7

4.2K 106 1
                                    

"Nona... Ahh! No-na... Hik! A-ahh.." Allen menangis terisak-isak, terus memanggil-manggil Lydia di sela-sela desahan dan isak tangisnya. Tangannya yang gemetar terjulur ke arah Lydia, mencoba meraih bajunya.

"A-ah.. N- Anhh! Ber- Mnghh..! Berhen- Angh!!"  tangan kanan Allen mencengkeram erat ujung baju Lydia hingga buku-buku jarinya memutih. Sementara tangan kirinya menarik jaketnya hingga ke paha, berusaha menutupi penisnya yang sudah tegak dari balik celana ketatnya. Tubuhnya terus saja gemetar, kepalanya tertunduk dalam-dalam dan air matanya tak henti-hentinya menetes.

Lydia berjongkok di hadapan Allen, menatapnya penuh nafsu. Jemari lentiknya meraih dagu Allen, mendongakkannya perlahan. Wajah erotis Allen membuat Lydia ingin menyiksanya lebih lanjut. Dia menarik Allen mendekat, lalu menggigit kecil daun telinganya.

"Kalau kamu mau vibrator itu berhenti, katakan kata amannya sayang~" bisiknya lembut. Tangannya yang bebas merayap ke tengkuk Allen, perlahan naik ke kepala Allen dan menyisir rambutnya.

Allen menggeleng kuat-kuat, menyandarkan kepalanya pada bahu Lydia. Setiap kali vibrator itu menyentuh prostatnya, pinggangnya terlonjak. "Al, kamu ingin vibrator itu terus berada di sana?" bisik Lydia. Jemarinya mengelus garis punggung Allen sensual.

Sekali lagi, Allen menggeleng, menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, dan menyandarkan tubuhnya pada Lydia. Jantung Allen yang berpacu cepat dapat didengar dan dirasakan dengan jelas oleh Lydia. "Berdiri, Al," ucapnya dingin.

Lydia membantu Allen berdiri dengan berpegangan pada bangku di sampingnya. Dia memindahkan Allen ke bangku panjang itu, lalu duduk di sampingnya. Tangannya mengelus-elus rambut Allen.

"Apa kamu ingin vibrator itu terus berada di sana, Al?" tanya Lydia sekali lagi dalam bisikan. Lagi, jawaban Allen hanya sekadar gelengan. "Jawab, Al." Lydia berucap dingin, tanpa melihat lawan bicaranya.

"N- T-tidak... Ahh..!" Allen menjawab terbata-bata di sela-sela desahannya. Dia mengangkat kepalanya perlahan, menatap Lydia dengan tatapan memelas.

"Jangan kira aku akan jatuh ke trik kecilmu itu, sayang," Lydia terkekeh, mengelus lembut pipi Allen. Dia merogoh saku jaketnya, mengambil kembali remote vibrator tadi. Dia melirik Allen sejenak, lalu menaikkan level getarannya hingga maksimal.

"AH?! N- AANH! No-na... Ngahh!! Nhha!!" Allen merapatkan kedua kakinya yang gemetar, membungkukkan badannya dalam-dalam, tangannya memegangi perut bagian bawahnya yang terasa sangat aneh. Air matanya terus menetes-netes tanpa henti.

Erangan dan isakan Allen dengan cepat memenuhi jalanan sepi itu. Kalau mereka masih berada di jalanan ramai tadi, mungkin orang-orang akan meneleponkan ambulan atau semacamnya.

"Memohon padaku, Al," bisik Lydia. Tangannya menjambak rambut Allen kasar, mendongakkannya keatas. Tubuh mungil itu gemetar di bawah tekanan Lydia, menatap tuannya melas.

"A-ah.. N-no- Aanh! Hiks... No-na.. Nngh..! A-allen.." ucap Allen terbata-bata dengan suara pelan.

Lydia menarik kasar rambut Allen, mendongakkannya keatas hingga bulan purnama terlihat sangat jelas di matanya. "Lebih keras," sentak Lydia. "Dan jangan patah-patah."

"Hiks.. Nona...," ucapnya dengan suara bergetar. "Allen... Aah..! Allen m-mohon... Matikan.. Vibratornya... Hiks..."

"Kamu mengatakannya dengan baik, sayang," Lydia mematikan vibrator itu dan menarik Allen dalam pelukannya. Tangannya mengusap-usap pipi Allen lembut.

"Bisakah kita pergi sekarang?" tanya Lydia santai. Satu tangannya memeluk pinggang Allen, sementara tangan satunya mengusap kepala Allen, menyibakkan rambutnya yang turun hingga ke mata.

Lovers (21++)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang