

"Sini, duduk sini," ujar Lydia sembari menepuk tempat kosong di samping kirinya. Allen menurut, dia langsung duduk di sana, kepalanya terus tertunduk. 

"Gimana hari ini?" tanya Lydia santai. "Apa Allen suka permainan seperti tadi?"

Allen menjawab cepat dengan gelengan. Kakinya bergerak-gerak gelisah. Dia berharap Lydia cepat-cepat melepaskan alat-alat di tubuhnya sekarang ini, terutama cock ring di penisnya.

Lydia tersenyum tipis, tangannya mengelus pipi Allen, lalu mengecupnya ringan. Wajah Allen berubah merah, dia bergeser menjauhi Lydia, menatapnya penuh tanda tanya.

Lydia hanya tertawa kecil melihat reaksi Allen. Dia mematikan semua vibrator, juga cock ring itu, melepaskan mereka satu persatu dari tubuh Allen, hingga yang tersisa hanya butt plug di anusnya.

"Tolong berdiri sebentar," pinta Lydia. Allen dengan segera berdiri membelakangi Lydia. Dia memejamkan matanya erat, anusnya di belakang sana berkedut-kedut.

"Ah! Nha..! Nngh! Anh!!" Tubuh Allen menegang, tangannya meremas kuat jaketnya, dan kepalanya terdongak ke atas. Penisnya menyemburkan cairan putih yang mengotori sepatu Allen. Tubuhnya langsung lemas dan dia hampir terjatuh. Untungnya Lydia dengan sigap menangkapnya.


~


18, 6, 2022

Lovers (21++)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang